BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Selasa, 25 Juni 2013

Gereun Nimun

Dari Gereun Sampai  Ikan-Ayam

sebagai orang lamaholot kita memiliki kebanggaan tersendiri dengan memiliki banyak perbendaharaan istilah bahasa daerah  yang diwariskan nenek moyang. baik yang menyangkut pranata adat dan budaya, kehidupan sosial, kehidupan politik, ekonomi, hingga kehidupan muda-mudi (ata murin).

tak bisa dipungkiri, perkembangan zaman turut menggerus  pemakaian istilah kata  dalam bahasa lamaholot sebagai bahasa pengantar percakapan sehari-hari. maka dalam praktiknya, banyak istilah bahasa lamaholot tak lagi dipakai sehingga kepopulerannya kalah oleh  istilah bahasa melayu gaul.

namun demikian, kita patut bersyukur,  dalam percakapan adat (koda-kiri) istilah bahasa lamaholot masih tetap dilestarikan keasliannya oleh tetua adat (dewan adat) masing-masing suku, termasuk segelintir generasi muda yang masih memiliki kepedulian untuk melestarikan  kekayaan tradisi yang berharga ini. disini kita masih optimis, bahasa lamaholot masih memiliki napas panjang untuk menunjukan eksistensinya. tapi entah sampai kapan.

pada kesempatan ini, izinkan saya mengambil beberapa contoh istilah bahasa lamaholot yang hilang dari penuturan sehari-hari lantaran diganti dengan  bahasa melayu gaul yang lebih dipopulerkan generasi muda penutur bahasa lamaholot hari ini. Tentu masih banyak kosa kata bahasa lamaholot yang telah terlupakan karena tak lagi digunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari.

di kampung saya, Labala misalnya, kini banyak anak muda (bahkan orangtua) lebih suka menggunakan istilah "Ikan-Ayam" untuk menggantikan istilah "Gereun". Saya sendiri tak tahu persis  sejak kapan istilah "ikan-ayam" mulai diperkenalkan sehingga menjadi populer sekarang. Masa saya kecil dulu, istilah ini tak pernah ada. Bahkan tak pernah terpikirkan bakal populer suatu saat nanti. Namun setelah mudik ke Labala tahun 2005 lalu, saya baru terkejut dengan penggunaan istilah "ikan-ayam" ini.

seingat saya, masa saya kecil dulu, kata yang pas untuk menyaatakan, perempuan atau laki-laki yaang boleh dijadikaan  suami atau istri menurut adat adalah "gereun". malahan, untuk lebih memperkuat  status "gereun", orang Labala menambahkan  kata "nimun" sehingga menjadi "gereun nimun".

Istilah kata "nimun" bersinonim kata dengan "puke" atau pokok yang bermakna, kandung atau lebih dekat, atau lebih sah, atau lebih pas atau lebih layak sesuai aturan hukum adat. Misalnya ada istilah kata, "Binek Nimun", "inak Nimun", dan termasuk "gereun Nimun".

istilah "gereun nimun"digunaan seorang laki-laki dari suku/klan ana makin kepada anak perempuan dari keluarga atau saudara laki-laki ibu (opu lake/opu alap/nana). begitu juga sebaliknya digunakan seorang perempuan kepada laki-laki dari keluarga  saudari perempuan bapak (ana makin)

istilah "gereun" merupakan istilah bahasa lamaholot asli yang nyaris  hilang dari peredaran dengan hadirnya istilah "ikan-ayam". Masih banyak lagi istilah bahasa lamaholot asli yang kalah pamor di jagat penuturan mulut orang-orang lamaholot termasuk di labala. kalah bersaing  dengan bahasa  melayu gaul yang semakin mendominasi pasar percakapan dikalangan muda-mudi (ata murin).

