BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Minggu, 22 Desember 2013

Singkirkan Kepentingan Pribadi Menuju Pemilihan Legislatif (Pileg) Lembata 2014

Hadi Abdullah (Dok. Pribadi)

Berdasarkan musyawarah/kesepakatan Forum Labala Bersatu (Forlab) yang diikuti masyarakat dan tokoh masyarakat labala, Forum telah memutuskan secara bulat untuk mencalonkan Bapak Hadi Abdullah sebagai calon DPRD Lembata dengan Daerah Pemilihan (Dapil) 2: Nagawutun, Wulandoni, Atadei dan Lebatukan. Bapak Hadi Abdullah maju dengan kendaraan politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan nomor urut 1.

Dengan cita-cita membangun masyarakat Nagawutun, Wulandoni, Atadei, dan Lebatukan yang lebih baik, Hadi Abdullah berkomimen membantu memajukan potensi sektor budaya dan pariwisata yang selama ini cenderung terabaikan.

Pantai Pasir putih Mingar yang elok dengan Tanjung Suba wutunnya, Tradisi menangkap ikan paus Masyarakat Lamalera, Pasar barter Wulandoni dan Labala, hingga wisata alam panas bumi di karu lewopuho.

Oleh karena itu, singkirkan aneka prasangka yang berlebihan dan tanpa dasar.

Pai tite pile atadike titen yang sudah mendapat restu Ribu-ratu Lewotanah. Mumpung kesempatan titen none kae. Tite yang masih di perantauan dan berencana balik lewo, pe te bera balik supaya te pake hak pilih tite untuk te pile atadike titen nimun tou gerewa teti gedung peten Ina (DPRD) Lembata. Kalau bai sekare hala pe, te tede sampe arapira bali mure?

Sabtu, 21 Desember 2013

Hadi Abdullah: Untuk Labala yang Lebih Baik


Dok Pribadi (Hadi Abdullah)

Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 tinggal beberapa bulan lagi. Sebagai masyarakat yang memiliki hak pilih tentu kita ingin memilih siapa yang bakal menjadi perwakilan aspirasi bagi kepentingan dan kemaslahatan kita.

Untuk pemilihan legislatif (Pileg) 2014 mendatang, Labala sebagai representasi masyarakat di selatan kabupaten Lembata, kini memiliki beberapa tokoh yang akan di proyeksikan menjadi calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lembata.

Untuk Daerah Pemilihan (Dapil) 2 yang meliputi, Nagawutun, Wulandoni, Atadei dan Lebatukan, Labala mengutus salah satu putra terbaiknya sebagai anggota DPRD, yaitu Drs. Hadi Abdullah. Politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Lembata ini diberi kepercayaan untuk membawa aspirasi masyarakat tiga kecamatan di Pantai selatan lembata tersebut.

Menurut Hadi Abdullah, berkomitmen dirinya untuk maju sebagai calon anggota legislatif bukan karena ambisi dan keinginan pribadi, namun demi membangun dan mensejahterahkan masyarakat di Dapil 2 Lembata. Menurutnya,selama ini pembangunan di selatan Lembata cendrung terabaikan.

Untuk itu, Lulusan Fisipol Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang ini ingin menjadikan masyarakat Labala dan sekitarnya yang kaya dengan sumber daya bahari dan sumber daya wisata dan budaya ini menjadi lebih sejahtera.

"Di wulandoni misalnya, kita punya wisata sejara dan budaya, juga wisata bahari yang bisa dieksplorasi sebagai sumber pendapatan masyarakat," ungkap Hadi Abdulla. Menurutnya, berkaca pada sejarah lembata yang kaya akan sumber daya alam dan tradisi budaya, bisa menjadikan lembata menjadi destinasi wisata.

Selain itu, masih menurut Politisi Partai Persatuan Pembangunan ini, di Dapil 2 hingga saat ini masyarakatnya masih mempertahankan adat dan tradisi luhur dan toleransi antar umat beragama yang bisa menjadi program pemerintah dalam meningkatkan pergaulan dan kesejahteraan mereka.

Masih menurut Hadi Abdullah, kekayaan adat dan tradisi tang diwariskan dari leluhur orang lamaholot sejatinya menjadi aset dalam menjalin relasi dan pergaulan tanpa membedakan agama, suku dan kepentingan antar golongan tertentu.

"Kekuatan kita adalah adat dan tradisi sehingga kita masih tetap menjalin relasi kekeluargaan. Mudah-mudahan kedepannya, masyarakat Labala dan sekitarnya lebih dewasa berpikir dan bertindak, tidak lagi hanya menjadi korban politik pihak-pihak tertentu yang sengaja mengambil keuntungan pribadi," harap Hadi Abdullah.(**)

Kamis, 19 Desember 2013

Asal Pelarian Raja Labala Dari Lepan-Batan.

Ula naga pe jelamaan leluhur suku Mayeli Atulangun. Ada diceritakan waktu di lepan-batan. Ada tiga orang bersaudara terdiri dari 2 orang perempuan dan seorang laki-laki bungsu yang ditinggal pergi/mati oleh orangtua mereka.

Suatu ketika musim kemarau yang panjang, si adik laki-laki kehausan dan minta minum air. Namun meski diberikan air, rasa haus sang adik tak pernah hilang. Akhirnya mereka membawa sang adik ke sungai dan disuru minum dengan menelungkup dan mulut terbuka agar air masuk ke dalam perutnya.

Namun lama kelamaan, sang adik berubah perlahan-lahan dimana kedua kakinya berubah menjadi ekor naga, terus sampai kebadannya berubah menjadi naga. Sebelum kepalanya berubah menjadi naga sepenuhnya, dia meminta kepada kedua kakaknya untuk pulang karena dia bukan lagi manusia. Pada saat sang adik berubah total menjadi seekor naga, kedua kakak perempuannya pun menangis tersedu dan kembali kerumahnya.

Sang naga kemudian menjadi penunggu sungai. Sampai pada suatu ketika anak-anak Raja pergi bermain dan mandi di sungai. Ketika pulang, ada salah satu diantara anak raja yang diambil (dimakan) oleh naga. Hal ini terjadi beberapa kali ketika anak-anak raja pergi mandi di sungai.

Akhirnya sang raja mengutus salah seorang abdi kerajaan untuk menjaga anak-anaknya saat mandi dan ditugasi meneliti makhluk apa gerangan yang telah mengambil (memakan) anak-anaknya.

Alangkah terkejutnya si abdi kerajaan ketika mengetahui kalau yang memangsa salah satu anaknya adalah seekor Ular Naga yang bersembunyi didalam pohon (Uho Puke). Sang abdi raja pun kembali dan melaporkan kejadian yang sebenarnya.

Setelah mendapatkan laporan yang sebenarnya, raja mengutus pasukannya untuk membunuh naga tersebut dengan memancing sang naga keluar dari persembunyiannya. Sebelum membunuh naga, raja pasukan raja telah menyiapkan makanan sebagai pancingan berupa bubur wette (lupa nama bahasa indonesianya), beberapa tandang pisang dan beberapa jenis makanan pancungan lainnya.

Setelah sang naga terpancing dengan makanan pancingan para pasukan raja telah siap sedia dengan tombak besi yang dipanaskan. Saat sang naga membuka mulut, para pasukan raja menikamnya dengan tempuling besi yang masih panas membara. Perkelahian antara pasukan raja dan naga terus berlanjut hingga malam. Akhirnya sang naga lemas dan pinsang. Para pasukan raja pun kembali karena menyangka sang naga telah mati.

Keesokan harinya tak disangka, bencana menimpa raja dan ribu-ratunya. Air laut naik dan nyaris menenggelamkan kampung sang raja. Maka raja memerintahkan ribu-ratunya membuat perahu sebagai langkah antisipasi jika kampung sang raja benar-benar tertelan air bah. Dan ternyata dugaan sang raja benar adanya. Segera setelah perehu selesai dibuat dan semua warga masuk perahu, air laut pun menenggelamkan kampung sang raja. Akhirnya Raja dan ribu-ratunya terdampar di tanjung lewonuba (leworaja) dan melakukan perjanjian dengan penduduk asli di tanjung Lewonuba yaitu Dewa kake dan Dewa Ari untuk sama-sama bermukim di tanjung lewonuba. (**)

Masih ada kelanjutan cerita sang raja dalam perjalanan berlayar bersama ribu-ratunya hingga perahu yang digunakan kemudian berubah menjadi batu. Sebenarnya dalam perjalanan ke Lewonuba, ada dua perahu yaitu perahu raja dan perahu suku Lamabai Leragere yang bersandar di kemeruwutun. Selanjutnya, silahkan mencari tahu sendiri...

Maaf kalau ada yang kurang dalam cerita ini. Terima kasih...

Sejarah Munaseli dan Solor Watan Lema

Solor Watan Lema

Oleh Hamba Moehammad

Malam minggu kumpul bersama adik-adik di sekretariat Himpinan Pemuda Pelajar Labala Lembata (HIPPALL)-Makassar. Diiringi lagu daerah yang berjudul "Solor Watan Lema". Lagu berbahasa lamaholot ini dinyanyikan oleh pemyanyi asal Lamahala bernama Saff Atasoge. Lagu ini menceritakan kebesaran 5 kerajaan di pesisir kepulauan solor yang kemudian hari terkenal dengan "Solor Watan Lema" atau 5 kerajaan islam.

(Nuan nowin kapek lelu. Gajah Mada pakan marin: lamaholot nolo nai, solor watan lema kae)
 

Lagu ini mengetengahkan sedikit fakta, bahwa menurut buku Negara Kartagama yang ditulis oleh  Mpu Prapanca, bahwa pada zaman kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada yang bercita-cita mempersatikan nusantara, pernah mengutus pasukannya Ke Munaseli (pusat kersajaan solor watan lema tempo dulu)

Menurut catatan tersebut, Solor watan lema dahulu dikenal dengan "Galiau Watang Lema" dengan ibu kota kerajaan adalah Munaseli yang kemudian hilang (tenggelam) karena air bah. Munaseli menurut cerita sejarah orang lamaholot adalah kerajaan yang berkuasa di pulau Lepan-Batan

Dalam perjalanan misi mempertsatukan nusantara, para pasukan kerajaan Maja Pahit ini membawa serta sebuah prasasti yaitu ukiran titah raja Hayam Wuruk. Titah raja tersebut menggunakan tulisan jawa kuno (kawi) yang dipahat pada sebuah bilah kayu jati dan diserahkan kepada raja yang berkuasa di Munaseli saat itu.

