BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Sabtu, 06 September 2014

Labala, Apa Kabarmu? **

Labala, Apa Kabarmu? **

Apakah kita saling merindu? Entahlah! Meski kadang menyiksa, kerinduan itu pasti ada. Tapi seberapa besar kadarnya, aku tak tahu. Lebih tepatnya tak tahu mengukur kadar kerinduan itu. Toh bagiku, rindu adalah semacam alamat rumah untuk berkirim surat cinta.

Aku meninggalkanmu beserta segenap kenangan masa kanak-kanakku yang indah. Meninggalkan tanjung leworaja-mu dengan debur ombak yang tak pernah berhenti, nyanyian burung camar yang tak ingin berlalu, juga ingatan masa kanakku yang tak hendak pergi.

Labala, adakah kau rasakan rindu yang bermekaran seperti bunga jambu mente yang lagi musim di situ? Adakah riang dihatimu seperti dulu saat bersama di musim panen jagung dan kacang tanah? Oya, sekarang harga jambu mente dan kacang tanah sekilo berapa? Cukupkah untuk beli bensin buat amak-amak kami pergi melaut kalau malam hari? Cukupkah untuk ongkos naik ojek inak-inak kami untuk pergi jual ikan keliling?

Labala, Kita berpisah sudah begitu lama bukan? Kuharap, meski rentang waktu yang cukup lama sejak kita pisah, semoga kau tak lekas melupakanku, sebagaimana aku yang juga enggan untuk melupakan. Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Sebahagian besar masa kanak-kanakku kuhabiskan dengan menjelajahi jengkal demi jengkal Pantai Lukiono-mu, menyelami hasta demi hasta Laut Sawumu, menelusuri langkah demi langkah Bukit Wolo, padang sabana Lewo Lolon dan pohon-pohon kelapamu. Bagiku melupakan berarti menyingkirkan. Dari hati, juga ingatan. Dan aku tak hendak melupakan, apa lagi menyingkirkan. Sungguh…

Labala, kuharap kau masih seperti dulu…

Masihkah kau secantik dan seanggun dulu? Atau jangan-jangan barangkali banyak hal yang sudah membuatmu berubah? Jika iya, betapa sedihnya aku. Tak bisa lagi kunikmati pantaimu yang landai, lautmu yang jernih, juga aneka warna-warni terumbu karanngmu, ikan-ikanmu yang berseliwerang, juga keramahtamahan masyarakatmu yang memagang teguh adat dan budaya ata Lamaholot..

Aku dengar selentingan kabar angin; listrik PLN sudah masuk, jalanan pun sudah diaspal, signal handphoe pun sudah bisa dijangkau. Bahkan akses internet pun sudah bisa. Ah aku bayangkan nulu moe geha kae (kau memang benar-benar sudah berubah). Dulu kampung kecil, kini sudah menjadi kota kecil. Dan sebagai anak kampung, paling tidak ada kemajuan yang bisa kubanggakan darimu di hadapan teman-teman kuliahku di kota yang sombong itu.

Ada sedikit kebanggaan memang mendengar kabar kemajuanmu, namun sekaligus terselip rasa was-was. Jangan-jangan Labala yang sekarang, sama sekali berbeda dengan Labala yang kukenal masa kecilku dulu. Masa kecilku dulu, Labala yang kukenal dengan segenap keramahan adat dan budaya lamaholotnya. Dulu, Labala kukenal sebagai Tanah watan nen gelara, tanah timu te pelate. Tanah orang-orang yang diberkati, kampung orang-orang pemberani.

Labala yang kukenal masa kanak adalah lewotanah (tanah air) yang menjunjung tinggi budaya pohe (menolong) dan gemohin (gotong royong) sebagai warisan luhur para leluhur. Aku mengenalmu sebagai kampung di mana masyarkatnya yang bermukim di pesisir selatan Kabupaten Lembata, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai berkah-keramah (kehormatan dan harga diri), juga sebagai Ata Watan (Muslim Pesisir) yang taat dan fanatik.

Labala yang kukenal tempo itu, meski musim kemaraunya lebih panjang dari pada musim hujan, bahkan kerap nyaris gagal panen karena hujan yang lama tak kunjung turun, tapi nuba-nara-nya (putra-putrinya) tak pernah semaput karena kehausan, dan mati karena kelaparan. Makanan selalu ada meski tak harus secukupnya, air selalu ada meski tak selalu memuaskan.

Orang-orang sederhana ini hidup dengan keyakinan teguh, Tuan Lera wulan – Alap Tanah ekan , yaitu Sang Pemilik langit dan bumi mate mete noi, tilu mete denga, Maha melihat dan maha mendengar. Dia tak akan pernah mencampakkan, apa lagi meninggalkan orang-orang bersahaja ini. Ah dulu, siapa yang tak kenal dengan orang-orang ini? Tapi kini, masih adakah yang mengenal orang-orang ini?

Labala, lela onek sama sudi…

Bersabarlah dan tunggu aku pulang. Jangan tidak. Dan kenang-kenanglah aku yang pernah begitu mengakrabimu. Kenang-kenanglah kami ana-opu-mu di tanah rantau ini. Kame nuba murin-nara baran, mai doan seba ilmu, balik ola gelekat lewotanah suku ekan.

Makassar, Agustus 2014

Ana opu-mu

Ttd

Hamba Moehammad
---------------------------
**Dari Kumpulan Cerpenku “Surat Rindu Untuk Lewotanah”.

Kiden Moon amam Hena

heku heku, aku mala heku
heku tani mayan, mayan mala heku...
kiden moon, moon ama hena,

ina tani mayan, mayan mala heku....

niku hae, hae aem rae-rae,
amam rae, rae lango tani.
amam rae rae lango tani,
mayan tani mayan, mayan ole ina....

roi mio, mio mabe jadi. nala hikon sama, sama beto sina.
loran mio mio nabelao, mio jadi ata, ata jawa-jawa

tani tani, tani ake tani, tani anam hode, hode ake tani.
kiden tobo, moon amam hena. inam anam hode ake tani.

lone lone, lone dibelone, lone lou lebo, ana dibelone
turu peten, peten bae ina, ina lou lebo, lebo dibelone.

bera bali, bali bera bali, moe pana peten, peten bera bali.
peten ama mete tua lere, lere pana peten, peten bera bali.
peten ama mete tua lere, lere pana peten, peten bera bali.

lolon lolo, lolon lewa lolo, lolo amam tani kopo lewa lolo.
bayan ama nala bangku take, take amam tani, tobo lewa lolon.

nebak nero pana liko lapak hala, sudi mo kepae, anam ata nimun.

heku heku, heku mala heku, heku tani mayan, mayan mala heku..

goe nimun, nimun lango take, take tani mayan, mayan mala heku.
pana tobo dei ata lewo, lewo dore nasib, nasib punya mau.
 dore nasib, nasib punya mau, lau susah tode, tode hode liwo..

ia lewo, lewo ia lewo. lodo pana peten, nani ia lewo,
peten ama ia lango tobo, tobo pana peten, peten  bera balik..