BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Sabtu, 24 Mei 2014

Fungsionalisme Adat dan Budaya Orang Labala


Fungsionalisme Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala*

Oleh Hamba Moehammad
Prolog

Sebelum membahas “Fungsionalisme Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala” ada baiknya perlu diketahui pengertian dan tujuan dari fungsionalisme dalam menjelaskan norma, adat, tradisi dan institusi suatu komunitas masyarakat.

Fungsionalisme adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi.

Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.

Dalam arti paling mendasar, Fungsionalisme menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.

Emile Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem.

Setelah mengetahui pengertian dan tujuan fungsionalisme di atas, maka dapat dijabarkan bagaimana fungsionalisme berlaku dalam tatanan Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala.

Dalam adat dan tradisi orang Labala, Norma dan institusi sangat dipengaruhi oleh kultur keselarasan antara Tuhan, alam dan kehidupan manusia itu sendiri. Dalam tatanan kehidupan social, orang labala sangat mendasari nilai-nilai budaya  luhur alam. Maka tak heran dalam pemberian nama suku, gelar kesukuan,  dan jabatan dalam organisasi social dinisbatkan dengan kehidupan alam  di darat, laut dan udara dimana ketiga unsure ini mewakili sisi kehidupan manusia yang terdiri dari unsur Ape (api) yang diwakili oleh oleh hal-hal yang ada di darat, unsure lera-wulan (langit dan udarah) yang diwakili oleh hal-hal yang ada di angkasa dan wai (air dan laut).

Dari ketiga unsure di atas,  maka unsure Lera Wulan (udara dan langit) merupakan unsure terpenting dalam siklus kehidupan orang labala. Orang labala sering mengaitkan unsure Ama-Lera-wulan dengan konsep keyakinan tentang sang pencipta (Tuhan) sedangkan dua unsure lainnya yaitu Ape dan Wai sebagai Ina-Tanah Ekan (ibu pertiwi) tempat tuhan menyemai benih-benih kehidupan. Maka orang Labala mengenal dua istilah sacral yang sangat dijunjung tinggi yaitu Ama (Bapak) dan Ina (Ibu). Kedua kata ini juga merupakan representasi hakikat dari perikehidupan manusia yaitu kehidupan ukhrawi dan duniawi, dan menangkup makna ruhani dan jasmani, juga menjelaskan mana yang baqa (selamanya/kekal) dan mana yang fana (sebentar/sementara).

Kedua kata ini Ama (Bapak) dan Ina (Ibu) di kemudian hari memiliki pengaruh tidak hanya dalam tatanan adat dan tradisi tapi juga dalam tatanan politik pemerintahan dan agama. Dalam tatanan politik pemerintahan, orang labala mengenal istilah “Peten Ama” dan “Peten Ina”  dimana “peten ama” merupakan konsep atau gagasan tentang sebuah system konstitusi yang telah disepakati, dan dijalankan oleh Ama Belen atau pejabat public terhadap aspirasi Ribu-ratu (masyarakat). Sedangkan peten ina merupakan amalan atau realisasi dari konsep yang dijalankan oleh sebuah institusi seperti dewan atau pemerintah.

Dalam konteks agama, orang labala mengenal istilah Ama/ime belen (Imam besar)  atau pemimpin di mesjid yang berfungsi sebagai pemimpin ritual keagamaan seperti shalat, berdoa dan ritual lain yang menjadi tugas dan kewenangan laki-laki dan ina wae yang berfungsi sebagai makmum yang bertugas memberi dukungan dan mempersiapkan kelengkapan untuk ibadah.

Sedangkan dalam konteks adat, orang labala mengenal istilah Ama kaka/kaka bapa yang bertugas sebagai juru bicara dalam forum adat ketika membicarakan warisan/pusaka, dan weli/belis (mahar/maskawin) dari pihak laki-laki dan perempuan yang hendak menikahkan anak-anaknya dan ama kebele/kebelen (kepaala suku/adat). Orang Labala juga mengenal istila ina belen/ kwae belen yang menjalankan fungsi sebagai pihak yang memberi masukan terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus ditunaikan dalam prosesi adat.