contoh lain yang bisa saya kemukakan disini, sebagai masyarakat yang berdomisili di pesisir pantai, dimana setiap harinya bergaul dengan gaduh suara ombak laut, orang labala rupanya mulai kehilangan identitas  berbahasa lamaholot yang berhubungan dengan laut dan kehidupan melaut. Sekadar contoh; istilah bahasa lamaholot untuk perahu penjaring ikan adalah "tena". makanya, kalau ada ritual membuat perahu, orang Labala mengenal istilah "Tula Tena". sedangkan untuk perahu yang lebih kecil seukuran sekoci yang biasa digunakan untuk memancing,orang Labala mengenal istilah "berue" atau dalam bahasa melayu nagi dikenal dengan sebutan "Bero". Makanya dulu orang labala punya tradisi khas  menarik perahu nelayan yang pulang memancing, dengan menggunakan istilah, "pohe berue".

namun sayang, istilah "tena" dan "tula tena" nyaris punah karena tak lagi digunakan dalam bahasa percakapan. orang labala lebih suka menggunakan istilah "persei' atau "bodi" untuk perahu ukuran besar menjaring ikan. saya sendiri juga tak tahu dari mana muasal kata "persei' dan "bodi" untuk perahu nelayan yang dijadikan bahasa tutur di kampung yang terkenal dengan pantai teluk labala nan indah ini. Tapi yang jelasnya, istilah "perseii' dan "bodi' adalah istilah yang sama sekali baru, dan bukan istilah bahasa lamaholot asli. begitu juga dengan istilah kata "berue" dan "pohe berue" diganti dengan  'sampe/sampan" dan "tubo sampe' atau "tarik sampan"

masih banyak lagi istilah bahasa lamaholot  yang terancam punah lantaran para penuturnya lebih bangga menggunakan istilah bahasa asing. Padahal, sadar atau tidak, istilah bahasa asing  justruh menjauhkan masyarakat lamaholot dari konteks  adat dan budaya luhur yang sarat dengan pesan moral. pesan moral inilah yang menjadi falsafah atau pegangan  yang mengatur harmoni ikatan kehidupan kepada sesama, alam, dan Tuhan.

Setahu saya, setiap aktiftas kebahasaan orang lamaholot memiliki pertalian erat dengan tradisi yang menjadi manifestasi dari ajaran luhur untuk menjaga keseimbangan  hidup. Nilai-nilai luhur ini diajarkan secara turun temurun dengan berbahasa atau lebih dikenal dengan tradisi lisan (tutu koda-marin kirin).

maka ketika masyarakat menjauh dari kearifan tradisi luhur dan tergerus pengaruh asing, maka masyarakat justru semakin kehilangan identitas diri. Mereka pun terasing dari  tradisinya sendiri. Perlahan tradisi ritual "tula tena" menjadi hilang lantaran masyaarakat lebih senang membeli perahu   "persei" atau "bodi' yang sudah jadi, tanpa perlu membuat sendiri.

begitu juga dengan tradisi 'pohe berue" perlahan ditinggalkan karena masyarakat cendreung hidup nafsi-nafsi. Mereka tak lagi saling "pohe" (membantu) karena mengukur sesuatu  sudah menggunakan kriterian uang atau takaran materi. Bukan saling "pohe' sebagaimana nilai yang diajarkan tradisi luhur orang lamaholot. Prinsip mereka, saya mau membantu anda, tapi anda mampu membayar saya berapa?

Sekarang, umumnya masyarakat lamaholot, terkhusus masyarakat labala terlalu silau dengan kemajuan dan pengaruh asing, sehingga kearifan berbahasa yang sarat dengan pesan luhur para leluhur, dianggap sudah ketinggalan zaman. atau kalau boleh meminjam kata-kata gaul anak muda sekarang, adat dan budaya lamaholot katanya, sudah tak lagi up to date. kasihan bukan? (**)

Jumat, 21 Juni 2013

Asal Usul Pasar Wulandoni

Asal Usul Pasar Wulandoni*

Oleh Hamba Moehammad


Hingga saat ini belum banyak informasi yang meriwayatkan tentang sejarah asal mula nama Pasar Wulandoni. Nama yang kemudian digunakan untuk nama desa bagi orang nuhalela. Terakhir, nama Wulandoni digunakan untuk nama kecamatan termuda di pantai selatan Kabupaten Lembata-NTT. Kecamatan wulandoni merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Atadei.

