BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Minggu, 19 Mei 2013

Perempuan Labala (10)


Ake Susah Kuran

Oleh Muhammad Baran

Sudah menjadi tradisi, perempuan lamaholot rela atau terpaksa harus menerima kehadiran orang ketiga, keempat, kelima atau keberapapun dalam biduk rumah tangganya. Perempuan lamaholot umumnya legawa, menerima apa adanya bila memiliki beduen (madu).

Biasanya, bila punya beduen, istri pertama memiliki kewenangan lebih besar dalam urusan rumah tangga dan keluarga. Kewenangan yang dimaksud adalah lebih berhak  menentukan pembagian nafkah suami atau pembagian warisan. Umumnya istri pertama memiliki bagian lebih banyak, meski terkadang suami cenderung pilih kasih. Peran penentu dalam pembagian jatah dengan madunya ini terjadi secara otomatis tanpa klaim atau keberatan dari para istri muda sang suami. Karena otoritasnya ini, orang labala menyebut istri pertama dengan istilah kewae nolohe (peremuan pertama suami).

Mereka para perempuan lamaholot ini akan menjalani kehidupan dengan penuh ketabahan dan kesetiaan yang tiada tara. Meski sekali lagi,  setelah berumah tangga, cenderung dipandang sebelah mata, dan diperlakukan secara tidak adil oleh suaminya.

Kita bisa menjumpai realitas ini pada kehidupan nyata perempuan lamaholot. Jarang atau amat sangat sedikit kita temukan dalam kehidupan rumah tangga, para perempuan lamaholot berselingkuh. Bahkan meski ditinggal pergi sang suami merantau sampai puluhan tahun lamanya. Para perempuan tangguh ini tak sedikit pun tertarik untuk kawin lagi atau menerima lamaran laki-laki lain  yang ingin mengawininya.

Bila ada istri yang selingkuh atau bertindak amoral selama kepergian suami merantau, itu dianggap musibah atau kutukan. Ada nalan atau hal-hal buruk atau aib atau dosa masa lalu yang pernah dilakukan keluarga perempuan sebelumnya sehingga  menuai karma. Karma ini bisa terjadi kepada siapa saja, baik laki-laki atau perempuan dengan jenis karma atau musibah yang berbeda.

Di sini, orang lamaholot menganggap balasan atau karma atas nalan (dosa) sangat kuat. Karma ini bahkan diyakini bisa menurun kepada anak cucu kelak bila yang berdosa tidak segera melakukan ritual tobat dengan melakukan  semacam pengakuan dosa. Untuk itu dalam perjalanan kehidupannya, orang lamaholot sangat menghindari suatu pantangan atau dosa atau pamali, apa lagi pamali yang berkaitan dengan adat.

Saya pribadi, sebagai generasi muda lamaholot, merasa bersyukur karena masih mendapati kehidupan adat yang keras ini ketika masih kecil dulu. Saya masih mendapati dan menyaksikan batapa inak-inak ata labala di kampong saya yang ditinggal pergi sang suami merantau. Bekerja seorang diri di kebun seorang diri pergi penetan alias berdagang dengan sistem barter dari satu kampong ke kampong lain. Ini dilakukan hanya untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil.

Hal yang paling saya kenang ketika masa kecil dahulu, bila tiba musim mula wata (menanam) dan musim belo wata (memenen), para inak-inak tangguh ini punya ritual gemohin (gotong royong) menanam atau memanen apa-wata (hasil kebun).

Tradisi gemohin menemukan momentumnya yang pas bagi para perempuan malang ini. Kegiatan ini selanjutnya dijadikan ajang untuk saling curhat dan saling menguatkan dan berbagi kepada sesame. Mereka merasa memiliki  nasib dan garis hidup yang nyaris persis. Perlahan, dengan tradisi gemohin ini, perlahan mereka bisa melupakan kemalangan, pahit getirnya kehidupan karena ditinggal pergi suami merantau dan entah kapan akan pulang ke labala.

Ketangguhan dan kesetiaan perempuan lamaholot ini mencapai puncak pembuktian ketika mereka para parempuan mendengar kabar,  sang suami  telah beristri lagi di tanah rantau. Namun mereka tetap setia pada asangannya. Sembari menunggu  sang suami pulang dengan istri barunya itu,  seorang perempuan lamaholot ini berusaha untuk terus merawat dan mencari nafkah menghidupi nak-anaknya. Sungguh saya tak sanggup membayangkan ada kehidupan yang seperti ini yang dialami para inak-inak di kampong saya.