Dengan melihat stuktur ini, sebenarnya  di labala  sudah jauh hari orang sudah mengenal konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Hanya saja orang Labala lebih memaknainya sebatas sebagai pembagian tugas atau peran yang sudah menjadi fitrah sebagai manusia yang di takdirkan sebagai laki-laki atau perempuan tanpa ada pretense bahwa laki-laki lebih berkuasa dari pada perempuan atau sebaliknya. Meski tak bisa dipungkiri, dalam semua perkara fungsionalisme adat dan budaya di labala, peran laki-laki memang lebih dominan namun tidak sertamerta kemudian dijustifikasi bahwa laki-laki lebih superior, tapi lagi-lagi kembali kepada tugas dan fungsi masing-masing yang sudah menjadi fitrah.

Trias Poliica vs Likak Telo Dalam Tradisi Orang Labala

Layaknya dalam struktur pemerintahan sebuah Negara moderen, dari zaman nenek moyang, orang labala sudah mengenal tiga lembaga/ institusi yang masing-masing memiliki peran tersendiri dalam mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Kalau dalam system pemerintahan sebuah Negara modern mengenal istilah trias politica (tiga lembaga politik) yang meliputi lembaga Eksekutif (pemerintah/kepala Negara) sebagai pelaksana konstitusi, Judikatif (hakim/jaksa/polisi) sebagai penjaga/penegak konstitusi, dan Legislatif (dewan/majelis) sebagai pembuat/perancang konstitusi, maka orang labala sejak zaman dahulu kala sudah mengenal system yang lebih dahulu canggih ini. Orang labala mengenal system ini dengan istilah Likak Telo (tiga mata tungku).

Ketiga lembaga dalam system tatanan social orang labala yang dikenal dengan Likak Telo (tiga mata tungku) ini terdiri dari Kapitan Pulo Pegawe lema (Raja dan bawahannya) yang diwakli oleh keturunan raja dan kapitan dari klan/suku Mayeli, Paa Kae (Empat Dewan adat) yang diwakili oleh empat kepala agama dari klan/ Labala, Lamarongan, lamasoap, Lamalewar,  dan Buto kae (Pemutus Sanksi adat) diwakili oleh dari masing-masing semua klan/suku yang ada di labala.
Dalam konteks agama,  orang labala memiliki pembagian tugas dan kewenangan dalam hal yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Adapun pembagian kewenangan dalam bidang agama meliputi; sebagai Imam mesjid, pembaca doa dalam ritual kemaatian, pernikahan, khitanan maulid nabi, juga imam hari raya besar menjadi tugas Klan/suku mayeli. Sebagai Khatib pada perayaan hari besar agama islam seperti hari jumat, hari raya idul fitri dan idul adha menjadi tugas dari klan/suku labala dan Lamasoap. Menjadi Bilal di mesjid dan hari raya besar merupakan tugas dari suku Lamalewar. Ketiga fungsi keagamaan ini kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai fundamental dalam agama islam yang menjadi keyakinan orang labala yaitu, Iman, Islam, dan Ihsan.

Sementara dalam konteks adat dan tradisi local, orang Labala mengenal tiga fungsi Likak Telo yang masing-masing menjalankan peran dalam tata laksana adat yang diwakili oleh tiga suku besar yang memiliki uma-lango Koko-bale (rumah adat besar) sebagai tempat pelaksanaan upacara dan ritual adat. Fungsi pertama dijalankan oleh komunitas Taran Wanan/Tere Wene (Tanduk Kanan) yang di kepalai oleh kepala klan/suku Labala dan membawahi beberapa klan/suku kecil di bawahnya dengan menjalankan fungsinya sebagai Lewo tanah alap (tuan tanah) yang mengurus duli-pali (tanah pusaka), wai mata (sumber air), ewe nawu (ternak). Fungsi yang kedua dijalankan oleh komunitas taran nekin / Tare heke (tanduk kiri) yang di kepalai oleh klan/suku Mayeli dan membawahi beberapa klan/suku kecil di bawahnya dengan menjalankan fungsi sebagai kapitan pulo pegawe lema (pemerintahan) yang mengurus maslahat ribu-ratu (Masyarakat banyak). Fungsi yang ketiga dijalankan oleh komunitas Ata bereket (panglima perang) yang menjalankan fungsi sebagai pengatur siasat perang dan damai dengan musuh rae mare (di darat) dan lau lewa (di laut).