Pasar Wulandoni merupakan pasar  tradisional yang masih mempertahankan budaya barter. Menilik dari tradisi dan budaya orang lamaholot, budaya barter merupakan representasi dari pengaruh tradisi pnetan/penete yaitu jual-beli sistem barter yang dilakukan dari satu desa ke desa lain yang masih dipegang teguh masyarakat Kecamatan Atadei dan Kecamatan wulandoni. Sebahagian besar masyarakat di kedua kecamatan ini memiliki sisi historis yang sama karena merupakan bagian dari Kerajaan Labala.

Penyematan nama untuk Pasar Wulandoni hingga kini masih menjadi bahan perdebatkan. Namun bila menilik dari asal kata "Wulandoni" , kata ini memiliki sisi keterkaitan dengan masyarakat Labala yang dahulu kala merupakan sebuah kerajaan. kata "Wulandoni" berasal dari kata "wulan" yang berarti pasar. Sedangkan "doni" berasal dari nama asli nenek moyang orang labala yaitu "Nuba Laga Doni" yang menurut cerita berasal dari kampung "Lewo Nuba" (kampungnya Nuba Laga Doni).

Kampung "Lewo Nuba" merupakan bekas kampung orang Labala yang sekarang berlokasi di Wutun Leworaja (Tanjung Leworaja). Hal ini bisa dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa artefak berupa Nuba-nara (batu/altar)untuk persembahan dan perkakas rumah tangga berupa piring dan guci antik dari sina-jawa. Semua peninggalan ini hingga kini masih ada dan bisa dilihat langsung di lokasi sekitar Wutun Leworaja. Hingga sekarang, Wutun Leworaja tidak lagi dihuni oleh orang labala karena Raja Labala dan ribu-ratunya telah hijrah keTanah Lewokoba (Desa Leworaja sekarang).

Nuba Laga Doni merupakan Lewotanah Alap (penduduk asli) orang Labala sebelum kedatangan Raja Mayeli dan ribu-ratunya dari pelarian lepan-batan. Keturunan Nuba Laga Doni yang sekarang adalah suku Labala yang terdiri dari dua klan besar yaitu Labala Klepaono (Dewa Kaka) dan Labala Klepawoho (Dewa Ari). Klan Labala  Klepaono (Resiona, Kroiona, Duaona, dan Enga Daiona) tersebar di Desa Leworaja dan Luki-Pantai Harapan. Sedangka klan Klepawoho merupakan cikal bakal penduduk asli Mulankera (Atakera).

Sebagai  orang asli, Nuba Laga Doni menjalin hubungan penetan (dagang) dengan daerah-daerah di peisir pantai teluk labala dan kampung kiwan (gunung) seperti orang Lelakwate dan orang Nuhalela. Menurut cerita, orang lelakwate merupakan cikal-bakal orang asli Lamalera yang dulu tinggal di tanjung nuhalela bermata pencaharian sebagaai nelayan. Orang Lelakwate mempunyai suku Lelaona dan Tapoona, suku asli orang Lamalera. Seiring berjalannya waktu, orang lelakwate kemudian  pindah di Kampung Ongolere yang sekarang masuk wilayah desa Lamalera B.

Sementara orang Nuhalela adalah cikal bakal masyarakat yang sekarang tinggal di desa wulandoni. Orang Nuhalela sebelum pindah ke lokasi yang sekarang menjadi desa wulandoni, nenek moyang mereka tinggal di lewoulu, yaitu kampung lama yang terletak di atas Desa Wulandoni sekarang. Mata pencahaarian mereka adalah Tuno Kluba yaitu membakar tembikar dari tanah liat untuk dijadikan periuk tanah dan perkakas rumah tangga yang terbuat dari tanah liat.