Dari kenyataan ini, bagi saya sebagai generasi lamaholot, kehidupan perempuan lamaholot adalah kehidupan yang mengagumkan. Dari sinilah nilai-nilai ketabahan, kesetiaan,  dan kejujuran khas perempuan lamaholot diwariskan kepada nuba-sili (putra-putri). Generasi yang akan akan melanjutkan perjuangan hidup yang tidak mudah ini. (**)

Perempuan Labala (9)


Kiden Kala Ina Wae

Oleh Muhammad Baran

Seperti perempuan lamaholot pada umumnya, watak atau karakter perempuan labala ditempa  oleh aturan adat liat. Sebagaimana umumnya tradisi kehidupan di Indonesia, bahkan di dunia, dalam budaya lamaholot, perempuan hanyalah  pelengkap laki-laki dalam struktur keluarga dan masyarakat.

Meski pengaruh agama dan teknologi telah masuk dalam kehidupan orang labala, tak serta merta menggeser struktur budaya turun-temurun yang cenderung memarginalkan peran perempuan. Struktur kekeluargaan orang lamaholot adalah patrilinear dimana garis keturunan mengikut pada  suku atau klan laki-laki/suami. Denga serta merta,  bila orang lamaholot ingin menyematkan nama anak keturunannya baik laki-laki maupun perempuan menyertakan tambahan nama suku di belakang nama anak.

Perempuan dalam tradisi lamaholot adalah mereka yang ditakdirkan untuk menjadi warga kelas dua di bawah baying-bayang laki-laki. Terkadang bila seorang perempuan yang sudah bersuami tak ubahnya adalah seorang jongos. Bahkan menjadi tawanan keluarga suami  dengan alasan, perempuan perempuan sudah dibeli/dibayar dengan belis (maskawin) berupa bala  (gading gajah). Orang lamaholot mengenal istilah welin witi-bala.

Tidak heran bila umumnya masyarakat lamaholot, termasuk di labala,  seorang laki-laki sah-sah saja  memiliki istri lebih dari satu. Apalagi yang berlatar belakang golongan ata raya (bangsawan). Di sini orang lamaholot mengenal kapitan pulo-pegawe lema untuk  mereka yang  berasal dari keturunan raja atau bangsawan. Mereka ini biasanya  memiliki istri lebih dari satu.  Bahkan bila sang suami ingin beristri lagi, praktis  tak perlu meminta restu sang istri.

Tapi persoalan memiliki istri lebih dari satu bukan hanya monopoli keluarga yang berlatar belakang bangsawan saja.  Laki-laki yang berlatar belakang dari golongan masyarakat ata keriden atau orang biasa  sekalipun bisa memiliki istri lebih dari satu. Ini karena tidak ada aturan adat baku yang melarang. Bahkan laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu dianggap wajar-wajar saja. Yang tidak wajar, bila terjadi sebaliknya.

Setelah seoranng perempuan lamaholot berumah tangga, keyakinan dan kepatuhan yang teguh terhadap aturan adat, membuat mereka  dituntut untuk berbakti kepada sang suami. Karena sebagaimana keyakinan yang lazim,  bila ada istri yang tak patuh kepada suami hal yang menyalahi adat.

Namun sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya,  sekeras apapun sebuah sistem kehidupan yang terkesan tidak proporsional dan cenderung tak adil,  namun ada nilai positif dari tradisi  yang ketat itu. Termasuk tradisi orang lamaholot yang terkesan mengungkung  eksistensi perempuan, namun justru perlahan tapi pasti kungkungan ini kemudian  justru membentuk karakter khas, watak alamiah perempuan lamaholot. Umunya perempuan lamaholot  berkarakter kuat, bermental baja,  dan berwatak tahan banting.

Para perempuan tangguh ini lebih  mengutamakan keutuhan rumah tangganya, terutama rumah tangga yang telah dikaruniai anak,  ketimbang meminta cerai kepada suami yang memperlakukannya tidak sebagai mana mestinya.

Lagi pula tak ada istilah perceraian dalam kamus adat orang lamaholot. Yang ada hanya istilah peke wekiha. Artinya, kedua suami-istri saling mencampakan atau saling meninggalkan dalam pengertian tidak terputus sepenuhnya.. lebih tepatnya hubungan mereka masih menggantung sehingga kapan saja  masing-masing pihak bisa rujuk. Suami-istri dikatakan putus hubungan bila sang istri telah diperistri laki-laki lain. Tapi hal seperti ini jarang sekali terjadi dalam adat dan budaya orang lamaholot.

Sementara itu, biasanya  perempuan lamaholot yang di tinggal mati oleh suaminya, boleh dikawini oleh saudara sang suami. Namun lagi-lagi, ini jarang terjadi karena perempuan lamaholot umumnya lebih memilih menjadi kiden (menjanda) sepeninggal sang suami. (**)

Perempuan Labala (8)


Kiden Ina Mehak Rae Lango

Oleh Muhammad Baran

Ama oh ama..
bera balik ia lewo.
Jadi kame ata buto,
ama pana balik hala.
Keban rae lewo weran,
ina mata peken goe rua.