Dari semua tatanan kehidupan orang labala sebagai fungsionalisme social budaya yang meliputi Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala, masing-masing klan/suku menjalankan fungsinya dengan harmonis. Bila struktur ini berjalan timpang, maka orang labala memiliki keyakinan, akan ada nalan/nale (dosa) yang hanya bisa diampuni bila yang melakukan pelanggaran terlebih dahilu menerima konsekuensi berupa sanksi menjalankan ritual doko nele (pertobatan) dengan melakukan ritual-ritual seperti, tula ree atau pau oma untuk kembali menjalin hubungan silaturahmi mistis dengan kekuatan-kekuatan yang diyakini memiliki daya magis.

Hingga kini, fungsionalisme adat dan budaya oleh orang labala masih dijalankan dengan itikat (niat baik) untuk menjaga keselarasan hidup dalam prinsip likak telo (tiga mata tungku) sehingga hubungan baik dengan Ama lera wulan (udara/langit) sebagai representasi unsure keilahian/ketuhanan, unsure ina tanah ekan (sesame manusia dan alam sekitar) tetap terjaga, terpelihara dan pada gilirannya akan diwariskan kepada generasi penerus.

Meski semakin kuatnya pengaruh ajaran dan keyakinan agama islam terhadap orang labala, namun itu tak membuat mereka serta merta kemudian meninggalkan system Likak Telo (tiga mata tungku) yang merupakan warisan berhargaa luhur para leluhur. Warisan ini bagi orang labala dianggap memiliki keunggulan tersendiri dalam mengatur tata kehidupan mereka yang tidak dimiliki oleh system apapun dan dari manapun di luar system adat yang dimiliki oleh orang labala sendiri. Dalam konteks  fungsionalisme adat dan budaya, orang labala memang memiliki sisi fanatisme tersendiri karena system ini dianggap paling ideal sebagai katalisator (membendung) pengaruh luar yang merusak dan menjaga persatuan dan kebersamaan orang labala dari kemungkinan perpecahan kelompok dan golongan. Selain itu system Likak Telo ini hingga kini masih dianggap paling cocok dengan karakter atau tabiat orang labala yang cenderung susah diatur karena system lain dianggap tidak cukup dan cakap untuk mewakili aspirasi orang labala yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam klan/suku.

Sebagai tambahan informasi, di labala ada sekitar 27 ragam klan/suku yang masing-masing dibagi ke dalaam tiga komunitas besar yakni komunitas Taran Wanan, Komunitas  Taran Nekin, dan  komunitas Ata Bereket.

A)     Komunitas Taran Wanan yang memiliki rumah adat senera terdiri dari:
1.                   Klan/suku Labala yang meliputi; Labala Resiona, Labala Kreoiona, Labala Enga Duaona, Labala Enga Daiona, Labala Rumaona, Labala Keleppa Woho.
2.                   Klan /suku Lamasoak, Lamalerek, Lewokro, Duamudaj, Lebao, Bakiona, Lewohajon, Keloboona, Kahawolor.

B)     Komunitas Taran Nekin yang memiliki rumah adat di bale adat terdiri dari:
1.      Klan/ suku Mayeli Atulolon, Mayeli Atulangun, Lamarongan Retapukan, Lamarongan Tobipukan, Lamabelawa, Teroona, Kelepak, Lamabain, Leragere.
C)    Komunitas Ata Bereket yang memiliki rumah adat di koko lamalewa terdiri dari:
1.      Klan/suku Lamalewar, Laweona, Lamaleak.