Interaksi dagang antara ata watan (pantai) seperti orang labala, lelakwate, nuhalela dan ata kiwan (gunung) masih dilakukan dengan saling mengunjungi. Misalnya, bila orang lelakwate ingin menjual hasil tangkapan ikan maka mereka akan pergi menukarnya dengan hasil pertanian/kebun ke kiwan (gunung) atau kampung-kampung lain di pesisir teluk labala. Begitu juga sebaliknya. Tradisi dagang seperti ini orang labala menyebutnya dengan istilah penete atau orang Lamalera menyebutnya pnetan.

Akan halnya interaksi dagang antar masyarakat saat itu yang saling mengunjungi, maka Nuba Laga Doni juga melakukan tradisi pnetan dengan menjual tuak dan hasil kebun ke orang lelakwate dan orang nuhalela. Dari interaksi ini, maka ketika pergi atau pulang dari pnetan, Nuba Laga Doni memilih beristirahaat di bawah pohon asam yang terletaak dipinggir jalan yang menghubungi lewonuba-lelakwate-nuhalela. Bila persediaan tuak dan hasil kebun belum laku, Nuba Laga Doni membawa pulang jualannya dan beristirahat di bawah pohon asam. Nama tempat persinggahan instirahat Nuba Laga Doni ini, dulu orang labala mengenalnya dengn nama "Doni Uli"  yang artinya tempat peristirahatan Nuba Laga Doni. Lama kelaman tempat persinggahan "Doni Uli" ini kemudian menjadi ramai karena orang Lelakwate-Nuhalela dan orang kiwan ikut singga beristirahat. Tempat tersebut kemudian berubah menjadi wule/wulan (pasar) dan berganti nama dari "Doni Uli" menjadi Wulan Doni yang arti harfiahnya pasar yang terletak dipersinggahannya Nuba Laga Doni  (Doni Uli). Orang labala menyebut tempat ini dengan Wule Doni dan orang Lamalera menyebutnya dengaan Fule Doni yang berarti  Pasar Wulandoni.

Dari interaksi pnetan di Wule Doni atau Fule Doni inilah lama kelaman orang nuhalela yang sebelumnya tinggal di lewoulu (kampung lama) kemudian turun dan menetap di sekitar Wule Doni/Fule Doni sehingga tempat tersebut  dinamai Wulandoni.

Selain itu, untuk mempererat kedekatan dan kekeluargaan diantara masyarakat yang bertemu di wulandoni ini, dulu ada tradisi saling berbagi bila ada acara adat. Misalnya bila orang Lamalera selesai membuat Pledang/Klaba (Perahu) baru, merek biasanya membawa peraahu yang baru dibuat tersebut ke wulandoni untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang lagi pnetan. Biasanya mereka juga membawa aging ikan paus hasil tangkapan untuk dibagikan kepada masyarakat yang sedang pnetan di wulandoni. Begitu juga bila ada hajatan adat orang Labala, biasanya masyarakat labala membawa makanan hajatan ke wulandoni untuk dibagi-bagikan. Sayangnya tradisi ini sekarang sudah hilang.
=============================================================
*Tulisan ini hanya berdasarkan cerita lisan yang saya himpun dari tua-tua adat di *Labala. Mengingat masyarakat lamaholot  umumnya maupun wulandoni khususnya tidak memiliki tradisi tulis menulis sebagai warisan sejarah, mka hasil penuturan ini bisa saja berbeda atau bahkan dianggap salah oleh pihaak lain karena diragukan unsur kebenarannya.

Jumat, 14 Juni 2013

Peten Lewo, Sudi Tanah

Peten Lewo, Sudi Tanah 
(Cerita Pengalaman Masa Kecil)

Entah kenapa... sore ini saya pulang kerja lebih cepat dan ingin bersantai. Duduk istirahat ditemani segelas susu coklat plus pisang goreng...

ah terkadang hidup yang dijalani dengan suka cita, bisa menerbitkan kenikmatan tersendiri yang sulit dilukiskan dengan kata. Seperti yang kualami sore ini.