Ada hal yang tak lazim di sini. Suami yang jauh merantau, kadang bertahun tak pernah mengirim kabar berita maka biasanya kami anak-anak labala yang malang ini sering menanyakan kabar amak-amak kami bila ada orang sekampung kami yang pulang dari sabah-malaysia.

Istri mana yang sanggup menanggung derita lahir-batin lantaran bertahun-tahun tanpa kabar dari sang suami? Anak mana yang tak sedih bila melihat teman sepermainannya bisa bermain atau digendong oleh amaknya yang baru pulang dari rantau?

Airmata kesedihan bagi inak-inak yang dicampakan kelake (suami) dan anak-anak labala yang ditinggal pergi amak, seperti sudah menjadi karib. Inak-inak kami seperti kewae kiden (janda) yang ditinggal mati suami  dan kami anak-anaknya seperti kenukan (yatim). Padahal kami masih punya amak yang masih hidup, tapi entah dimana sekarang.

Hulen ata nekin-wanan,
geka basa rema leron.
Pi terado pita gere,
gaha gape weli wato pukan

Meski alas an kepergian kelake (suami) adalah untuk mencari nafkah, namun para kewai (istri) dan anak-anak malang ini menghidupi dirinya dengan bekerja keras di lewotanah (kampong halaman). Sementara harapan nafkah yang dinanti dari perantauan tak kunjung tiba. Satu tahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya terus menanti.

Di kampong saya, labala, dengan alas an merantau, ada suami yang tega meninggalkan istri dan anak-anaknya hingga 30-an tahun. Bahkan ada yang sampai beristri-beranak lagi di perantauan. Ada juga bahkan sampai tua dan meninggal di perantauan.

Saya tak sanggup mengukur kadar kesetiaan para inak-inak kami di kampong yang meskipun  dikhianati suaminya,  tetap tabah menjalani hidup, dan sabarmembesarkan anak-anaknya seorang diri. Bukan main. Bahkan mereka tak sedikitpun tergoda  untuk menerima lamaran laki-laki lain yang berniat memadunya.
Umumnya saat pergi merantau, anak yang ditinggal pergi sang bapak masih sangat kecil, bahkan belum bisa mengenakan celananya sendiri. Rata-rata anak di labala ditinggal amaknya pergi merantau berusia 5-7 tahun. Usia yang masih sangat belia. Anak-anak ini semestinya masih  berhak mendapatkan kasih saying dan pengayoman dari amaknya selaku kepala keluarga.

Saya sendiri termasuk salah satu anak labala yang malang itu. Saat ditinggal pergi amak,  saya baru berumur enam tahun. Saat itu saya belum  duduk di bangku sekolah. Amak saya baru pulang dari merantau saat saya sudah melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Bukan main penantian ini. (**)

Perempuan Labala (7)


Wata Pirin Sina, Wai Mangko Jawa

Oleh Muhammad Baran

Saya teringat  sebuah lagu daerah lamaholot. Lagu ini sangat popular  tahun 1990-an. Waktu itu saya masih kecil. Masih duduk di bangku SD. Meski judul pastinya saya lupa, tapi isi syairnya meski samar-samar, saya masih ingat. Kalau saya tak salah ingat, lagu ini dipopulerkan oleh penyanyi asal adonara, Wens Kopong.

Makna dari keseluruhan syair lagu ini menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat lamaholot terkhusus perempuan yang ditinggal pergi suami untuk merantau. Dengan bentang alam yang kering karena curah hujan yang minim, memaksa masyarakat lamaholot terkhusus laki-laki lamaholot untuk merantau. Mungkin masyarakat lamaholot bisa dikategorokan perantau yang handal, pejelajah ulung.

Untuk lebih memaknai syair lagu yang menyentuh ini, berikut saya sertakan  keseluruhan isi lagu ini. Harapan saya, semoga kita bisa menghayati dan memahami pesan yang disampaikam.

Lera Helen lodo,
ina Helen woka kuma.
Tobo weli luran tukan
ina tobo golek wato puken

Saya teringat masa kecil dulu. Membayangkan ketika matahari hendak terbenam di balik pundak gunung labalekang. Apa lagi musim kemarau biasanya langit terlihat lebih cerah. Matahari yang terbenam biasanya meninggalkan semburat cahaya warna jingga di kaki langit labala.

Saat-saat seperti ini, inak-inak di labala, kampong kami sudah mulai pulang dari duli pali (kebun) meski masih lelah, mereka kebiasaan petu wata (titi jagung) untuk persiapan makan malam.