Dari tiga komunitas besar di atas, masing masing klan/suku memiliki rumah adat dan kepala suku sendiri-sendiri dan akan berkumpul di rumah adat masing-masing  bila ada musim upacara adat seperti ritual Tuno wata rekke (Bakar jagung makan) ketika musim panen tiba. Dan bila Kebelen (kepala klan/suku) di komunitasnya mengadakan ritual maakan jagung di rumah adat besar di Senera, atau Bale Adat, atau, di Koko Lamalewa, maka masing-masing klan/ suku dalam komunitas itu akan bahu membahu melakukan tradisi gelekat suku lama (mengabdi di suku besar) untuk bersama menjalankan ritual tahunan itu. Dalam prosesi makan jagung kepala Kebelen (klan/suku) dalam komunitas tersebut, masing masing klan/suku dalam komunitas tersebut menjalankan fungsionalisasi adat sesuai dengan tupoksinya masing-masing.

Sebagaimana biasanya, untuk ritual makan jagung di rumah adat ini dimulai dari masing-masing klan/suku kecil yang ada dalam komunitas tersebut, setelah itu baru giliran Kebele dalam komunitas itu mengadakan ritual makan jagung yang dihadiri semua klan/suku yang ada dalam komunitas.

Di Labala, ritual makan jagung yang paling terakhir dilakukan setiap tahun sekaligus menjadi penutup pesta tahunan tersebut adalah Kebele dari komunitas Taran Wanan dari klan/suku Labala sebagai Lewotanah Alap (Tuan Tanah). Karena sebagai upacara adat puncak, maka pelaksanaannya dilakukan lebih rumit dengan tambahan beberapa ritual sebelum acara makan jagung, yaitu ledu liwo (ritual menangkap ikan) di pantai Tanjung Leworaja, dan Gute tapo-muko gere wua (mengambil buah kelapa, pisang dan pinang) mata air di Lewohajon(**)

*Tulisan di atas penulis sajikan hanya secara garis besar (umum) dan mungkin saja terjadi kekeliruan di sana-sini. Untuk lebih rinci mengenai fungionalisme tata organisasi social budaya orang Labala, silahkan masing-masing yang berkepentingan melakukan kajian/riset yang lebih mendalam secara langsung.

Minggu, 18 Mei 2014

Te Dore Adat e Agama?

Te Dore Adat e Agama?

Oleh Hamba Moehammad

Rae lewo titen Labala, nolo adat ne agama pana hama. Adat ne agama pe, mapen (berpasangan). Ata nolohe mei mi, “uwe ne mate” atau “naweke ne keme”. Murin pi, ata bai sama persaja adat hala mure. Rae mei mi, adat pe syirik.

"Adat nete pele liko lewotanah. Ara adat maso Iman tite bisa hala. Adat ne agama pe laren geha, hama hala," Ustadz hae mei nempe. Kode denga hena.

Ara kalau te peten pai tekka, inga mela-mela, sebenar ne’e pe tite di lewotanah Labala, memang moripe te lango rua: Tuhom Allah SWT longu (mesingki) ne Lango Berui ( Rumah adat).
”Adat titen pelate-pelate,” Inak-amak tenna-naot tite,. Ina-ama, kaka-ari taku-taku kalo re dore adat hala. Re taku ake re nalana.

Tite Labala pe ata watene (muslim). Ara te masih persaja adat e take? Kalau tite lebih persaja ne agama pe, Iman tite kuat-meggeta kepaera take? Kalau mau jujur, iman titen masih lodo-gere.
Nolo nene bele titen pehe adat kua-kua, penue koda mei kirin, padahal rae pe juga ime bele, Hamba Allah. Re suna-sadah ata, ara  adat rae pekke hala..

Tite ne iman titen, basa kitab suci, sembe’ di mesingki rema lero, denga Ustadz koda kirin. Ara tite ana-opu lewotana nimun, adat lewotanah tite jagaro. Pe kalaumi te pehe adat, adat tula te jadi musyrik?

"Moe dore adat e kitab suci? “ Hae dehe goe nempe. Ara go mairo, go dore  ruaha, adat ne kitab suci. Kitab suci nepe koda-kirin Allah ne’en, adat nepe koda-kirin nene belen nolohe. Tite tetap dore, hormat Agama, ara ake sampe gelupak urus adat. Te morip pe, musti seimbang dunia-akherat, adat ne agama.