Tapi sore ini benar-benar beda. Mungkin lebih tepatnya, spesial. Entah mungkin suasana hati saya yang lagi senang, atau mungkin suasana sore ini yang berbeda dengan sore-sore yang lain.

Langit tiba-tiba lebih cerah, udara lebih sejuk, jalan raya di depan rumah lebih lengang. Pokoknya sore ini benar-benar beda...

Sembari meneguk susu coklat dan pisang goreng, tiba-tiba saya terkenang masa kecil dulu di labala, kampung halamanku. Satu persatu kenangan masa kecilku mulai terlintas.. Semakin lama semakin berseliwerang. Memenuhi ruang memori benak.

Ah ini barangkali lintasan kerinduan masa kanak yang ingin kuulang. Tapi bagaimana cara? Bukankah waktunya telah lewat, tak bisa diulang?

Pada ujungnya, Rindu tetaplah rindu. Dan kenangan tinggal kenangan. Nostalgia kadang menemui kendala untuk mengenangnya.

Saya meraih handphone yang dari tadi tergeletak di atas meja. Tanpa aba-aba tanganku sepertinya tahu apa yang saya butuhkan sore ini. Handphone kuraih, dan seperti ada printah gaib, jemari-jemariku mulai bergerilya, mengutak-atik file handphone.

Dan... Ah ini dia. Kubuka file kumpulan lagu-lagu daerah. Lebih tepatnya lagu-lagu bahasa daerah lamaholot. Ternyata, inilah salah satu obat kerinduan itu...

Sebenarnya saya sering menikmati lagu-lagu daerah lewotanah bila sedang rindu. Waktunya kapan saja. Kadang malam menjelang tidur, atau lagi mengetik dan mengedit berita di kantor sehabis meliput.

Tapi sore ini sepertinya beda. Sungguh...

Saya pun memutar sebuah lagu. Judulnya "Peten Doan". Liriknya lembut, syairnya puitis. Dan saya dibuat hanyut. Saya dibawa kembali ke masa lalu. Masa kanak-kanak dulu. Mengenang bagaimana kehidupan di labala dulu.

Rema tukan doan, nuba mehak hena.
Tobo peten doan, doan rae lewo.
Nuba hama lela, Nara ehan kuran.
Pai sudi lela, lela rae tanah.

Saya menyimaknya dengan khusuk. Mata kupejam dengan harapan bisa melampaui mesin waktu untuk kembali ke masa kanak-kanak dulu. Dan sepertinya itu cukup berhasil.

Saat itu Saya duduk di kelas IV SD Inpres Luki. Inak sedang pergi penetan (menjual) ikan ke Puor. Jarak labala-puor memang sangat jauh bila ditempu dengan jalan kaki. Waktu saya masih kecil dulu, belum ada sarana kendaraan seperti sekarang. Inak saya bersama inak-inak yang lain di labala, berangkat bersama-sama selepas subuh. Mereka menuju ke desa puor yang terletak di lereng gunung labalekang itu.

Sebelum berangkat, seperti biasa inak sudah menyiapkan seragam sekolah saya dan adik di atas tempat tidur. Di atas meja kecil sudah ada nasi yang baru dimasak dan ikan goreng sisa tadi malam.

Keadaan seperti Ini sering inak lakukan jika akan bepergian. Misalnya ke kebun, atau ada urusan penting seperti penetan, atau ada pesta adat di leworaja (kampung lama).. Inak selalu pergi sebelum saya dan adik-adik bangun.

Ekan nuan nolo nai.
Nuan rae lewotobo.
Susah tudak kabe kaan nani louk.

Ketika bangun, saya langsung mengajak adik yang saat itu masih tidur untuk mandi dan berpakaian. Adik saya ini masih duduk di kelas II SD Inpres Luki. Makanya suka membandel. Kalau bukan inak yang memandikan atau memakaikan pakaian, dia biasanya melawan. Pagi itu saya sempat kejar-kejaran keliling rumah dengan adik yang susah diatur ini.