Pasca terjadinya air bah (tsunami) sekitar tahun 1600 Masehi yang menenggelamkan munaseli, Raja dan rakyatnya kemudian terpencar sepanjang  kepulauan solor dan membentuk kerajaan baru yang kemudian dikenal dengan "Solor watan lema".

(Gaha gapen teti moto wutun, Bala lau lamaronga. Pae wenge honik dahan, ola lau hayon haka)

Yang jadi pertanyaan hingga saat ini adalah siapakah raja yang berkuasa   pada saat pasukan maja pahit menginjakkan kaki di Munaseli dan menyerahkan prasasti titah raja Hayam Wuruk yang bertuliskan aksara jawa kuno di atas kayu jati tersebut?

Saya tak punya data yang bisa mendukung argumentasi saya, namun hingga kini ada bukti sejarah yang dimiliki oleh Raja Labala yang kiranya bisa mengungkap tabir sejara pulau munaseli yang tenggelam itu yaitu keberadaan prasasti kayu jati bertuliskan aksara jawa kuno (kawi) yang hingga kini tersimpan di rumah adat Raja Mayeli yang merupakan raja yang menurut cerita, memimpin pelarian dari munaseli.

(Dahan getan date lali watan pao, Tuso gasuk lala labot. Gawe gere lali terong au koli, lema gahan raan ehan, solor watan lema kae)


Asal Muasal Lepan-Batan

Bagi masyarakat di kepulauan solor yang meliputi Flores Timur, Solor, Adonara, Lembata, Alor dan kepulauan pantar, mendengar kata "Munaseli" tidaklah asing di telinga.

Menurut riwayat, Munaseli merupakan sebuah daratan/pulau jaman dulu yang terletak persis di antara pulau lembata di sebelah barat, Pulau alor di sebelah tenggara, dan kepulauan pantar di sebelah selatan. Pulau ini kemudian hilang/tenggelam setelah disapu sunami dahsyat.

Diduga Munaseli merupakan asal muasal dari daratan/pulau lepan-batan di masa lampau yang tenggelam itu. Pasca bencana air bah tersebut, terjadi eksodus besar-besaran orang lepan-batan yang kemudian tersebar di Pulau alor. pulau lembata, adonara, dan flores timur daratan.

Bukti keberadaan Munaseli sebagai Lepan-batan yang hilang itu hingga kini bisa dilihat dengan masih tersisanya artefak masa lalu berupa bangunan bawah laut di perairan alor dan kepulauan pantar.

Di labala masyarakat mengenal legenda/cerita "manu sili goko (Munaseli)", seekor ayam sakti yang bisa mendatangkan apa saja sesuai permintaan. Cerita "manus sili goko (Munaseli)" ini erat kaitannya dengan cerita rakyat Munaseli (lepan-batan) tempo doeloe.

Pada masa lalu, kepulauan alor dan pantar yang berpusat di munaseli merupakan daerah penghasil biji kenari dan Solor yang berpusat di Lohayon dan Lamakera merupakan daerah penghasil kayu cendana sehingga menjadi bagian dari jalur perdagangan nusantara.

Bahkan catatan tertua Negarakertagama karya Mpu Prapanca (abad ke-14) telah menyebut alor dan solor. Tentara majapahit dikabarkan mengirim pasukan ke daerah alor yang bernama Munaseli.

Dalam buku Negarakertagama itu disebutkan, ada wilayah "Galiau Watan Lema" atau daerah pesisir pantai kepulauan.Galiau terdiri atas lima kerajaan yaitu Kui dan Bunga Bali dan Alor serta Blagar, Pandau dan Baranua di pantar.

Jika ini benar, maka sejarah Munaseli sedikit banyak ada berhubungan dengan orang labala yang menurut cerita turun-temurun berasal dari Munaseli (lepan-batan). Ini terbukti ketika pelarian dari lepan-batan, Raja Mayeli saat itu membawa serta prasasti kayu jati yang bertuliskan huruf palawa (jawa kuno).

Alor juga disebutkan dalam catatan perjalanan keliling dunia kapal spanyol yang ditulis oleh antonio pigaffera pada tanggal 8-25 Januari 1522.

Juga jejak peradaban Solor yang populer pada abad ke-14 sampai 16 dengan hutan cendana. Keharuman cendana membuat Portugis dan Belanda berebut pulau kecil yang berbukit-bukit itu.

Solor tercatat dalam sejarah petualangan kolonial Portugis dan Belanda. Ada benteng Fort Hendrikus (Benteng Lohayong), reruntuhan seminari Katolik pertama di Indonesia, tapi ada juga dua kerajaan Islam terkenal di pulau yang panjangnya kira-kira 60 km, lebar 15-20 km itu, yakni Lohayong dan Lamakera.

Sampai sekarang nelayan Lamakera, bersama Lamalera di Pulau Lembata, punya tradisi berburu ikan paus di Laut Sawu. Menombak mamalia laut itu dengan alat yang sangat sederhana. (**)

Diolah dari sumber:
-Kliping Koran Nasional Harian Kompas (Edisi Jumat, 13 Desember 2013)
-Hurek.blogspot.com

Rabu, 27 November 2013

Sejarah Labala (Silsilah Keturunan Dewa Kake dan Dewa Ari)

SILSILAH KETURUNAN DEWA KAKE DAN DEWA ARI

Prabu Semesta*


Munculnya presepsi saling klaim mengklaim tentang hak waris tanah dan batas tanah dari wato ruma, wiri lolo, tarnono, lela kewate lodo teti bote bala, puka bela gere teti wai noale, puna pawe dan lodo tuba teti wai metine (semuanya nama tempat yang menjadi tapal batas), ini yang menjadi perdebatan di dunia maya antara keturunan dari nene Rebo dan Mari (Suku enga daiona) yang mengaku sebagai keturunan asli dari Dewa Kake. 

Padahal dalam sejarah Rebo, Salabaku, Mari dan Aku bala mereka berempat dalam peristiwa huru hara lepan batan menggunakan tena no laja (perahu layar) yang (keudian) terdampar di wato kebekku (tepatnya di sebelah tanjung watobua). 

Ketika perahu (tena) raja mayeli dan menterinya sampai di nuba lolon (Tanjung Leworaja sekarag), sejarah mengatakan Dewa Kake dan Dewa Ari (keduanya bersaudara) sudah duluan sampai di lewo gunehe. Mendengar ada keramaian di pantai tanjung lewo Nuba Lolon, keduanya turun  ke pantai untuk memastikan keadaan dan mendapati Raja Mayeli berserta ribu-ratunya. Raja Mayeli kemudian menanyakan siapa mereka dan memperkenalkan diri sebagai Dewa Kake dan dewa Ari. Raja Mayeli juga menanyakan siapa orangtua mereka dan memberitahukan kepada sang Raja bahwa mereka adalah  anak dari Ina Peni dan ama/bapa Laga Doni. Raja Mayeli kemudian menanyakan keberadaan kedua orangtua mereka dan mereka memberitahukan bahwa  ina Peni baru saja pergi dengan menggendong babi (pe lau nai bote ne wawehe)  dan bapa Laga Doni bersama anjingnya (ne aohe).

Selanjutnya, dalam perjalan sejarah, Raja mayeli menjodohkan (papame) kedua kakak beradik yaitu Dewa Kake dan Dewa Ari  dengan kedua saudarinya (bine ruaha) yang bernama Nogo Gunu dan Bulu Tewwo Lolo. Dari keturunan Dewa Kake dengan Nogo Gunu, lahirlah seorang anak laki-laki (ana kebelake tou) yang bernama Kabaresi. Sedangkan Dewa Ari dengan Bulu Tewwo Lolo, lahirlah tiga orang anak laki-laki (kebelake ata telo) yang sulung  (berui) bernama Ruma, anak kedua bernama Boli Leda dan anak bungsu (tuho wutu) bernama Miku  Boli Eme. 

Ketika orang gunung (demo nare) datang menyerbu dan menyerang (hera garu) di lewo wuka ( mulan kera/ata kera) pembesar Mulan kera (Kebele lewo tukene) dari suku Ata Mulene dan suku Ata Keraf datang ke Nuba Lolon (tanjung Leworaja) menghadap raja mayeli dan pembesar (kebele) Dewa Kake dan Dewa Ari. Dari hasil musyawara, Raja mayeli meminta kepada kedua kakak beradik yaitu Dewa Keke dan Dewa Ari, siapa di antara keduanya yang mau berangkat untuk membawahi/memimpin (nette lewo) Lewo wuka (Mulan kera/ata keraf).

Dari hasil rembuk di antara keduanya, akhirnya keduanya bersepakat bahwa Dewa Ari yang berangkat ke lewo wuka untuk memimpin Lewo wuka. Sebagai kakak, Dewa kake memberikan beberapaa pusaka kepada Dewa Ari berupa teneke kedaje (Ikat pinggang)  Bala Jawa (Gading) , Go (Gong), Sejenis sayur labu yang bila kering buahnya mengeluarkan biji-bijian yang bisa ditanam (Wulu Tria Tnalare), Nampan dari kulit penyu (Kea Kebukere), Rantai/gelang emas (Lodo Neme Gole), Sebilah kayu untuk mengangkat barang/hewan (Beleba Puka Wikile), Gulungan daun tembakau yang sudah diiris/dipotong halus (Tebako Kenolohe) dan gigi atau taring petir/guntur (Kelekka Ipe).  Semua pusaka ini merupakan warisan dari lepan batan.


Setelah mendapaat restu dan memperoleh pusaka, Dewa Ari kemudian berangkat ke Lewo Wuka beserta dua anaknya yaitu  Boli Leda dan Miku Boli Eme. Sementara anak sulungnya yang bernama Ruma memilih tetap menetap di lewo Nuba Lolon (Tanjung Leworaja). Ketika hendak berangkat Dewa Ari berpesan kepada anak sulungnya bahwa dirinya pergi untuk membawa/memimpin kampung (lewo Wuka) sehingga dia tak membekali anaknya dengan pusaka. Semua pusaka dibawa serta, dan yang bisa dia titip hanyalah sebuah rumah pusaka (Lango Ruma ono), tanah pusaka (Duli-pali), alat pancing yang terbuat dari kayu bambu (Benehi Bitu), dan Ude Medde (mungkin alat tenun).