Murin pi, tai doan seba ilmu (Sekolah/kuliah) di ata lewo. Sekolah pi Makassar, lau jawa, lali Sumatra-kalimantan, ara tite toi adat hala mure. Hae mei mi, mio gerana murine sekolah dibelola, jadi pejabat. Jadi ata belen balik pe harus tula contoh. Harus berani!

“Berani hapus adat?” goe dehe nempe.

"Bukan hapus adat rae lewo. Tite tetap dore adat nene belen, adat nepe tite dore sampe tite mataje. Tite nipe lewotanah ene-opu, tite ana lewo nimun. Tapi goe pikir adat nepe dikurangi, disederhanakan. Ake sampe bertentangan dengan agama,” Nae tape goe nempe. 

Ara goe mairo, adat pe bai bertentangan ne agama hala. Tite atadike yang tularo taro nalana. Kalau tite dorero larane, adat ne agama pe mapene (pasangan serasi). Tou dunia, pe waike akherate. Salam lewo diken tana sare! (**)

HIPPALL Makassar dan Kebersamaam Kita


HIPPALL Makassar dan Kebersamaam Kita
Oleh HambaMoehammad
Melupakan, berarti menyingkirkan, kata orang.Dari hati juga, juga ingatan. karena itu, kadang kita lebih memilih untuk terus mengenang. Tak peduli raga yang semakin tua renta, pikiran yang semakin suntuk, ingatan yang semakin pikun, mata yang semakin merabun. Tak hirau waktu yang dengan beringas menggoda kita untuk lupa.
Dengan mengingat, kita tak ingin kehilangan kenangan, dan dengan mengenang, kita tak hendak menghapus masa yang telah menjadi lalu...
Dan kau masih ingat, Sayang? Sore itu di pantai tanjung Bayang-Kota Daeng, ketika usai pesta kembang api dan gemuruh petasan menyambut tahun baru 1 Januari 2014 semalaman. Kita, yah kita anak anak-anak perantauan Labala yang jauh dari lewotanah ini merindukan hadirnya sebuah rumah kebersamaan. Rumah yang kemudian sama kita beri nama Himpunan Pemuda Pelajar Labala Lembata (HIPPALL)- Makassar,
Orang lain boleh lupa, Sayang, tapi kita tidak. Karena-Sekali lagi-melupakan berarti menyingkirkan segenap kenangan dari hati dan ingatan. Orang lain boleh alpa, Cintaku, tapi kita tidak. Bagi kita, kebersamaan adalah sebuah keniscayaan yang mesti diperjuangkan dan diwujudkan. Dan di rumah HIPPALL Makassar inilah kita memulai merajut kebersamaan.
Kini kita telah membangun rumah itu. Meski tanpa perabot yang mewah, namun kita membangunnya dengan semangat kebersamaan sebagai "Ana opu Ata Labala". Dan kita semua berjanji akan menjaganya dari badai yang mungkin saja akan membuatnya porak poranda. Kita akan merawatnya dari panas yang bisa saja membuatnya lekang dan hujan yang bisa membuatnya lapuk.
Yah, kita Sayang. Kita akan menjaganya dengan sgenap rasa cinta yang ada....
Semoga dengan rumah baru ini, kita sama belajar tentang perikehidupan, kita sama belajar untuk menyiapkan senjata yang ampuh untuk menghadapi aneka coba dan uji di luar sana. Lenih dari itu, di rumah inilah kita belajar untuk menyatukan hati, cita-cita untuk berbakti kepada Lewotanah. Bukankah ada dikatakan, "Te koda tou, kirin ehan. Te soga nare lewo, te biti tana maken?"
Akhirnya, tak ada yang akan bisa kita wariskan, selain rumah pusaka ini. Meski tak semegah istanah dan tak semewah hotel, tapi dari rumah inilah kita mulai belajar untuk saling mengenal satu sama lain dengan segenaplebih dan kurangnya.
Tak ada pengalama yang lebih mengesankan, tak ada kisah yang paling indah yang bisa kita ceritakan kepada anak cucu kelak, selain cerita kenangan pahit-manis saat bersama di rumah HIPPALL Makassar ini.(**)
Makassar-Pondok Hijo, 28 April 2014
ketika hujan rintik hanya sebntar,
dan sumur di samping pondok hanya diam bisu...