Karena di rumah kami tak ada jam sebagai penanda waktu, saya biasa memanfaatkan radio tetangga sebagai penanda. Tetangga kami memang punya radio dan setiap pagi rutin mendengar siaran berita RRI dari Kota Kupang.

Sebagaimana pesan guru kelasku di sekolah, bagi yang tak punya jam di rumah, beliau menganjurkan kami untuk mendengar saja penanda di radio. Bila radio memperdengarkan lagu "Rayuan Pulau Kelapa" hingga akhir, kemudian diikuti bunyi tut..tur..tut beberapa kali, itu artinya jam sudah menunjukkan pukul 07.00 Wita. Dan itu kami harus lekas ke sekolah. Jam masuk sekolah pukul 07.15. Berarti kami masih punya sela waktu 15 menit untuk berkemas ke sekolah.

Biasanya sebelum bepergian, inak juga punya catatan yang ditulisnya di selembar kertas dan menaruhnya di atas meja makan. Isinya mengingatkan kami agar sepulang sekolah jangan lupa cuci piring, menyapu, ambil air, dan jangan lupa masak.

Meski waktu itu saya masih kelas IV SD tapi sudah bisa memasak nasi atau masak sayur tumis. Bahkan saya sudah mahir melakukan ritual "petu wata" atau titi jagung karena caranya cukup muda bagi saya.

Petu wata atau titi jagung dilakukan sepulang sekolah jika di dapur tak ada nasi. Caranya: ambil bulir jagung di tempat peregasan, nyalakan api di tungku batu, periuk tanah dipasang di atas tungku. Selanjutnya Biji jagung dimasukkan ke periuk. Tunggu sampai jagungnya matang.

Selanjutnya biji jagung diangkat kemudian dititi diatas batu persegi. Jadilah keripik alias emping jagung nan gurih. Apa lagi ditambah kacang tanah goreng. Bukan main gurihnya. Emping jagung ini, Orang lamaholot menyebutnya, wata biti. Kalau orang labala menyebutnya, wata betu (jagung yang dititi/dipipih)

Kalau lagi tak ada lauk ikan, saya biasa memetik buah tomat dan lombok merah yang sudah matang di samping rumah untuk membuat sambal. Inak memang mengajarkan saya dan adik-adik untuk hidup mandiri.

Sudi elu niku doan
Elun rae tanah pae.
Paya taga kabe, kaan lesu loran.

Pulang sekolah, adik langsung kabur entah kemana. Dia biasa bermain bersama teman sebayanya di pantai wailolon. Baju seragam dan sepatunya diletakkan begitu saja di atas tempat tidur.

Sejak di sekolah tadi saya di ajak teman untuk ikut perahu orang ende yang sedang "betu bedi" (mengebom ikan). Istilah "betu bedi" merupakan istilah khas orang labala bagi orang ende yang punya kegemaran mengebom ikan. Secara harfiah, betu bedi artinya melempar bedil (bom) ke air laut. Barangkali istilah orang pintar, mengebom ikan dengan menggunakan bom molotov.

Saya buru-buru pulang untuk ganti pakaian. Siang itu tidak ada makan siang. Ini kebiasaan kami bila tidak ada inak di rumah. Pokoknya selepas sekolah kami langsung berhamburan. Anak-anak seperti kami, urusan terpenting bukan makan, tapi main. Bersenang-senang dengan teman.

Prinsipnya, mumpung inak lagi bepergian jauh. Soal makan bisa diatur. Kami anak-anak labala biasa punya acara sendiri. Bakar ikan dan ubi bersama teman di pantai. Kalau tidak ada nelayan yang bersandar untuk dibantu menarik perahu guna mendapat upah ikan, kami biasanya membawa ikan kering, pisang mentah, ubu kayu, atau buah-buahan dari rumah masing-masing untuk dibakar dan makan ramai-ramai.