Ketika pembagian jatah (mungkin jatah tugas dan kewenangan adat) atau bage ume, raja mayeli mengatakan kepada Nene Kabaresi dan Nene Ruma bahwa keduanya adalah sama-sama orang/suku labala. Maka Kabaresi menjadi pembesar (kebele) labalehe Keleppa Ono dengan anggota (nudeke) Keroi Ono, Enga Dai Ono dan Enga Dua Ono. Sedangkan Ruma sebagai pembesar (kebele) labalehe keleppa woho dan dengan anggota (nudeke) Lamasop, lewo Lere (Lerek), Kaha wolor, Kelobo Ono (Kelobon). Nudeke dalam bahasa adat lewo tanah “koto lolaka rae ota, tarene lereka rae wedda”.

Seiring berjalannya waktu, Nene Kabaresi tidak mempunyai keturunan (getto) sehingga maje Nene Heko dari kle Lebalehe Kerio Ono untuk mengambil jatah (ge ume) menggantikan Nene Kabaresi. Sedangkan Nene Ruma memiliki seorang anak laki-laki bernama Wara. Akibat adu domba yang di makari oleh Nene Hali Sele, akhirnya orang gunung (demo nare) datang menyerbu dam menyerang (herra garu) di lewo nuba lolon (Tanjung Leworaja).

Akhirnya Raja mayeli memutuskan untuk membeli tanah kepada orang Lewokoba. Setelah itu Raja dan ribu-ratunya pindah ke Tanah Lewokoba yang kemudian diberi nama labala Leddo Ono (sekarang Desa Labala Lewo Raja).


Tentang Neene Heko dan Nene Hali sele

Nene heko adalah putra dari Mari cucu dari Nene Mari (kebele yang datang dari lepan batan dan terdampar di wato kebekku). Ketika siku Kroi Ono tidak lagi memiliki keturunan (getto) Nene Rebo dan Salabaku pergi ke Pesewatu dan menggendong (bote) Mari yang merupakan cucu dari Nene Mari yang sedang duduk bermain di bawa pohon lontar/koli (tua puke) sedangkan bapaknya di atas pohon lontar sedang mengiris tuak .

Nene Rebo dan Nene Salabaku kemudian meminta izin kepada nene Mari untuk membawa cucunya yang juga bernama Mari ini  ke Lewo nuba Lolon untuk mengambil jatah (ge ume) di suku Kroi Ono. Selanjutnya, Mari yang merupakan cucu dari Nene Mari mempunyai dua orang anak laki-laki sebagaii keturunannya yaitu, anak sulung (berui) bernama Heko dan anak bungsu (tuho wutu) bernama Boli Ase. Nene Heko menggantikan kebele Kabaresi di suku labalehe resi ono sedangkan Nene Boli Ase melanjutkan nudeke di Leelehe Kroi Ono.


Sedangkan tentang Nene Hali Sele, beliau berasal dari Semuki Tanah Lolon (kemungkinan daerah Udek dan sekitarnya). Beliau dibuang oleh kedua orangtuanya dalam keadaan luka karena mengidap penyakit menular yang dikhawatirkan akan menjangkiti warga lainnya. Dia kemudian di temukan masih sangat kecil (masih bocah) oleh Nene rebo dan salabaku pantai karang (kemungkinan di benapa wailolon). 

Keduanya kemudian membawanya pulang, memelihara dan mengobati penyakit dan luka yang dideritanya. Dan Ketika Nene Genewa dari suku Lebalehe enga Dua Ono tak lagi memiliki keturunan atau terputus (getto), maka Nene Hali Sele kemudian di suruh mengambil jatah/bagian (ge ume) sebagai pembesar (kebele) di nudeke Enga Dua Ono.

Silakan semua membaca semoga menjadi pengetauhan bagi semua generasi labala. Goe bukan ahli sejarah tapi meluruskan sejarah yang di tulis oleh Muhammad Baran. (**)

*Prabu Semesta adalah pemilik nama akun Facebook yang menulis kisah MISTERI DI BALIK WATO KEBEKKU dan SILSILAH KETURUNAN DEWA KAKE DAN DEWA ARI Yang di publikasikan di Grup JEJAK SEJARAH LABALA yang saya kelola. Tulisan itu di publikasikan di Grup JEJAK SEJARAH LABALA pada Hari Senin, 25 November 2013.

Tulisan di atas sudah goe edit dan alih bahasakan istilah-istila adat kedalam bahasa indonesia yang baku. Meski mungkin masih jauh dari sempurna, semoga bermanfaat untuk generasi muda Labala.

Sejarah Labala (Asal-usul Wato Kebekku)

Sejarah Labala (Asal-usul Wato Kebekku)

MISTERI DI BALIK WATO KEBEKKU

Prabu Semesta*

Pada waktu terjadinya huru hara lepan batan (pelae pana teti lepan batan hau). Nene Rebo, Salabaku, Mari dan Aku Bala, rae pa’aha tena tou no laja tou (nene pa’aha menggunakan satu perahu). Diperjalanan rae heru ike io kebekku tou dan rae tubaso sehingga ike pelae dai tarana pe wato bua papa (sekarang di sebut dengan wato kebekku). Posisi tena re’e di wato bua papa ne wutun semoloke tou! nepe tena rae pa’aha re’e, sedangkan ike io kebekku pe boto lolo, wato tou posisinya nabe geliki.

Sampainya nene pa’aha di wato kebekku (nama epa narene sekarang) rae bersepakat untuk seba raja mayeli. Hasil dari musyawarah tadi memutuskan nene rua re lera hele welinai seba raja mayeli (aku bala dan mari) dan nene rua ikara re lera gere weli nai seba raja mayeli (rebo dan salabaku). Nene rebo no salabaku ruaha pana haka nai heru nene sula kulu bure dan nene sula kulu mitene di kerongo ( sekarang wolor/tapo ono/wai lolo ). Nene sula kulu bure merupakan cikal bakal dari suku kaha wolor dan nene sula kulu metene merupakan cikal bakal dari suku lawe ono. Setelah rae ruaha heru nene sula kulu bure dan sula kulu mitene, rae ruaha dahame! Raja mayeli ne’ga? Rae ruaha jawab raja mayeli ne peti lewo wutun/nuba lolo sekarang lewo rajehe. Setelah rae ruaha heru raja mayeli, ruaha balika haul leta tempa sukue di nene sula kulu bure dan sula kulu mitene dan nene sula ruaha buko tempa sukue pe kerongo/wai lolo/tapo ono neiwe ruaha rie. Hingga sekarang keturunan dari nene rebo yang menempati tempat tersebu. (**)

Karena tulisan di atas banyak menggunakan istilah bahasa adat Labala, maka berikut ini saya menuliskannya kembali dengan menggunakan bahasa indonesia dengan tujuan, generasi muda Labala yang belum terlalu paham dengan istilah bahasa adat labala bisa memahami (paling tidak punya bayangan) atas makna dari tulisan yang di posting oleh Prabu Semesta di Grup Jejak Sejarah Labala yang saya kelola. Insya Allah apa yang saya tulis kembali ini tidak akan mengubah makna dan pesan yang ingin disampaikan oleh Prabu Semesta. Berikut ini saya tulis ulang:

MISTERI DI BALIK WATO KEBEKKU

Ketika terjadi huru hara (bencana) yang terjadi di lepan batan dan gelombang eksodus dari lepan batan, tersebutlah empat orang kebele (pembesar) suku Lebalehe enga daiona yaitu Nene Rebo, Salabaku, Mari dan Aku Bala. Keempat pembesar ini datang dari lepan batan dengan sebuah perahu . Dalam perjalanan, mereka mendapati seekor ikan hiu kakap berukuran besar (io kebekku). Ikan hiu kakap tersebut kemudian ditombak (rae tubaso). Karena tombaknya masih tertancap, ikan membawa mereka sampai ke daratan dan terdampar di sebelah tanjung Wutun Watobua.

Hingga sekarang, tempat terdamparnya ikan hiu kakap ini di sebut dengan wato kebekku. Letak perahu ke-empat pembesar suku enga daiona ini persis di sebuah tanjung yang bernama wutun semolok. Itulah perahu ke-empat pembesar itu. Sedangkan ikan hiu kakap yang telah ditombak, terdampar di atas pasir pantai dengan posisi miring (nabe geliki).

Setelah sampai dan berlabuh di pantai wato kebekku  yang kemudian hari menjadi nama tempat tersebu (epa narene), ke-empat  pembesar ini bermusyawarah mencari kata sepakat untuk menelusuri dan menemukan Raja Mayeli. Akhirnya mereka bersepakat dan memutuskan berbagi arah untuk mencari sang raja. Dua orang pembesar yaitu Aku Bala dan Mari mencari ke arah terbenamnya matahari/arah barat (lera hele welinai) dan dua orang pembesar lainnya yaitu Rebo dan Salabaku mencari ke arah terbitnya matahari/arah timur (lera gere weli nai).

Dalam perjalanan yang dilakukan oleh kedua pembesar yang mencari Raja Mayeli ke arah terbitnya matahari/arah timur (Rebo dan Salabaku), mereka bertemu dengan pembesar (kebele) dari suku Kahawolor yang bernama Nene Sula Kulu Bure dan pembasar (kebele) dari suku Laweona yang bernama Nene Sula Kulu Mitene di kerongo (sekarang wolor/tapo ono/wai lolo ). Keduanya ini merupakan nenek moyang/cikal bakal dari keturunan suku Kahawolor dan Laweona. 

Setelah bertemu dengan nene Sula Kulu Bure dan Sula Kulu Mitene, keduanya (Nene Rebo dan Nene Aku Bala) menanyakan kabar dan keberadaan Raja Mayeli dan mendapati informasi bahwa Raja Mayeli berlabuh dan berada di Lewo Wutun/Nuba Lolo (sekarang tanjung leworaja). Setelah Nene Rebo dan Nene Aku Bala bertemu dengan Raja Mayeli, mereka kembali ke Nene Sula Kulu Bure dan Nene Sula kulu Miten dan meminta sejengkal tanah untuk berdomisili. Keduanya kemudian membuka hutan di sekitar kerongo. Hingga sekarang, tanah yangmenjadi tempat tinggal Nene Rebo dan Nene Aku Bala ini dikenal dengan wai lolo/tapo ono dan keturunan dari Nene Rebo yang menempati tempat tersebut. (**)

*Prabu Semesta adalah pemilik nama akun Facebook yang menulis kisah MISTERI DI BALIK WATO KEBEKKU dan SILSILAH KETURUNAN DEWA KAKE DAN DEWA ARI yang di publikasikan di Grup JEJAK SEJARAH LABALA yang saya kelola. Tulisan ini di publikasikan di Grup JEJAK SEJARAH LABALA pada Hari Senin, 25 November 2013.