Umumnya , sebagaimana yang telas saya ulas pada tulisan sebelumnya, inak-inak di kampong saya  tinggal seorang diri dan membesarkan kami anak-anaknya. Sementara para suaimi pergi merantau ke sabah-malaysia atau di mana saja. Bukan hanya setahun, dua tahun. Para suami ini merantau sampai belasan bahkan puluhan tahun.

Maka hangan heran bila inak-inak ata lamaholot umumnya adalah para perempuan tangguh. Mereka mengambil alih pekerjaan suami dengan bekerja di kebun, pergi penetan untuk membiayai hidup dan sekolah anak-anaknya. Mereka bahkan menjaga kesetiaannya kepada sang suami dengan tetap menunggu dan menunggu.

Tobo taan nani louk,
louk lebo wato lolon.
Peten susah lango gere,
nolo keso noi hala.

Inilah gambaran betapa kehidupan perempuan lamaholot umumnya, terkhusus perempuan labala, kampong halaman saya. Kehidupan yang sangat keras. Alam lamaholot mengajarkan kepada inak-inak kami untuk menjadimanusia tegar. Pantang menyerah pada keadaan deni kelangsungan hidup nuba-naranya. (**)

Perempuan Labala (6)


Elle Pito, Rapen Lema

Oleh Muhammad baran

Ina…
Puken elle tepelate,
Elle nete kolali duli lubun tukan

Ina…
Geni rapen tegelara,
Rapen bawa kolali pali wolon lolo

Sebenarnya eksistensi dan peran perempuan lamaholot sangat sugnifikan dalam kehidupan social-budaya orang lamaholot. Namun eksistensi ini seakan kalah pamor dengan eksistensi para lelaki yang memang lebih dominan memiliki kuasa dalam adat dan tradisi yang patrilinear. Seakan  ketika para perempuan ini menjalankan perannya dalam tata laksana adat dan kehidupan keluarga, itu hanyalah semata kewajiban yang tak pantas diganjar dengan harga yang setimpal. Ini sebuah ironi kalau enggan mengatakan petaka.

Meski kenyataannya beban tugas perempuan lamaholot umumnya melebihi kadar kemampuannya sebagai seorang ibu atau perempuan, namun dalam tradisi adat lamaholot, penghargaan  tetap diberikan lebih kepada para lelaki sebagai pemangku kebijakan. Sesuatu yang paradoks memang. Tapi inilah realita kehidupan yang mesti diterima sebagai sebuah perjalanan sejarah manusia.

Meski terjadi semacam ketimpangan dan ketidakadilan, namun para perempuan lamaholot yang tangguh ini sama sekali tak menuntut atau mengharap sebuah penghargaan, apa lagi sekadar pengakuan. Bagi mereka, pengabdian tulus kepada suami  dan pengorbanan untuk putra-putrinya merupakan kewajiban nomor satu. Keutuhan rumah tangganya adalah perioritas utama dalam hidupnya. Mereka akan menemukan kepuasan batin tersendiri manakala berhasil menjalankan pengabdian tersebut. Tak peduli meski pengabdian yang telah mereka persembahkan kerap tak mendapat apresiasi atau penghargaan yang sepantasnya.

Bagi saya, para perempuan lamaholot merupakan potret langka kesetiaan dan pengabdian yang nyaris total. Pengabdian tanpa menuntut imbalan. Pengabdian yang semata-mata karena panggilan nurani untuk menjalankan kewajiban sebagai istri bagi suaminya, dan ibu bagi putra-putrinya. Kemuliaan memang hanyalah milik mereka yang berkorban untuk kebahagiaan orang yang di cintai. Dan kemuliaan ini pantas diberikan kepada para perempuan lamaholot ini.

Kesetiaan dan pengorbanan perempuan lamaholot ini mungkin sulit dicari tandingannya di manapun saat ini. Maka alangkah naifnya bila peran atau kontribusi yang telah mereka berikan  tak mendapat ruang apresiasi dan penghargaan setimpal di hati sanubari putra-putri dan generasi lamaholot. Meski sekali lagi, mereka tak pernah meminta apresiasi itu.

Ina.. tani kaan louk gohuk
Ina .. hutan kaan ranet labot…..

Sebagai generasi muda, saya hanya bisa berharap, nilai-nilai positif yang lekat pada sosok kewae (istri) atau inak (ibu) atau berwae (Perempuan) lamaholot ini, meski tak semuanya, paling tidak sedikit menjadi teladan hidup dan diwariskan kepada generasi muda, terkhusus para perempuan di zaman sekarang. Ketulusan pengabdian para inak-inak ini bukanlah pengabdian buta, namun melalui  kesadaran nurani yang mendalam bahwa keutuhan  dan harmoni sangat dibutuhkan untuk melanggengkan sebuah ikatan keluarga dan rumah tangga masyarakat lamaholot.