Ole Nete Doan Kae

Ole Nete Doan Kae

Saya teringat ketika masa kecil dulu. Ada sebuah lagu yang sering dinyanyikan Inak-inak kami ketika hendak tidur. Kalau tidak salah, judulnya “Ole Nete Doan Kae”. Lagu ini memiliki beberapa versi lirik.

Doan... doan kae, ole nete nete doan kae...

Jamaknya orang Lamaholot adalah perantau. Kebiasaan meninggalkan kampong halaman dalam waktu lama (kadang hingga 20-30 tahun) ini kemudian menjadi budaya yang melekat pada masyarakat yang berdiam di Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor ini.

Selain karena alasan lingkungan hidup yang gersang sehingga memaksa orang-orang lama holot untuk keluar mencari kerjaan yang layak untuk menghidupi keluarga, orang Lamaholot ini memang perantau dan pengembara yang andal.

Maka untuk mengenang kampong halaman nun jauh, orang lamaholot biasanya mengekspresikan kerinduan akan lewotanahnya dengan bersenandung yang dalam istilah bahasa Lamaholot biasa disebut “Oreng”. Senandung yang berupa syair pelipur lara ini merupakan obat oenawar rindu.

Hal yang mengesankan dari orang lamaholot adalah, ketika jauh dari Lewotanah, maka rasa cinta akan semakin besar dicurahkan. Maka tak heran banyak sekali kita dapati kata-kata bijak khas orang lamaholot yang diperuntukkan bagi perantau agar meski jauh, namun hati dan perasaannya senantiasa mengingat dan mengenang kampong halaman.

“Pana doan lau ata ekan. Mai seba nasib saren, balik gelekat lewotanah-suku ekan” Demikian dia ntara nasiehat bijak yang di sampaikan oleh inak-amak di kampong.

Seperti saya, yang juga adalah perantau (menuntut ilmu alias sekolah), inak dan amak selalu mengingatkan falsafah hidup orang lamaholot yang gemar merantau: Jaga leik, liko limak, lapak onek.

susah niki niki wai take
bayang tena tena mete tani...


Syair tentang orang Lamaholot yang terbawa arus ke negeri yang jauh di rantau. Tak punya bekal makanan dan minuman. Tak punya uang untuk ongkos pulang. 

Akhirnya, telantar di negeri orang. Membayangkan LEWOTANAH LAMAHOLOT dengan orangnya yang sederhana membuat air mata jatuh menitis.  Oh, Tuhan, mohon ampun, go ata nalan (**).

Pohe Lau Wate, Gemohin Rae Mare*

koleksi pribadi
Oleh Hamba Moehammad

Prolog

Sebagai orang lamaholot terkhusus orang Labala, ketika mendengar kata “Pohe” dan “Gemohin”, apa yang terlintas di benak kita? Rasanya kita taka asing dengan kedua kata ini. Bagi kita yang dibesarkan di Lewotanah (Kampung Halaman), kedua kata ini sudah lama kita akrabi, bahkan ketika kita masih kanak-kanak dulu.


Di Labala kampung kita, kita memiliki budaya “Pohe berue/Pohe Pukat” (menarik sampan dan memanen ikan di pinggir pantai). Apa lagi ketika musim ikan tiba, tua-muda, besar kecil, laki-laki-perempuan semua kita beramai-ramai berkumpul di pinggir pantai untuk panen ikan bersama.

Saya teringat masa kecil dulu, ketika tiba musim tangkap ikan di labala, ritual pohe pukat merupakan salah satu kegemaran saya. Selepas jam sekolah, tak peduli seragam sekolah yag belum diganti, saya dan kawan-kawan langsung meluncur ke pantai. 