Tulisan di atas sudah goe edit dan alih bahasakan istilah-istila adat kedalam bahasa indonesia yang baku. Meski mungkin masih jauh dari sempurna, semoga bermanfaat untuk generasi muda Labala. Terima Kasih.

Jumat, 08 November 2013

Belajar Bahasa Lamaholot Labala (4)

Tentang Bilangan

Oleh Muhammad Baran

Sekarang tite belajar bahasa labala-lamaholot. buat mio yang mie di ata lewun lela-lela kaepe, supaya mio bai gelupam bahasa titen hala, goe ingin berbagi pengetahuan tentang bahasa lewotanah. 


Pertama, tite belajar kata bilangan menurut bahasa lamaholot-labala. kata bilangan dalam bahasa Lamaholot hampir semuanya sama meski berbeda dialeg, termasuk flores timur, adonara, solor atau versi Ile Ape. Kalau kita perhatikan, beberapa bilangan dalam bahasa Lamaholot punya kesamaan dengan bahasa-bahasa lain di Nusantara. Ini juga menunjukkan bahwa sebenarnya bahasa-bahasa yang ada di tanah air masih punya "kedekatan" meskipun tetap berbeda dan unik.

1 = tou
2 = rua
3 = telo
4 = pa (pat)
5 = lima (lema)
6 = nem (nemu)
7 = pito
8 = buto
9 = hiwa
10 = pulo

11 = pulo nong tou = pulo tou
12 = pulo nong rua = pulo rua
18 = pulo nong buto = pulo buto

[Keterangan: kata NONG/NE sama dengan DAN atau DENGAN dalam bahasa Indonesia]

20 = puluh rua
21 = puluh rua ne tou
25 = puluh rua  ne  lema
28 = puluh rua  ne  buto
30 = puluh telo
40 = puluh pa
70 = puluh pito
80 = puluh buto
80,5 = puluh buto  ne  papa
94 = puluh hiwa  ne  pa

100 = ratu tou = teratu
101 = teratu nong tou = ratu tou  ne  tou
200 = ratu rua
300 = ratu telo
500 = ratu lema
563 = ratu lema puluh nemu  ne  telo

589 = ratu lema puluh buto  ne  hiwa
700 = ratu pito
900 = ratu hiwa
964 = ratu hiwa puluh nemu  ne  pa

1.000 = ribu tou
2.000 = ribu rua
14.000 = ribu pulo  ne  pa
50.000 = ribu puluh lema
15.000 = ribu pulo  ne   lema

60.234 = ribu puluh nemu ratu rua puluh telo  ne  pa
100.000 = ribu teratu
200.000 = ribu ratu rua
250.000 = ribu ratu rua puluh lema
258.000 = ribu ratu rua puluh lema  ne  buto

1.000.000 = juta tou
2.000.000 = juta rua
5.000.000 = juta lema
5.500.000 = juta lema ribu ratu lema
5.550.000 = juta lema ribu ratu lema puluh lema
5.555.000 = juta lema ribu ratu lema puluh lema  ne  lema

6.000.000 = juta nemu
10.000.000 = juta pulo
11.000.000 = juta pulo tou

CONTOH KALIMAT

Go arik (ata) telo.
Adik saya tiga orang.

Muhammad Baran he (ata) hiwa, anaken (ata)  pulon buto .
Muhammad Baran istrinya sembilan, anaknya delapan belas.

Kabupeten pi sulawesi selatan puluh rua ne rua.
Kabupaten di sulawesi selatan ada 22.

Ata diken pi Sulawesi Selatan juta puluh rua reine/raingen.
Penduduk Sulawesi Selatan 20 juta lebih.

Nolo propinsi pi Indonesia puluh rua nong pito.
Dulu provinsi di Indonesia ada 27.

Presiden Soeharto prentah tite tun puluh telo nong rua.
Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun.
 






Di sesuaikan dengan bahasa labala
Sumber:

http://hurek.blogspot.com

Belajar bahasa Lamaholot Labala (3)

Tentang Organ Tubuh Manusia

Oleh Muhammad Baran

Kepala=KOTO
ubun-ubun=keluhuk
dahi=kenito
tengkuk=tenogel
otak=kelura
isi otak=kelurehe

rambut=rata
uban=ratatehe
ketombe=molrapo
kutu kepala=kuto
telur kutu kepala=kelehe
telinga=tilu
tuli=kepekkehe
daun telinga=lajare
pipi=kelipi
mata=matee
alis mata=
biji mata=matakulu
bulu mata=matarawuk
melotot=keberro
dagu=bime
tenggorokan=keradun
leher=wuli
bahu=kewalek
punggung=wuhuk/wohok
pinggang=keneen
dada=korok
tangan=lima/lime
ketiak=kelik
jari-jai tangan=rana/rene
kuku=tenumen
siku=hiku
urat tangan=alihe
hidung=irun
lubang hidung=irunkelengat
ingus=werro
flu/pilek=kewerrok
mulut=nuhu
bibir=nuhuwutu
gigi=ipee
bagian gigi yang sudah tanggal=gelengngohe
ompong=lemmohe
gigi yang tidak sehat karena makan gula-gula=ipe rusu
lidah=ewel
tekak=tengngel
tulang=riuk
tulang belakang=uhuk kajun
kulit=kemee
daging=nawek
lemak=woree/woro
darah=mehi
berdarah=mehina
pusar=kepuhur
tali pusar=kebote
usus=kenalun
usus besar=keboti
hati=ate
paru-paru=onowurehe
pantat=uwe
lubang pantat=uwekuben
paha=koame
penis (kelamin laki2)=ute/uti
buah pelir/zakar=pellehe
kantung pelir=kewelluk
reaksi/tegangan pada penis (kelamin laki2)=medduwa/ketogala
kulit penis=kelilit
memelorotkan kulit penis=bulaso
melakukan senggama=nitee/ritee
Vagina (kelamin perempuan)=menna
bagian klitoris vagina=ketotol
Kaki=lei
lutut=lotor
betis=petellume
mata kaki=kemilok
tumit=nudewe

Mohon maaf bila ada kata yang kedengaran tak sopan/senono karena ini hanya sebatas pengetahuan. Tak bermaksud porno. 

Belajar Bahasa Lamaholot Labala (2)

Tentang Kata TANYA...
Oleh Muhammad baran

apa=ale
kenapa=dariale
bagaimana=naroono
dimana=nega/diga
kemana=maiga
kenapa bisa=pukeale
kapan=arapira
siapa=ate
dengan siapa=neate
apa saja=alehena

Silahkan ditambahkan kalau masih ada kata yang berkaitan dengan kata TANYA, dalam bahasa Labala. 

Belajar bahasa Lamaholot Labala (1)

Tentang BUNYI....

Oleh Muhammad Baran
bunyi=alana
bunyi tamparan=belie
bunyi pukulan benda tumpul=kebosa
bunyi benda yang jatuh=tepaka
bunyi benda yang jatuh ke air=tebboka
bunyi suara=reene
bunyi suara dalam=kiela
bunyi anak ayam=kiok
bunyi induk/jantan ayam=kaoka
Bunyi suara kambing=geke(ka)
Bunyi karena menginjak daun/ranting kering=kessara
Bunyi kentut yang keras=beremme
bunyi menangis dengan kuat=boro
bunyi suara kucing sedang kawin=gaora..
Bunyi suara kambing yang terbelit tali=ngeleka
Bunyi bom=tellana
Bunyi perut keroncongan=kemagura
Bunyi air mengalir/sungai=goara
bunyi gaduh=keneggara,
Bunyi dahan/kayu yang bergesekan=kepeketa.
bunyi cecak=kemettuka
bunyi guntur= keleggora
bunyi ombak besar=golo

Silahkan ditambahkan kalau masih ada kata yang berkaitan dengan BUNYI, dalam bahasa Labala.

Jumat, 25 Oktober 2013

Lero Tou Rae Lewo Labala

Cerpen (Cerita Pendek)

Lero Tou Rae Lewo Labala

Taik dimalu, onek dimara...

Nolo masih rae lewo wa. Sekolah bali. Lera nabe gike. Kotek nabe belara. Lerrehe nuan kae, pelate kae. Kai rae lango tuke. Hoa deko-labu sekolehe, bettuso pe kenate lolo weli nai. Bika sepatu, bettuso pe kenate wewwele lodo.

Inak nai penete do bahe-bahe wa. Kai rae dapu. Geleka keniki-wai. Take-take. Gute wato honi lei, noto limak geleka teti bewojo. Gute wata bettu, lebuso ne wai lette. Buaso. Toto ne sia hena.

Bua waha, napa oho koli, gute belone hau. Turu. Buku-pena goe taoro di belone erit. Lela hala, kode ketuaje. Kenelleke. Padahal waktu disekolah pe, guru tenna-nao kae.

"Pete mela-mela ana. Balik lango, inga lera apuka pe, besso studi (belajar sore di sekolah). Ake lega bei." Ibu guru tenna-nao kame di sekolah nempe.

Ara pe ate ne peduli? Bereun ikara malah bai heka deko-labu sekolehe hala mure. Sekolah lodo wahaka pe, dopu-nange lau tahi. Bereun yang kelas lema-nemu pe, rette ne papan ge londos dore kenolare teti benapa- lukiono.

Turu hogo pe, lera weli koli bauk kae. Koi temen hae pana di lango ae, mete pehe ne buku-pena. Dewa rae be studi balik. Goe di bekeregit. Bai kai studi hala.

"Ketedewa pe, Pak guru absen kae. Mio studi halape, hogo behe pak guru piket pereksa mio," bereun tou mei goe nempe. Naik node betuna.

"Ina goe ooo.." Kode perebun pe onek gere nempe. 

Kabe takut juga. Nolo guru kame di sekolah pe, suka bengnge. Nei kame hukuman aja-belara. Tengngo kame ne kursi kole, betti kame ne kemalu, biha kame ne penggaris. Pokoknya tea kame bo ale sare....