Saya pun yakin, selama para perempuan lamaholot mengambil peran sebagai penyeimbang di tengah gejolak kehidupan yang sarat uji dan coba ini, baik kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan bangsa, maka keseimbangan hidup akan terus lestari dan terjaga.  Namun bila sebaliknya yang terjadi, maka akan terjadi banyak kekacauan hidup lantaran para perempuan  menanggalkan fungsi sentralnya sebagai  penyeimbang kehidupan.

Ketika para lelaki yang memiliki kecenderungan egoisme dalam memanajemen kehidupan, maka kita butuh para perempuan untuk menjadi penawar asinnya egoisme para lelaki itu. Dan peran penting itu telah dijalankan oleh para perempuan lamaholot. Terkadang, untuk mewujudkan cita-cita keserasian dan keseimbangan hidup, maka pengorbanan dan pengabdian seperti yang diperankan oleh para perempuan lamaholot, sangat dibutuhkan di tengah kehidupan yang semakin jauh dari nilai kesetiaan, pengorbanan dan dedikasi yang tulus.

Ina.. pana peken di kenei
Ina.. gawe lupak di bedela… (**)

Perempuan labala (5)


Duli Tukan, Pali Lolon

Oleh Muhammad Baran

Ina .. duli tukan lali mai
Ina.. pali lolon haka mai
Pana maan golek duli,
gawe maan gawak pali

Sebagaimana yang telah saya bahas pada tulisan sebelumnya, bahwa kehidupan perempuan lamaholot setelah bersuami mendapat ujian  yang tidak mudah. Apalagi setelah keluarga baru tersebut dilengkapi dengan kehadiran nuba-nara (anak keturunan) menghiasi biduk rumah tangganya. Perempuan lamaholot kemudian mengarungi lika-liku kehidupan yang berat. Bahkan boleh dikata inilah babak kehidupan tersulit yang akan dijalani seorang perempuan lamaholot.
Sebagaimana umumnya kehidupan masyarakat flores, karena tuntutan ekonomi, umumnya laki-laki orang lamaholot setelah menikah, mereka akan meninggalkan anak-istrinya untuk nai doan (pergi merantau). Para lelaki ini umumnya pergi merantau dalam jangka waktu yang lama. Tak hanya setahun atau dua tahun, mereka merantau sampai belasan  bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya.

Di sinilah peran seorang perempuan lamaholot diuji dengan lamanya penantian dan kewajiban menghidupi putra-putrinya di lewotanah (kampung halaman). Seorang diri perempuan lamaholot melalui pahit getirnya kehidupan mencari nafkah, merawat dan mendidik anak-anaknya dengan penuh cinta selama sang suami berada di tanah rantau.

Dalam kesehariannya, para perempuan lamaholot kemudian mengambil peran penting yang sebenarnya bukan tugasnya yaitu menjadi kepala keluarga. Dari sinilah  perempuan lamaholot kemudian membentuk  karakter pribadi nan tangguh, kesetiaan kepada suami tiada tara, ketabahan hidup mencari nafkah tanpa batas, rela berkorban untuk nuba-sili (putra-putrinya) yang dititipkan sang suami di pundaknya. Amanah yang teramat sangat berat di pikul bagi seorang perempuan. Di sini kadang saya berpikir, persepsi selamah ini bahwa perempuan adalah makhluk lemah dengan sendirinya terbantahkan.

Nuba…kame tani mayan oh ina
Nara ..kame hutan toen oh ina
Peten mo perohon hala,
Sudi mo pesayang kuran…

Dari interaksi yang intens dengan anak-anaknya  inilah sehingga perempuan lamaholot mewarisi nilai kesetiaan pada pasangan hidup, ketabahan menjalani hidup, kejujuran berperilaku dalam hidup,  serta kerja keras mengubah nasib hidup. Di sini, anak-anak lamaholot dididik oleh guru yang sebenar-benarnya. Anak-anak dididik dengan kasih sayang, cinta dan pengorbanan yang sesungguh-sungguhnya meski dalam keterbatasan. Maka jangan heran, orang flores umumnya dan terkhusus orang lamaholot terkenal sebagai perantau yang jujur dan ulet. Mereka adalah orang-orang terpercaya. Ini bukan bualan, tapi sebuah fakta. Ini adalah buah dari penanaman nilai luhur para inak-inak ata lamaholot nan tangguh itu.

Penanaman nilai-nilai luhur yang intens dan kedekatan emosional yang besar antara perempuan lamaholot dan putra-putrinya inilah menjadikan anak-anak mereka  cenderung lebih menghormati dan menyayangi sosok inak (ibu) sebagai idola dalam kehidupannnya. Mereka menganggap Inak adalah idola yang kata-katanya dianggap keramat.