Biasanya acara (saya menyebutnya “acara” karena Pohe pukat memang ritual yang melibatkan banyak orang dan mengasyikkan) kami lakukan hingga menjelang magrib. Tak peduli jadwal belajar sore di sekolah yang terabaikan, juga tak peduli dengan hukuman guru keesokan harinya karena tidak belajar sore. Belum lagi raut wajah “Jou”(Guru Mengaji) yang garang lantaran kami mengabaikan jadwal mengaji malam di mesjid atau di rumah sang Jou.

Untuk momen-momen yang meng-asyikkan seperti pohe pukat ini, biasanya ketika pergi sekolah , saya dan teman-teman sudah menyiapkan peralatan tali pancing, mata kail dan tak lupa lidi dari pohon lontar yang kami sebut “kerage” untuk mengikat ikan kalau ada hasil tangkapan atau ikan pemberian nelayan hasil dari Pohe Pukat. Semua perlengkapan itu kami simpan dalam tas atau kantong kresek yang kami pakai menyimpan buku pelajaran.

Momen lain yang tak kalah mengasyikkan adalah Gemohin. Seperti pohe pukat, ritual gemohin, juga adalah acara kegemaran karena dilakukan beramai-ramai. Bedanya, kalau pohe pukat di lakukan ketika musim panen ikan tiba, sementara ritual gemohin dilakukan ketika musim menanam dan memanen hasil kebun telah tiba.

Bagi kanak-kanak seperti saya tempo itu, sebelum berangkat ke kebun beramai-ramai, selain parang dan tofa untuk mencabut rumput, perlengkapan yang tak boleh alpa dibawa ke kebun adalah bekal makanan. Dan bekal makanan yang harus disiapkan adalah wata kepuna (jagung bulat yang sudah disangrai) yang diisi dengan air dingin dalam botol plastik. Bekal ini sudah cukup karena yang kami butuhkan ketika haus dan lapar, sudah satu paket alias komplit. Dan cita rasanya pun sudah cukup mewakili selera dan lidah kami sebagai anak-anak kampung.

Ritual gemohin yang paling mengasikkan bagi saya adalah ketika petik jagung dan panen kacang tanah. Khusus panen kacang tanah, biasanya kesempatan itu kami kanak-kanak manfaatkan untuk pesta makan kacang tanah sepuasnya, dimasak atau dimakan mentah sampai bosan. Dan biasanya sebelum pulang kami diberi jatah kacang tanah untuk dibawa pulang. Inilah sekelumit pengalaman masa kecil tentang tradisi-budaya Pohe dan Gemohin di Labala kampung kita.

Nilai Luhur, Warisan Leluhur yang Mulai Luntur

Sebagai masyarakat pesisir yang hari-hari berkawan dengan pantai, ombak, ikan, dan segala sesuatu yang berbau laut yang begitu asin. Entah berawal dari mana dan dimulai oleh siapa, ada tradisi luhur hadir dan kemudian memberi corak warna yang khas sebagai orang Labala. Tradisi luhur yang kemudian kita menyebutnya dengan “Pohe” dan “Gemohin”

Secara etimologi (bahasa), kata “Pohe” dalam bahasa Lamaholot Labala berarti: membantu atau menolong, yang bermakna memudahkan orang lain-yang juga adalah sesama kita-dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan besar dan sulit, tanpa pamrih, tanpa mengharap orang yang dibantu atau ditolong itu membalas bantuan atau pertolongan kita. Sebuah kata sarat makna yang kemudian menjadi laku dalam tradisi kita yang teramat luhur.

Sedangkan kata “Gemohin” setali tiga uang memiliki makna yang sebenarnya sama dengan “pohe” yaitu membantu atau menolong secara bergotong royong, namun kata “gemohin” hanya digunakan ketika gotong royong menanam dan memanen di kebun.

Kata dalam bahasa lamaholot sepertinya memiliki kekaayaan kosa kata yang berlimpah. Karena hampir setiap aktifitas memiliki perwakilan kata tersendiri meski memiliki makna yang sebenarnya sama. Seperti kata “Pohe” dan “Gemohin” yang sebenarnya memiliki makna yang sama, yaitu menolong namun tak bisa digunakan dalam setiap aktifitas menolong. Dan sebagai generasi orang Lamaholot, saya memiliki kebanggaan tersediri dalam hal ini.