Makanya guru yang suka bengnge gerana di sekolah pe, kame pakewe mi "Jaha-jaha" alias (bengis). Ara susah juga diii. Guru bengnge tite di sekolah waha, balik lapor inak-amak. Ara ate ne peduli? Inak-amak malah sena kalau guru bengnge kame di sekolah.

"Guru bengnge mio nempe supaja mio tobat ue. Ake sama tebajak bei. Mai legaje pe, inga studi," inak perna koda nempe. 

"Rae bengnge juga bai uwe gasi hala bah. Tetula nalan ue hena  di, bengnge-bero kame samakene aho," bereun goe tou pernah protes. Mete tani. Ara ate ne peduli? take-take. Tode tani. Mata wei lebo. Rae bai peroho kame hala. Malahan poke balo mei pake kame. Toumpeee (teganya)...

***  ***  ***

Hogo behe gere sekolah. Guru piket di absen kame. Nae pereksa ate saja yang wia sore bai besso studi hala.

"Ate yang bai beso studi sore hala, pai gere ia kelas ae!" guru piket gare-maje nempe. Reene toupe bela-bela, samakene au peneppe. Wekime ditaku-tede.

"Moe Tue, dari ale wia lera apuka bai beso studi hala?"

"Kai belo wuru, Paaa! Ge remak teti lare lola hau."

"Ah moe pe alasan aja-aja. Wia tenna moe mi ale?" Ama Tue wetika sempat jawab wa pe, kemalu di gere dogela teti tenogel. Ama ene dipeseruduka, tepaka lali lante lolo. 

"Hahahaeetoooo !!" Kame wekka di gekaje. gebba-gebba.

"Gemekki!! Melliii!! Ate geka bali, goe homamo ne kemalu pi." Pak Guru berette kame nempe. Eke tebo melli.

Pereksa piket waha, kirami langsung bubar mai kelas masi-masi, eh dewa tali hukuman bali mure. Onek tou pe geridi-geridi.

"Sekare mio mai hamo-hue doko WC kia. Maro dilae-berete eee?" Guru piket gaha kame nempe.

"he'e Paaa!!" Kame weka jawab hama-hama. Tapi perebbu bele-belure.

Kame di langsung mai hamo-hue doko WC. Wai take, kame mabe mai bekka lali wai mekkate (sumur). Lare ia juga nabe doa-doa. Onek tode geriddi-geridi.

"Guru tou peee. Ge jaha iii," bereun goe narena Kader perebbuna nempe.

"Goe kawaso wa. Tedero ne maguna pe, laiso nodoke weti ne golita,' bereun goe ikara oja guru nempe. Kame di gekaje dore lare. Mete tutu, hi-gewai guru danga-danga.

Kode dore gekaje hena.

"Sekolah dimela-sare ama. Hogobehe ara rua pe, me morip melane. Sekolah dibelola supaya me geleka inak-amak, lewotanah suku ekan," Goe peten nolo inak tenna goe nempe.

Ah te sekolah, jadi ata dike beneten pe, ge susah tuda iiii? Ara tode dore hena, sabar hena. Ata mei mi,"Susa-tudak nolo kia, be sena-sare dore pure."

Makassar, 26 Oktober 2013.

Senin, 07 Oktober 2013

Syair Perang dan Tradisi Memanggil Hujan Orang Labala*

Oleh Muhammad Baran

Ketika nenek moyang Orang Labala hendak berperang dengan musuh, mereka biasanya menyanyikan syair penyemangat. Salah satu syair penyemangat yang sering dilantunkan adalah sebagai berikut:

Ina ama laga doni-watopeni. aho gogo-wawe sigo, nepa lolone ata berekete. Mio molo kame dore. Pilerope , moe menuro mehi, moe goro wore tengene.

Artinya secara harfiah kurang lebih seperti ini:

Ayah-ibu laga doni-wato peni. anjing gogo-babi sigo. Di atas tanah orang-orang pemberani. Kalian (keluar/jalan) lebih dahulu di depan, kami menyusul di belakang. Pilihlah dia (musuh), kau minum darahnya, kau makan dagingnya mentah-mentah.

Perlu diketahui, penyebutan kata-kata dalam syair ini penuh dengan makna simbolik. Bahasa dan kata-kata yang digunakan mencerminkan kepercayaan mereka yang masih animisme dan dinamisme karena belum mengenal agama Islam waktu itu. Hal ini terbukti dengan penyebutan nama-nama batu pusaka/altar persembahan yaitu Nobe lagadoni dan wato peni yang menyimbolkan kekuatan (kukuh). Begitu juga dengan penyebutan nama binatang yang dalam ajaran Islam sangat diharamkan seperti anjing dan babi  yaitu  aho gogo, wawe sigo sebagai perlambang/simbol keberanian orang Labala tempo doeloe.

Ritual Memanggil Hujan

Selain itu,  bila musim kemarau berkepanjangan, masyarakat Labala memiliki tradisi ritual  unik memanggil hujan. Orang labala menyebutnya doko ala. Untuk mengadakan ritual ini, kepala suku beserta beberapa tua-tua adat mendatangi tanjung Leworaja dengan membawa air dan buah kelapa muda untuk disiram di atas tanah sekitar Tanjung Leworaja.

Dalam melakukan ritual ini, kepala suku dan tetua adat  mengucapkan syair untuk memanggil hujan. Adapun syair yang mereka lantunkan adalah sebagai berikut:

Uran lama rongan, uran tuun lore kame. Wai kasa liko, wanga liko kame.  Tapo lama jua bala tolok, tolok tunggaro tunggaro. Wai rusa rongan, renu rewaro-rewaro.

Artinya secara harfiah kurang lebih seperti ini:

Hujan lama rongan, hujan turun basahi kami. Air kasa liko, kuat melindungi kami. Kelapa Lama jua diminum, diminum sampai puas. Air rusa rongan, diminum sampai habis.

Rangkaian syair untuk memanggil hujan ini, penuh dengan makna simbolik. Syair ini berisi pengharapan akan datangnya hujan. Untuk memenuhi harapan mereka, orang labala memanggil hujan di langit dengan menggunakan istilah uran lama rongan dan
 memanggil air dari tanah dengan menggunakan istilah wai kasa liko.

Kedua istilah uran lama rongan dan wai kasa liko  merupakan aplikasi dari keyakinan orang dulu yang mengimani ina-ama lera wulan tanah ekan. Uran merupakan representasi penguasa langit (ama lera wulan) dan wai merupakan representasi bumi (ina tanah ekan). Selain itu, ada juga ungkapan berikutnya yang digunakan dalam syair memanggil hujan di atas yaitu tapo lama jua  dan wai rusa rongan.  Tapo lama jua atau kelapa merupakan representasi dari tanaman/makanan yang dimakan untuk menghilangkan lapar dan wai rusa rongan atau air yang merupakan representasi dari minuman yang diminum untuk melenyapkan dahaga.

Untuk penggunaan istilah Lama rongan dan lama jua  merupakan istilah orang labala jaman dahulu. Apakah istilah lama rongan ada kaitannya dengan suku Lamarongan yang merupakan suku kerabat Raja Labala yang dalam syair Solor watan lema disebut dengan lala labota bala lamarongan? Sampai saat ini saya belum mendapatkan informasi yang akurat, tapi kemungkinan besar ada kaitannya. Begitu juga dengan istilah lama jua, kata jua/jue  ini juga merupakan nama asli dari salah seorang nenek moyang dari suku lamarongan yaitu Jue Jeman. Sedangkan kata lama merupakan makna dari suku yang juga melambangkan suku besar. Nama Suku Labala yang merupakan suku asli orang Labala adalah Lama Bala  yang menggunakan kata Lama di depan yang melambangkan suku besar.

Ritual memanggil hujan oleh orang Labala hingga kini masih dilakukan. Ritual ini biasanya sering dilakukan pada bulan Januari jika terjadi kemarau berkepanjangan di Labala. (**)
================================================================
*Tulisan ini berdasarkan penuturan tua-tua adat suku labala. Untuk kebenaran yang lebih valid, silahkan melakukan riset kembali untuk dibandingkan dengan tuisan ini. Terima kasih.

Bukti Sejarah Masuknya Agama Islam di Kerajaan Labala

Beduk tua peninggalan Kerajaan Islam Labala. Beduk ini sekarang tersimpan di Mesjid al-Muqarrabin Labala

Dena-Rancangan awal Mesjid Al-Muqarrabin Labala, yang diukir di atas kayu- bertuliskan arab melayu (arab latin). Ukiran ini juga menjelaskan tentang pembangunan Masjid Al-Muqarrabin Labala. Dena/rancangan ini tersimpan di rumah adat suku Mayeli Atulolon

Raja Labala

Raja Labala-Raja Baha Mayeli, Ayahanda dari Raja Ibrahim Baha Mayeli.

Bukti Sejarah Kerajaan Labala

Atajawa-Prasasti dari kayu jati yang bertuliskan huruf palawa (jawa kuno). Prasasti ini kini tersimpan di Rumah adat Suku Mayeli Atulolon

Ua Kote Belao/bloo-Kepala tongkat berbahan emas milik Kerajaan Labala berlambang Ratu Belanda Wilhelmina II, dan kalung emas (beloo) peninggalan Kerajaan Labala

Ketika Rindu Tak Lagi Rimbun

Ketika Rindu Tak Lagi Rimbun

Labala, Rinduku tak lagi rimbun tapi
angin laut sawu mengabarkan
namamu selalu...


Meski kini ingatanku tersamarkan
oleh longsor laku kemajuan yang
melasat-pesat, namun wutun lewo
nubamu menyadarkanku akan makna
penting sejarahmu.


aku yang tak sanggup tegakah, atau
kerinduanku sebagai nuba-naramu
yang membuncah, ta klagi berbatas
masa dan usia?


oh sekira demikian adanya, betapa
alpanya aku sehingga lupa menjalin
koda dan menuturkan kiri kepada
generasi. sebelum ajal menjemput,
sebelum liang lahat memanggil
pulang.


Sementara roda kemajuan terus
menggilas dan berusaha menghapus
jejakmu dari ingatanku. Ia bahkan tak
pernah bertanya; masihkah tersisa
telur kesetiaanku untuk melestarikan
dan membesarkan namamu?
ah aku tak tahu. samar-samar aku
hanya mengingat, disini inak
melahirkan dan membesarkanku.