Orang labala dan juga orang lamaholot umumnya mengenal istila koda dipelate, kiri digelara yang bermakna, petuah dan nasihat atau doa seorang inak (ibu) sangat keramat. Bila tidak diindahkan maka seorang anak bisa celaka dalam hidupnya.

Umumnya anak-anak lamaholot menghormati inak  murni karena kasih sayang dan balas budi atau jasanya mendidik dan membesarkannya. Sedangkan menghormati amak  lebih karena faktor penghormatan sebagai kepala keluarga yang mendapat kedudukan terhormat  di mata adat. Laki-laki dalam adat orang lamaholot memang memiliki kedudukan istimewa. Selain berwewenang mengurus tetek bengek  tata laksana adat, laki-laki juga lebih berhak mengatur urusan rumah tangga.

Meski demikian, karena para kelake  (lelaki/suami) orang lamaholot umumnya perantau selama bertahun-tahun, maka praktis biduk kehidupan rumah tangga dikemudikan oleh  kewae (perempuan/istri) sebagai kepala keluarga selama bertahun-tahun. Di sini, perempuan lamaholot memiliki peran ganda, yaitu selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai kepala keluarga selama kepergian suami. Mereka mengerjakan tugas yang semestinya menjadi kewajiban laki-laki/suami seperti mencari nafkah dengan bekerja di kebun, mulai dari proses menanam, sampai memetik hasilnya. Belum lagi peekerjaan dapur rumah tangga yang menumpuk, juga tugas mengasuh anak dan aneka pekerjaan lain yang berjibun. (**)

perempuan labala (4)


Inak Pile Amak Tada, Gereun Ata Nimun

Oleh Muhammad baran

Tena data…

Nuba pulo lein lau,
lugu dore laran lali…
laran lali doan-doan
doan sagu atu matan..

Nara lema weran rae,
Gere tapin tewa weli…
Tewa weli lela-lela,
Kotadon luewa..

Selanjutnya, laki-laki yang akan menjadi calon suami bagi perempuan lamaholot berasal dari klan ana makin.  Biasanya agar hubungan  keluarga  dari klan ibu dan keluarga bapak tidak putus, para kebarek (gadis) lamaholot yang berasal dari klan ibu yaitu anak perempuan dari saudara kandung laki-laki  atau saudara sepupu laki-laki ibu. Orang Labala menyebut atau memanggil saudara laki-laki ibu dengan opu lake. Anak gadis dari opu lake inilah yang bisa di kawini.

Kebanyakan sistem kawin mawin seperti ini dianggap paling ideal. Meski sebenarnya di antara laki-laki dan perempuan yang dijodohkan masih memiliki hubungan darah yang sangat dekat atau bisa katakana saudara  sepupu. Hubungan perjodohan antara sepupu ini dalam bahasa adat  orang labala disebut gereun nimun.

Mai tobo tena lali,
Mai pae laya weli
Ama… ama… ama…

Model atau sistem perkawinan seperti ini dalam ajaran agama islam yang di anut mayoritas orang labala ini sangat terlarang. Sebab antara si lelaki dan perempuan  masih memiliki hubungan darah yang sangat dekat. Hanya saja, sebagai mana yang telah saya jelaskan sebelumnya,  pengaruh adat masih sangat kuat pada hampir semua kehidupan orang lamaholot

Babak selanjutnya dari kehidupan rumah tangga dan social perempuan hanyalah  mengabdikan diri kepada keluarga suami bahkan keluarga besar suku atau klan suami.

Bua tukan lau mai,
Bua bogeliki tena…
Tebede…tuka lau mai

Dayon lolon haka mai,
Dayon bogemapak laya…
Tebede… lolon haka mai

Bila ada acara adat di labala yang melibatkan semua suku atau klan misalnya, maka perempuan sepenuhnya membantu bekerja melayani kepentingan keluarga besar suku atau klan suaminya. Mulai dari urusan adat dimana perempuan memiliki tupoksi urusan dapur . Perempuan lamaholot ini dituntut gelekat suku lamak (mengabdi) secara total hingga selesai urusan adat.

Perempuan Labala adalah representasi perempuan lamaholot yang berdedikasi tinggi terhadap suami dan dan keluarga dalam suku lamak. Mereka hanya bisa melakukan gelekat (pengabdian) kepada keluarga inak-amaknya (ayah-ibunya) atau naan (saudara laki-lakinya) bila mendapat restu atau izin dari keluarga suami. Dalam hal ini kapasitas mereka (perempuan) dalam suku atau klan keluarganya adalah sebagai ina bine yaitu saudari atau anak perempuan yang kembali mengabdi kepada keluarganya.