Saya masih mendapati ketika masih kanak-kanak dulu, Orang labala menjadikan budaya “pohe” dan “gemohin” ini tidak hanya dalam konteks sosial bermasyarakat, namun juga dalam konteks adat dan agama. Sayangnya, kini budaya ini semakin luntur di tengah semakin berkecamuknya pengaruh moderenisasi yang mengalir seperti air bah yang kemudian turut andil mengubah prinsip hidup orang labala.

Percaya atau tidak, suka atau tidak, terima atau tidak, Globalisasi dan moderenitas zaman barangkali paling bertanggung jawab atas berubahnya orientasi hidup orang Labala masa kini yang cenderung materialististik.

Tapi zaman tak bisa disalahkan. Dia tetap harus berubah, tidak bisa tidak. Yang perlu kita lakukan adalah berusaha semampu kita agar kemajuan zaman jangan sampai menenggelamkan kita, termasuk menenggelamkan jati diri kita sebagai orang labala dengan segenap tradisi dan budaya luhur warisan leluhur.

Sudah semakin jamak, kita temukan di labala, budaya pamrih semakin menjangkiti masyarakat. Budaya “pohe” dan “gemohin” perlahan berubah menjadi budaya uang dan proyek. Orang tidak mau bekerja atau berbuat, termasuk untuk kepentingan umum, kalau tidak dibayar dengan uang atau janji mendapat proyek. Belum lagi diperparah oleh semakin berkerumuknya politik kepentingan yang menjadi pemicu retaknya kebersamaan di kalangan masyarakat labala sendiri.

Hanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan adat dan tradisi lokal, budaya “pohe” dan “gemohin” masih kita temukan setitik pengharapan. Ini tak berlebihan, meski kadang ada segelintir generasi muda labala yang menganggap adat dan tradisi local sudah ketinggalan zaman, namun umumnya orang labala memang masih memegang teguh adat dan aneka ritual yang menuntut setiap “ana opu” Labala untuk saling “pohe” dan “gemohin”. Di luar adat, budaya luhur “Pohe” dan “Gemohin” memiliki masa depan yang suram.

Kita barangkali kemudian harus mencari cermin yang lebih bersih untuk berkaca diri, kita mungkin juga harus kembali merenung lebih dalam dan bertanya di kedalaman sanubari kita masing-masing.

Apakah budaya “pohe dan gemohin ini benar-benar tak lagi laku di zaman kita? Apakah budaya luhur yang diwariskan oleh leluhur kita ini sudah tak lagi up to date dengan kehendak dan kemauan zaman? Atau jangan-jangan sebenarnya kita tak cukup teguh dan telaten menjaga dan merawat dengan tulus warisan luhur dari leluhur ini karena menganggapnya barang rongsokan yang sudah saatnya digudangkan.

“Pohe” dan “Gemohin” mewakili adat, tradisi dan budaya keseharian kita. “Pohe” dan “Gemohin” adalah kearifan luhur yang diwariskaan para leluhur. Kita menerimanya sebagai pusaka ketika hidup memaksa kita untuk tak lagi peduli dengan sesama. Kita mewarisinya kepada anak cucu kelak sebagai nilai yang tak lekang oleh beringasnya zaman yang menuntut kita untuk hidup nafsi-nafsi (sendiri-sendiri) dan tak lagi peduli dengan sesama.
-------------------------------------========----------
*Pohe lau wate/watan artinya, membantu/menolong secara bersama-sama di pantai atau aktifitas menolong atau membantu yang berhubungan dengan pekerjaan di laut (nelayan). Sedangkan Gemohin rae mare/mara artinya, membantu atau menolong secara bersama-sama di darat atau aktifitas menolong atau membantu yang berhubungan dengan pekerjaan di darat (bertani). Mungkin sama dengan gotong royong dalam perspektif umumnya orang Indonesia.