Disini amak mewarisiku kisah tentang
nenek moyang yang bermula dari
altar nuba laga doni-wato peni,
demon gede-srikati, sampai ata jawa
gadak


Disini pula amak belen dan inak belen
menuturkan kepadaku tentang cerita
drama pataka lepan-batan dan
eksodus raja dan ribu-ratunya.


yah tentang semuanya; tentang raja
sira demon lamarongan, Tuen Paji
Naran lamabelawa, Pada Mayeli,
Jotena arakian lima letu nara gawa...
Juga tentang kisah heroik para ksatria
dan panglima perang ata Labala; dari
Kasa Bala bura baran miten, jaran mea
Laga Basa, ata bereket seran goran
lerek...


Tapi sayang, semuanya kini semakin
samar terlintas di sisa ingatanku
sebagai ana-opu mu. Ingatan yang
kian pikun dan ringsek oleh lamunan
badai kejumudan dan kebekuan
berpikir di tengah badai kemajuan
hidup. Dan entah sampai kapan
ingatan yang samar itu betah singgah
di hati dan pikiranku sebagai nuba-
naramu.


Makassar, 24/17/2013

Senin, 30 September 2013

Memaknai Syair Lagu Lamaholot

Memaknai Syair Lagu Lamaholot

Oleh Muhammad Baran

Jangan kawin dulu, aduh nona e...
nona masih kecil
mama piara dulu, aduh nona e...
sampe nona besar

Bagi generasi lamaholot baik yang di perantauan apa lagi yang berdomisili di lewotanah, mungkin tak asing dengan potongan bait syair lagu di atas. Potongan syair lagu di atas adalah sebagian dari isi syair lagu dolo-dolo yang dipopulerkan oleh Felix Matarau dan Roslin Ledor.

Isi syair lagu ini adalah pantun yang dinyanyikan secara berbalas (berbalas pantun) yang mengisahkan muda-mudi ata lamaholot yang sudah akil-balik dan saling suka (jatuh cinta) dan mengikat janji setia.

Inti pesan dalam lagu ini adalah, barek dan mamun ata lamaholot yang saling merindukan. Kerinduan yang mendalam lantaran terpisahkan jarak yang jauh dan waktu yang lama. Jarak dan waktu inilah yang menuntut mereka untuk senantiasa bersabar menanti antara satu dengan yang lain.

Selain itu, benturan status sosial (perbedaan strata sosial) dalam tatanan adat lamaholot juga turut menghadirkan kekhawatiran, apakah cinta yang telah bersemi di antara mereka akan berujung bahagia, atau malah menjadi petaka lantaran tak mendapat restu keluarga.

Dari pemaknaan terhadap syair lagu ini, selain menggambarkan kisa cinta muda-mudi, kita bisa belajar untuk memahami makna-makna kiasan yang indah dalam bahasa lamaholot. Ada beberapa makna kiasan yang menurut saya digambarkan dengan indah dalam syair lagu ini. misalnya pada bait syair yang mengatakan:

nekat hala go kai herun moe
peten puken mamun go ata kuran
gute aku kaan lone limak, sewa aku kaan tapan leik
aduh e, sayang kala nona e..

Bait syair lagu ini menjelaskan secara indah penggambaran keterbatasan seorang kemamun (pemuda) yang mengatakan belum berani bersua dengan kebarek (pemudi) pujaan hatinya karena yang bersangkutan sadar dan tahu diri bahwa dirinya bukanlah berasal dari keluarga ata raya (bangsawan), tapi berasal dari kalangan ata kuran (orang miskin). Hal ini digambarkan dengan kata kata: gute aku kaan lone limak, sewa aku kaan tapan leik...

Secara keseluruhan, bait-bait syair dalam lagu ini menggunakan kata-kata yang tak lazim. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata pilihan khas bahasa adat lamaholot. Maka untuk memaknai lagu tersebut, pendengar harus memiliki pengetahuan bahasa yang mempuni dan pengalaman mengenal adat dan budaya lamaholot memadai. Bila tidak, maka pendengar akan mendapat kesulitan memaknai lagu secara lebih mendalam. Kalaupun mampu, pendengar hanya mampu memaknai sebatas kata-kata yang bisa dipahami.

Dari pengalaman mendengar syair lagu daerah ini (termasuk lagu daerah lamaholot lainnya) baik yang menggunakan instrumen musik moderen maupun menggunakan instrumen musik gambus, saya menjadi lebih tahu dan berusaha belajar memahami kata-kata yang tersirat dalam setiap syair lagu yang sarat makna ini.

Sebagaimana lagu daerah dari kabupaten atau tempat lainnya, Lagu daerah lamaholot merupakan nyanyian yang secara langsung atau tidak, menggambarkan peri kehidupan, adat dan budaya orang lamaholot. Maka salah satu cara yang paling mungkin untuk mempelajari tradisi dan budaya komunitas masyarakat lamaholot adalah dengan belajar memaknai syair-syair yang termaktub dalam lagu-lagu daerah tersebut.

Berikut ini saya sertakan syair lagu Felix Matarau dan Roslin ledor secara utuh. Dengan harapan, generasi muda lamaholot bisa belajar bahasa dan budaya lewotanah melalui pesan-pesan yang tersirat dalam syair-syair lagu daerah yang indah ini. Semoga bermanfaat.

Jangan kawin dulu, aduh nona e...
nona masih kecil
mama para dulu, aduh nona e...
sampe nona besar

Bera balik, aduh tata sayang...
onek pia pakan lesu loran
tobo pia dimehak hena
louk mete lebo, puken peten moe
aduh e, sayang kala tata e...

ake maan lesu, ake maan loran...
peten eke maan doan-doan
arik moe been tawa gere
belek diwati, moi dikuran
aduh e, sayang kala nona e...

amak pia dahan rema leron
jadi letake aduh tata sayang
taan taro noga ti rae roi
jodoh  jadi hala pasti go matero
aduh e, sayang kala tata e...

nekat hala go kai herun moe
peten puken mamun go ata kuran
gute aku kaan lone limak, sewa aku kaan tapan leik
aduh e, sayang kala nona e...

kala gare go kai koi moe
goela pia ata dahan kae
soot ake jodoh jadi hala
mian modi moi, mian modi denge
aduh e, sayang kala tata e...

nafsu go tahan setengah mati
puken aku peten go dihala
sayang kala adik peten kala moe
ake paralette, ake iner bai
aduh e, sayang kala nona e..

rema go turu mehak lau lango
ekan tegelete  marin tabe aku
peten tata moe, mapun kala lone
kaka sampe hati peten go dihala
aduh e, sayang kala tata e...

peten ake maan doan-doan
goela pia dihama hena
herun barek jawa, nafsu go ditake
nafsu kala moe, rae lewo tobo
aduh e, sayang kala nona e...  (**)

Sebe'e Khusu Hala (Bahasa Lamaholot Labala)

Sebe'e Khusu Hala

Mencoba belajar menulis menggunakan bahasa Labala

Puke ale ge, kalau tite sebe'e pe, biasa bai khusu hala?

nepe karena tite wetika toi  Allah SWT sama mela wa. Tite toiro pe, hanya sebatas toiromi nae pe Tuhom tite, nempe hena. Ara tite wetika toiro sifat ne'e wa, tite wetika toiro olehe (af'al-Nya) wa, ne tite juga wetika toiro nere ne'e (asma-Nya) wa. Tite wetika pehe bene-bene kalau Allah pe, nae yang tula tite atadike, tula tite tiluke, tula tite matake, tula tite badene, tula ewwe-nawe, tula kajo-wato, tula ale wekka pi dunia lolo, tula ale wekka teti kowa lolo.

Allah pe, nae yang tula te moripe karena nae pe, al-Muhyi (Maha Hidup dan Menghidupkan). Nae juga yang nei te mataje karena nae pe, al-Mumiitu (Maha Mematikan). Ale wekka pi dunia lolo, ne teti kowa lolo pe, dore perenta ne'e. Nae yang atur weka-weka kae. Nae yang kuasai, nae yang ne'e. Titen take-take.

Allah pe, nae yang noi ale saja yang tite tula (tabe horon atau tabe loaje) tetap nae noi gohu. Nae noi tite onek, nae noi ale yang tite peten. Nae juga bisa denga ale yang tite mei, ale yang tite koda. Bahkan nae bisa denga, nae bisa noi temihe miten yang mete pana di wato miten longu rema tuke.

Pe tite sadar le take, kalau Tuhom yang tite hadape saat tite sebe'e pe, nae yang Maha Noi (Maha Tahu), Maha Denga (Maha Mendengar) ale saja yang tite tula? Pe dari ale ge, te onek ne pikiran tite bai khusu hala, padahal Allah mete noi te onek, noi pikiran tite? Kalau nempe pe, dari ale tite berani tula nalan (dosa) ne maksiat, padahal nae bele-hule tite rema lero? ah tite nipe berani melawe ne Allah we...

Dari ale ge, kalau tite sebe'e pe, biasa bai khusu hala?

Nepe karena saat tite sebe'e pe, tite bai pehe bacaan sebe'e hala, tite mengerti makna sebe'e hala, tite pehe hikmah sebe'e hala. Tite juga wetika pehe keutamaan,  syarat, ne rukun sebe'e wa. Makanya tite sebe'e pe samakene ata kewuel (Sukaara/Mabuk) yang be renu tua wahaka peh. Artinya, tite sebe'e pe tanpa rasa, tanpa pemahaman, tanpa penghayatan,  tanpa keyakinan. Bahasa labalanya, omu atau nawek take-take samakene kajo mateha (jasad tanpa ruh).

Kalau cara sebe'e tite model nempi, maka Allah mei tite mi, "al-Kusaala" atau atadike belehene (pemalas). Artinya tite sebe'e pe tite rasa macam beban benaat, sebe'e pe suka  buru-buru supaya bera wahaka, kalau maso waktu sebe'e pe tite suka tunda-tunda, gerak sebe'e titen pe samakene kolo renu wai, atau manu toto wata, gere lodo bera-bera.