Ole lolon nen temedo
Wura walen nen tedata…
Ama… ama... ama…

Selanjutnya, dalam kehidupan rumah tangganya, perempuan lamaholot kemudian mengarungi lika-liku  kehidupan yang tidak mudah. Apa lagi dalam keluarga baru tersebut dikaruniai anak keturunan, sang suami kemudian  pergi merantau berpuluh-puluh tahun karena tuntutan ekonomi.

Ama kata orangtua,
Mata ewan gosu-gosu…
Kaka ata lekot gayo,
Bolak ewan labot-labot…
Ama… ama… ama… (**)

Perempuan Labala (3)


Jodoh Sampe Hala Hae…

Oleh Muhammad Baran

Nuba kame ata medon
Timedo-medo, ata mete hulen lile..
Nara kame ata susah
Tisusah-susah,  onek mete noi denga

Sebagaimana yang telah saya singgung pada tulisan sebelumnya, karakter dan watak perempuan lamaholot umumnya dibentuk oleh aturan adat yang menuntut para perempuan  untuk mengabdi kepada laki-laki (suami)

Kepatuhan yang nyaris total terhadap adat yang cenderung memarginalkan peran perempuan inilah sehingga dalam hal pengambilan keputusan dan kebijakan, perempuan lamaholot nyaris tak  punya andil. Perempuan hanya berperan di balik layar terutama mengurus  keluarga, merawat dan membesarkan  anak, serta mengatur urusan dapur bila  ada hajatan adat.

Sesuai aturan adat, setelah dipingit dan menikah, kehidupan perempuan lamaholot terlepas dari ikatan keluarganya. Maksud saya, segala hal yang menyangkut tanggung jawab kehidupan perempuan, pihak keluarga  tak lagi memiliki kuasa melakukan interfensi atau campur tangan.  Perempuan lamaholot kini sudah menjadi milik keluarga suami, dan masuk menjadi anggota  keluarga baru suku atau klan suaminya.

Gaku liman sedon, mete pana mai
tiwan leik tepelea….
Towa leik barek, mete gawe mai
Walen lima tewelekot…

Praktis keluarga perempuan berlepas tangan dan menyerahkan  sepenuhnya tanggung jawab anak perempuannya kepada suami dan keluarga suami. Keluarga perempuan  hanya boleh campur tangan mengurus anaknya bila terjadi pelanggaran janji adat atau kesepakatan adat oleh pihak laki-laki  mengenai belis/weli (maskawin)  atau bila terjadi kekerasan fisik kepada perempuan yang melampaui batas yang dilakukan suaminya.

Di sini, keluarga perempuan lamaholot melakukan tuntutan adat atau terpaksa turun tangan  menyelesaikan masalah anak perempuannya. Selain dari persoalan itu, praktis  tak lagi ada wewenang atau otoritas  bagi keluarga perempuan  mencampuri kehidupan keluarga putrinya.

Umumnya perempuan lamaholot kawin dengan laki-laki pilihan orangtuanya. Lebih tepatnya , perempuan lamaholot dijodohkan. Mereka nyaris tak punya pilihan sendiri untuk menentukan pilihan menikah dengan laki-laki mana yang disukainya.

Remaka dako ata suku bela
onek sena tegerenga….
Turu tali ata riansare
Aek geka teberewo…

Sesuai aturan adat, selama para perempuan lamaholot belum bersuami, mereka sepenuhnya berada dalam tanggung jawab orangtua. Maka orangtualah yang paling berwewenang penuh mengatur kehidupan anak perempuannya, termasuk dengan laki-laki mana yang pantas untuk dijodihkan dengan sang anak.

Ini kedengarannya seperti kisah cinta siti nurbaya, namun inilah kenyataan yang harus diterima perempuan lamaholot. Suka atau tidak. Bahkan nyaris dalam tata laksana adat,  perempuan hanya memiliki kapasitas sebagai pelayan atau pelaksana  kebijakan adat. Mereka tidak memiliki wewenang  memutuskan kebijakan adat yang memang menjadi monopoli kaum lelaki.

Peten hala, maan wure bura
Kiden rae tewerekot uma tukan
Sama wato miten lango tukan

Sudi hala. Maan bene-bene
Tudak lau teberenga lango onek
Helon wura bura watan lolon. (**)

Perempuan Labala (2)


Sayang Go Binek e….

Oleh Muhammad Baran

Sayang go binek e…
Lodo pana dore mai
Welin bala rua, rae raan ro kae

pada kesempatan ini, meski sangat terbatas,  izinkan saya  sedikit mengulas tentang peran perempuan lamaholot, khususnya perempuan labala, kampung halaman saya. Peran yang saya maksudkan di sini adalah peran dalam kultur social budaya dan adat istiadat sebagai masyarakat lamaholot.
Di sini saya hanya membahas eksistensi dan peran  perempuan lamaholot saat menjelang  dan  dan setelah pernikahannya dengan laki-laki yang kelak menjadi suaminya, dan mengemban tugas sebagai ibu dari anak-anaknya.

Umumnya perempuan lamaholot, termasuk perempuan labala, sebelum berkeluarga, setiap keluarga sudah membekali anak perempuannya dengan keterampilan sebagai seorang perempuan. Keterampilan ini diharapkan menjadi bekal ketika kelak anak perempuan menjadi ibu rumah tangga dalam keluarga suami.

Pai tite hama-hama
soka sele mura rame
Nawo bine tite, maso suku wuun nae


Sebagai mana adat orang lamaholot pada umumnya anak perempuan yang masih kebarek (gadis) diajarkan keterampilan biho behi (memasak), tane tenane (menenun), ola belo atau mula belo (berkebun), hewi atau hewing (menganyam) dan beberapa keterampilan yang menjadi kewajiban seorang perempuan lamaholot sebelum memasuki jenjang perkawinan.. 

Pekerjaan dapur yang paling utama yang diajarkan inak (ibu) kepada kebarek(anak gadisnya) adalah petu wata (titi jagung). Ritual petu wata ini merupakan ritual wajib yang harus dipelajari seorang anak gadis lamaholot.

Selain petu wata, keterampilan  wajib lainnya yang dibekalkan inak kepada anak perempuannya adalah keterampilan tane tenane (menenun/tenun ikat). Untuk mahir menenun, Perempuan lamaholot terlebih dahulu menguasai keterempilan dasar dalam proses menenun. Keterempilan dasar yang dimaksud misalnya, kedu lelu (memintal benang kapas),  setelah benang kapas di pintal, perempuan lamaholot juga harus terampil hemma tou yaitu keterampilan mewarnai benang yang telah dipintal.

Sistem pewarnaan benang tenun menggunakan bahan alami berupa kelore (kulit akar mengkudu), apu (kapur sirih), tou (sejenis daun tumbuhan sebagai pewarna). Ketiga bahan dasar ini dihaluskan kemudian dicampur dengan air dan disimpan dalam keluba (belanga/periuk tanah) yang berisi benang yang sudah di pintal. Proses selanjutnya adalah mendiamkan benang tenun yang telah dicampur pewarna tersebut selama dua sampai tiga hari untuk memastikan pewarna merata dan benar-benar larut dengan benang.

Hasil dari keterampilan menenun adalah kewatek (sarung adat perempuan) dan Nowing (sarung adat laki-laki). Kedua keterampilan utama  yaitu petu wata dan tane tenane ini merupakan syarat mutlak  dikuasai sebelum seorang anak perempuan memasuki tahap atau jenjang kehidupan berkeluarga.

Sayang, sayang go binek e...
sayang go binek e.
gelekat suku wuun moe.
Gelekat maan sare-sare,
ake maan onem kuran.


Anak perempuan orang lamaholot juga sejak dini diajarkan untuk pintar ola belo atau mula belo duli-pali (bercocok tanam) di kebun. Keterampilan bercocok tanam ini sangat penting mengingat ini merupakan salah satu pekerjaan pokok perempuan lamaholot yang umumnya di tinggal pergi kelake (suami) ketika merantau.
Begitu juga, anak perempuan lamaholot harus bisa hewi atau hewing (menganyam). Umumnya keterampilan menganyam ini akan menghasilkan aneka kerajinan tangan seperti tikar sebagai alas tidur, penampih untuk menampih beras padi atau beras jagung, dan aneka mawa (Baskom) atau tempat yang digunakan untuk menyimpan hasil panen atau benih dalam jangka waktu yang panjang. Keterampilan lain yang juga dikuasai perempuan lamaholot adalah menganyam kote wili (kotak gendong) dan wajak yang berfungsi untuk menyimpan wua-malu (sirih-pinang) saat pesta pelaksanaan adat atau acara kematian. Perempuan lamaholot memiliki kebiasaan mengunyah sirih. Semua kerajinan anyaman ini menggunakan bahan dasar koli lolon (daun lontar)  atau pede lolon (daun pandan) yang sudah dikeringkan.

Demikianlah beberapa keterampilan dasar yang harus dikuasai oleh perempuan lamaholot sebelum mengarungi bahtera kehidupan bersama suami dan keluarga besar suku atau klan suami. Bila keterempilan dasar ini tidak dikuasai maka kemungkinan perempuan akan kewalahan dalam mengurus kehidupan rumah tangganya.

Pana gawe maan sare
Hukut kame naam ia…
Tobo napun bala, binek goe retero kae.. (**)