Padahal Allah mei di al-Qur'an ono kae, "Kalau mio mete kewuel wa pe, Mio ake dei sebe'e bei, sampe mio bener-bener pehe ale yang mio baca saat sebe'e" (Bele QS. 4:43). Maksudnya, coba tite bele atadike kewuel penue atau rae tula ale-ale, pasti ale yang rae penue pe, rae bai sadar hala. Hama ne kalau tite bele atadike yang sebe'e: dei, takbir,  baca ayat, ruku, sujud, tahiyat ne salam, ara bai pehe hala, bai sadar hala kalau nae mete dei menghadap Allah. Nae bai sadar hala kalau saat sebe'e pe, nae mete penue-koda langsung ne Tuhom yang tula dunia dan segala isinya.

Puke ale ge, kalau tite sebe'e pe, biasa bai khusu hala?

Nepe karena tite pe, bai sadar hala. padahal sebe'e pe, "al-muhadatsa bainal makhluuki wa khaaliqi". Artinya,  sebe'e pe holo koda (dialog) antara tite sebagai hamba, ne Allah sebagai Tuhom pencipta titen. Bahkan Nabi Muhammad pernah mei mi, "Kalau mio sebe'e pe, sebener ne'e pe, mio mete penue ne Tuhome". (HR Bukhari-Muslim). Coba tite kewenge  atadike bee (azan). Bee (azan) nepe maksudnya, Allah leta-maje tite untuk te tai hadap nae. Nepe Allah maje atadike yang pernah baca sayahadat: Asyhadualla ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Rae yang bai baca syahadat hala pe, Allah bai majawe hala. Makanya Nabi Muhammad tenna tite nempi, "Yang membedakan mio ne atadike kafir pe, sebe'e mio. Makanya ate yang sengaja bai sebe'e hala, maka nae pe samakene atadike kafir."

kalau tite mau sebe'e, tite harus toi bahwa tite harus lettu aurat tite, karena yang tite hadap pe Allah. Te dei hadap kiblat karena fokus tite pe harus total mulai baden tite, ruh tite, ne te onek sare-sare. Tite harus laen kae (suci) karena yang tite hadap pe Tuhom yang Maha Lae (Maha Suci). wahaka pe, te dei mulu-mulu, takbir, baca iftitah. Cara sebe'e weka nipe larene yang bener ne'e. Kalau larene bai benere hala pe, sebe'e titen bai khusu hala.

Puke ale ge, kalau tite sebe'e pe, biasa bai khusu hala?

nepe karena tite bai sama pehe hala. Padahal sebener ne'e pe, kalau tite sebe'e ne saat te baca surat fatiha pe, tite sebagai hamba pe mete penuane ne Allah. Di Hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu hurairah pe, Nabi titen pernah geppa nempi:

"Ate yang baca al-fatiha, maka setiap ayat yang nae baca, Tuhom langsung  jawab bacaan ne'e. Saat tite baca al-hamdulillahi rabbil alamin, Tuhom balas mi, hamba goen puji goe kae. saat tite baca arrahmanir rahiim, Tuhom balas mi, hamba goe puji goe kae. Saat tite baca, maaliki yaumiddin, Tuhom balas mi, hamba goe mete mengagungkan goe. saat tite baca, iyyakana'budu waiyyakanasta'iin, Tuhom jawab, nipe pertengahan antara goe ne hamba maka ale yang nae letta goe akan neiro. saat tite baca, ihdina shiratal mustaqiin, shiratalladzina an'amta alaihim, gairil magdhuubi alaihim waladhaalliiin, Tuhom balas, nipe hamba goen ne'e ne untuk hamba goen, ale yang nae letta, goe soromo." (HR Muslim)

Puke ale ge, kalau tite sebe'e pe, biasa bai khusu hala?

karena tite masih cinta dunia (hubbud dunya). Tite selalu anggap doi pe kekayaan dunia  yang harus tite seba-niuso taro diaja mehine. Karna doi take pe, kalau tite magun/kwae belek (tua) pe, nanti tite bai morip sena hala (tidak bahagia). Pikiran titen selalu tentang dunia: doi, harta-benda, keniki-wai, keluarga, target-target bisnis, target-target politik ne urusan dunia ikara. Rae weka nepe yang tepetero teruse waktu te dei sebe'e, sampe samakene yang Nabi Muhammad mei,"Hatta yansa kam rak'atan laka." (sampe nae gelupa sebe'e ne'e pe rekke pira kae). Makanya saat tite sebe'e pe yang tite peten pe hanya urusan dunia, bukan te peten Allah.

Makanya tite harus peten nenna yang Allah geppa di surat al-maun ayat 4-5: "Atadike yang celaka adalah atadike yang saat dei sebe'e pe, pikiran ne'e pe bai inga Allah hala (lalai)". Nae gelupa karena pete dunia terus (bal tu'tsiruunal hayataddunya). Maka, tite harus sadar kalau te morip pi dunia lolo pe, hanya sementara hena, supaya kalau tite mau dei sebe'e pe, tite anggap mi sebe'e tite nipe, sebe'e yang terakhir tite. Nabi tite juga pernah mei mu, "Kalau mio mau sebe'e pe, mio sebe'e semekene mio mau pana maime pekke dunia nipe." (HR ibnu Majah dan Imam Ahmad. (**)

Senin, 05 Agustus 2013

Teluk Labala (Sebuah Cerpen)

Teluk Labala (Sebuah Cerpen)
Oleh Muhammad Baran


Pantai Teluk Labala-Leworaja, Lembata-NTT
Masih banyak kenangan yang ingin kukisahkan darimu. Tapi aku ragu adakaah ribu-ratumu yang sudi menyimaknya?

Di pantai Wailolon-mu yang sepi aku berdiri. Sembari bersandar di bawah pohon ketapang. Dikitari  rimbun  pohon kelapa dengan daun yang menari gemulai dirayu angin.  Aku diam sejenak, tepekur  memandangi laut sawu-mu yang tak henti menggelorakan kegusaran. Apa yang hendak kau  katakan? Tak ada. Aku malah melihat serpihan hatiku yang melayaang di permukaan laut Wutun Leworaja-mu. serpihan yang menyisakan luka goresan memerah dan segaris darah.


Ini hari sabtu. Hari pasar bagi masyarakat di Kecamatan Wulandoni dan Kecamatan Atadei. Kulihat ribu-ratu-mu lalu lalang dari Kahatawa ke Wulandoni tanpa melirik sungai wailei yang malas beriak dan mesum. Penuh misteri dikala musim kemarau tiba.


Dulu kukenal kau begitu cantik memikat; Wutun Lusitobo-mu nan indah, pantai Watonama-mu  yang unik, pantai Baka-mu yang berombak garang dengan pasir pantai dimana nuba-sili ata Leworaja yang riang bermain bola, ada juga muda-mudi Atakera yang sibuk bermandi riang di Waitewo dengan airnya yang berwarna putih susu. Juga pantai Kemeru Wutun dengan Watotena yang konon menjadi bukti sejarah eksodus masyarakat Labala dari Lepan-Batan, juga pasar Wulandoni yang terkenal itu, hinggah di Wutun Lelakewate-Nuhalela.


Kau masih ingat? Ketika timu teka wara pasan,  debur ombakmu menggulung dan pecah di atas Benapa Lukiono.  Dan pada pagi hari ketika mentari memanjat  di balik punggung Wutun Atadei dengan cahaya pertama yang paling bening, ia memantulkan triliunan tembakan sinar sehingga berjuta-juta berlian berpendaran di permukaan laut Sawu-mu. Tapi sekarang apa? Bagai naga kelaparan yang minta sesajen, lautmu menggelorakan amarah.  Dia hanya meratap ketika pantaimu tak lagi landai dan tak terurus lagi, tergerus abrasi ketika pasang naik bulan Agustus.  Sementara kemajuan Lewotanah semakin membuatmu terpuruk dan menderita. Ribu-ratu-mu seenaknya mengeruk pasirmu untuk membangun rumah, gedung sekolah, kantor camat, kantor polisi,  markas tentara dan rupa-rupa bangunan lainnya. Ah mereka menyebutnya ini kemajuan? Tapi kemajuan justru membawa konsekuensi kerusakan pantaimu, sungai dan dan lautmu. Dan sepotong kenangan masa kecilku pun direnggut serta. Nyaris tak bersisa.


Dan sungaimu bernasib sama sialnya. Waibelehe kehilangan rumpun bambu yang kutanam bersama kawan-kawan waktu kecil dulu,  hutan lamantoro di sekitar tanjung Watobua pun kini habis dibabat untuk pakan ternak. Belum lagi pelebaran jalan yang melintas di punggung tanjung Leworajamu membuat pepohonan tua yang rindang peninggalan Belanda dan situs bersejarah peninggalan nenek moyang jadi korban gusuran buldozer proyek pemerinta. Katanya mau buat jalan. Tapi  sampai kapan?


Kau masih ingat? Sebagian kenaangan dan segenap kisah cinta masa kecilku terekam apik disini. mungkin dulu kau mengulum senyum maklum bila musim ombak tiba, kau tersenyum melihatku dan kawan-kawanku selepas jam sekolah, meski masih mengenakan seragam sekolah, dengaan sebilah papan kami berselancar di pantaai lukiono. tak peduli disemprot Inak dan Amak kami karena seragam sekolah sobek.


Kelakuan masa kecilku dulu memang kurang ajar . Tapi itulah kenangan masa kecil yang masi tersisa kini. Dan aku kadang termangu murung di bawah pohon ketapang ini, mengenal rasa kesepian untuk kesekian kali. Setelah itu, hanya bisa mengenang masa kecil yang kini telah menjadi lampau. Masa kanakku tergerus dengan  lekas oleh dunia nyata yang tak kenal ampun. Setamat sekolah di SD Inpres Luki, aku merantau menuntut ilmu di kota daeng. aku bahkan sempat lupa dengan sebuah teluk nan elok di pantai selatan Kabupaten Lembata yang pernah kuakrabi ini. Mungkin selama diperantauan meenuntut ilmu di kota,  aku hanya melihat kali atau kanal yang berlumpur dan berbu busuk.


Waktu kecil aku suka berlama-lama mandi bersama kawan-kawanku di lautmu sambil bermain dengan berlomba memilih batu karang berwarna putih untuk bermain benteng-bentengan, sedangkan amak-amak di kampung yang lagi duduk  santai sambil menjahit pukat di pantai mengingatkan kami agar jangan sampai lupa mengerjaakan PR sekolah.


"Ingat anak. Boleh main tapi jangan sampai lupa dengan tugas sekolah," kata salah seorang Amak mengingatkan kami dengan logat melayu malaysia suatu ketika. Terkadang karena keasyikan dan lupa waktu,  para amak-amak ini terpaksa  memksa kami untuk pulang ke rumah masing-masing bila magrib menjelang.


Kelembutan dan kasih sayang Inak dan Amak kami di kampung kemudiaan tergantikan  dengan ekspresi dingin sekaligus  tempramental kehidupan kota pada masa dewasaku hingga akhirnnya aku pulang  ke tepian pantaimu ini.


Waktu memiliki otoritas tak berbendung untuk mengubah segala hal termasuk kau, teluk kesukaanku. Ketika pertama memandangmu kembali, bermunculan potret-potret masa kecil dari laci ingtanku; wajah Inak dan Amak penuh amarah yang pernah kujahili bersama  kawan, pun wajah kawan-kawanku yang dulu saling berebut  tali pancing untuk memancing belut,  juga ukiran namaku dan nama kawan-kawanku di salah satu batang pohon asam yang kini tak lagi ada. Kata Inak-ku, pohon asam yang menjadi markas kami kecil dulu, kini telah tumbang jadi korban abrasi.


Pantaimu tampak asing sekarang. aku tak menuntut pasir putih, jejeran pohon kelapa,  dan pohon beringin seindah dulu, tapi bahkan bekasnya pun tidak. Semuanyaa sudah diseret gelombang pasang lautmu. Tak bisa lagi aku berteduh di bawahnya; menunggu para amak kami pulang melaut, memanjati batang dan dahannya, bermain perang-perengan di bawah pohonnya yang rindang.


Dengarlah wahai telukku. bukan hanya engkau. Barangkali aku pun telah berubah.  Setidaknya aku bukan lagi kanak-kanak yang pernah lau kenal. dan bukan pula seorang pejabat pemerintah yang peduli menyusun program pelestarian lingkungan untuk mengembalikaan keelokanmu.  Aku datang sebagai seseorang yang pernah menghabiskan masa kanak di pantaimu, di sungaimu, di tanjungmu, juga di lautmu. dengan harapan,  kalak memandangmu bisa menggugah kembali ingatan akan segenap kenangan masa kecilku, menjadi pelipur lara, dan obat kereinduanku padamu.


Wahai telukku, inilah aku.  Kutengok masa kanakku. sungguh aku tak terkejut mendapai Waibelehe-mu merana,  pantai Lukiono-mu nestapa,  tanjung Leworaja-mu tercampakan, tanjung Watobua-mu kesepian, juga ribu-ratumu yang tak lagi peduli dengan nasibmu kini. Bukan hanya mereka yang diacuhkan,  bahkan kenangan masa kanakku pun tak sempat kuselamatkan, tak sanggup kututurkan kepada Nuba-Nara-mu kelak.


Wahai telukku, inilah aku. Masih ingatkaah kau pada si Hajon, si Dulah, si Kadir, si Tuen,  dan si Musa? Mereka semua adalah kawan kawan masa kanakku yang hampir tiap hari berenang di Laut Sawu-mu, berlari mengejar kepiting di pantai Wailolon-mu,  pergi mencari kerang di tanjung Lewworaja-mu, berpiknik ria di tanjung Watobua-mu. Kamilah anak-anak kecil yang nakal itu. kamilah bocah-bocah ingusan  waktu itu yang  gemar mengikuti perahu orang Ende mengebom ikan-ikanmu.


Dulu aku pergi tanpa pamit, kini aku datang menuntut penyambutan. Maafkaan aku. Bisakah kita bersahabat kembali seperti masa kanakku dulu?


Mungkin persahabatan kita tak semesraa dulu. Tak bisa lagi aku berlari meengejar kepiting di pantaimu, berteduh di bawah pohon asammu,  atau mencari siput di tanjungmu. aku sendiri  tak setangkas dan tak seceria dulu. Siapa engkau, siapa aku: satu sama lain telah menjadi asing.


Wahai telukku, naibmu kini seperti rumah Inak-ku di tobilangun. Tak bisa lagi berkutik.  Terjepit di antara rumah-rumah yang semakin rapat dan mendesak memaksa.  Lorong-lorong yang disemen beton pun menyempit. Tiada lagi tanah lapang di tobilangun yang dulu aku dan kawan-kawanku bisa sepuasnya bermain:  bato kote, patuk lele, botipehupasa karethoro maku loa selepas teraweh di mesjid.


Masih lekat dalam ingatanku, bila bulan purnama terang,  di tobilangun aku dan kawan-kawanku ramai bermain tarian tradisional: lili, liang, oha, sole, dolo-dolo dan rupa-rupa tarian lainnya. sayangnya semua keriangan masa kanak itu kini tinggal kenangan.

Begitu juga dengan rumah Amak-ku di pinggir Pantai Wailolon-mu. Tiada lagi tanah lapang dan rumpun bambu di bantaran  Waibelehe yang selalu mendesis jika angin Laut Sawu membelai dedaunnya yang rimbun.


Disinilah aku berdiri. masih di bawah pohon ketapang di Pantai Wailolon-mu yang kikuk ini. coba menanggapi perubahan zaman. Kurenungi raut wajah pantaimu yang kini lesu pada saat gerimis akhir bulan desember menciumnya tanpa suara.



Disini ingin kuhabisi sisa usia sebab  disini ada sahabat setia yang kupercaya untuk menitipkan cerita masa kanakku.  Seperti juga aku, dia juga sudah berubah tak segemilang dulu. Tak terlihat lagi jejern pohon asam, ketapang dan beringin berjejer apik di pinggir pantainya, juga tak tampak lagi burung bangau  yang sibuk menncari kepiting dan bangkai ikan. Sementara suara elang dan camar laut  yang biasa berburu ikan, tak lagi tersimak. Kemajuan Lewotanah  yang tak dibarengi dengan kepedulian yang sungguh-sungguh dari ribu-ratu-nya, melengkapi derita telukku, teluk yang kini dirundung murung. (**)

Ake Maan Gelupak

Pana Maan Mela Sare Arik eee.
Peten ake maan gelupak

Pasar Barter Labala-Wulandoni

Bicara  budaya toleransi antar umat beragama di indonesia akhir-akhir ini, kita kerap dibuat berkerut dahi. Pasalnya sikap arogansi yang ditunjukan sebagian masyarakat di negeri ini, kerap membuat cita-cita toleransi antar umat beragama menjadi mandeg. 
Namun kemandegan toleransi ini tidak berlaku di kampung halaman saya, di Kabupaten Lembata. Disana, justru perbedaan agama menjadikan mereka berbaur, bergaul dan melakukan aktifitas sosial kemasyaarakatan tanpa memandang perbedaan agama. Hal ini tak lepas dari kuatnya tradisi dan budaya egaliter masyarakat Lamaholot.
orang lamaholot terkenal dengan budaya Penetan/Pnetan yaitu aktifitas jual beli dengan mempertahankan jual beli sistem barter, meski sebenarnya di sana masyarakat telah lama mengenal uang. Bahkan aktifitas budaya penetan/pnetan (jual beli sistem barter) ini hingga kini masih di lestarikan. Pencaknya terjadi pada hari rabu di pasar Labala dan setiap hari sabtu di pasar wulandoni. Di pasar barter Labala dan wulandoni inilah kita akan menemukan realita interaksi sosial ata kiwan (orang gunung) yang mayoritas Kristiani dan ata watan (orang pantai) yang mayoritas Muslim, melakukan transaksi tukar menukar ikan dengan beras, buah alpukat, tomat dan kebutuhan pokok lainnya.
Tradisi dan budaya penetan/pnetan inilah menjadi pagar lestarinya semangat toleransi umat bergama. Betapa tidak, dalam budaya penetan/pnetan, masyarakaat lamaholot diharuskan bergaul dan berbaur dengan semua orang dari berbagai kalangan, baik mereka  yang muslim maupun meraka yang kristen atau yang memiliki keyakinan lainnya. Tradisi dan budaya penetan/pnetan merupakan tradisi luhur yang diwariskan oleh nenek moyang orang lamaholot di kecamatan Wulandoni dan kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata.
Selain tradisi penetan/pnetan, Anda mungkin pernah mendengar orang-orang lamaholot dari Desa Lamalera di Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata yang memiliki tradisi unik menangkap ikan paus. Tradisi menangkap/menombak ikan paus secara tradisional ini merupakan salah satu tradisi yang paling terkenal di indonesia. Tradisi ini dilakukan saat lewa nuan/ lefa nuan (musim melaut). Dari tradisi mangkap ikan paus inilah, orang lamalera mempertahankan dan melestarikan tradisi penetan/pnetan hingga kini. Orang Lamalera melestrarikan budaaya penetan dengan menukar hasil tangkapaan paus dengan kebutuhan pangan di pasar barter Labala dan Pasar Barter Wulandoni. Tradisi unik yang barangkali hanya ada di pasar wulandoni dan labala. Kerukunan yang berawal dari aktifitas niaga secaraa tradisional ini kemudaian menjalar keberbagaai aktifitas sosial lainnya, termasuk aktifitas keagaamaan masyaarakat lamaholot.
Bila anda jalan-jalan ke Kabupaten Flores Timur dan Lembata di bulan Ramadhan dan saat jelang idul fitri misalnya, anda akan mendapati bentuk toleransi nyata dimana orang lamaholot yang kristiani akan menjadi panitia pelaksanaan idul fitri. Di bulan ramadhan, jelang saat buka puasa, seorang muslim lamaholot akan dijamu oleh seorang lamaholot kristiani untuk bersama berbuka puasa. Tentu saja si orang lamaholot yang kristiani ini tahu bagaimana adab melayani teman muslimnya. Begitu juga sebaliknya bila ada perayaan natal, saudara lamaholot yang muslim akan menjadi panitia pelaksana hari besar tersebut.
Dari sini kita bisa belajaar, bahwa betapapun perbedaan yang kita miliki, tidak serta merta menjadikan kita berjarak dengan sesama kita yang lain. Apapun latar belakang sosial dan keyakinannya. Satu hal yang perlu dicatat: Ternyata tradisi dan budaya memiliki andil positif dalam menjaga kerukuan antar umat beragama seperti tradisi dan budaya penetan/pnetan yang di aktualisasikan orang lamaholot dalam wujud interaksi jual beli di pasar barter Labala dan Pasar barter wulandoni di kecamatan wulandoni, Kabupaten Lembata-NTT. (**)