Pesan inak yang tertera di kertas pagi tadi terlupakan. Sekarang saya dan teman sudah di atas sampan. Mendayung sampan ke laut teluk labala. Tujuannya, mengikuti perahu orang ende yang sedang betu bedi alias mengebom ikan di sekitar tanjung leworaja.

Waktu saya masih kanak-kanak dulu, Kawasan tanjung leworaja ini merupakan daerah terumbu karang yang indah dan banyak dihuni ikan aneka jenis dan warna. Namun sekarang, orang labala harus pergi jauh ke tengah laut untuk mencari ikan. Karang yang menjadi rumah ikan sudah hancur dibom. Kata para ahli kelautan, butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk memulihkan kembali terumbu karang yang rusak.

Mengebom ikan adalah hal yang sekarang baru saya sadari, merupakan tindakan tak terpuji. Dulu masyarakat labala memang kurang bahkan tidak ada perhatian dan kesadaran terhadap ekosistem lautnya. Meski lautnya berkali-kali dibom orang-orang ende dan ikan-ikannya di jarah, mereka tenang-tenang saja. Bahkan senang bila orang ende mengebom ikan.

Alasannya sederhana, mereka bisa ikut untuk mengumpulkan ikan dan berharap orang-orang ende itu berbaik hati memberikan mereka jatah ikan. Dan kami anak-anak ingusan ini juga punya paradigma yang sama kolotnya. Heheh...

Umumnya masyarakat labala sewaktu saya kecil dulu ,menangkap atau memancing ikan masih menggunakan cara tradisional. Menangkap ikan dengan menggunakan pukat plastik, atau memancing ikan dengan menggunakan mata kail dan tali tasi plastik yang digulung. Tali yang digulung pada kayu yang dibentuk seperti bantalan ini, Orang labala menyebutnya roda.

Leta neten ina ama
lera wulan tanah ekan.
Tedun dike babin sare
Tisusa ake tewan balik.

Sekarang Hari sudah senja. Matahari sudah di pundak gunung Labalekang. Saya bersama teman masih asyik mengukuti perahu orang ende itu. Kami harus menunggu sampai bom terakhir diledakkan. Setelah itu akan ada pembagian jatah ikan untuk kami.

Hasil tangkapan hari itu lumayan. Kami lihat di perahu orang ende itu penuh dengan ikan yang banyak. Ada kakap, baronang, kakap merah, tuna dan macam-macam ikan yang sebagian saya tak tahu namanya. Pokoknya banyak dan besar-besar.

Hari mulai gelap. Orang-orang ende menghidupkan mesin perahunya. Artinya mereka bersiap pulang. Kami pun sudah harus pulang. Kami dapat jatah empat ekor ikan kakap merah besar hasil ledakan bom orang-orang ende. Saya dan teman senang bukan main. Lumayan untuk modal buat inak ke pasar wulandoni hari sabtu nanti.

Setelah perahu orang ende pergi, kami pun pulang. Dengan dayung di tangan, sampan kami buat laju. Kami Mendayung harapan. Kembali ke pantai wailolon.

Dari jauh sayup-sayup suara azan dari mesjid As-shamad Luki (sekarang diganti namanya menjadi mesjid al-hijrah). Suara azan seakan menyambut kedatangan kami. Menyambut kedatangan anak-anak labala yang malang.

Yah, kamilah Anak-anak polos yang sama sekali tak tahu, kalau perbuatan orang-orang ende itu justru merusak habitat ikan yang menjadi sumber penghidupan masa depan kami. Ah Anak-anak ingusan yang dipaksa keadaan dan kehidupan yang melarat, untuk mencari nafkah menyambung hidup. Sungguh tragis bukan?

Ina.. tutu koda melan
ama.. marin kirin saren
Ti goe kete kaan pana laran
Ti goe pehen kaan gawe ewan
Lau sina, lali jawa.

Inilah salah satu kenangan masa kanak-kanak dulu. Bagi saya, kenangan masa kecil di labala adalah kenangan yang paling indah. Pengalaman tiada dua. Masih banyak sebenarnya pengalaman masa kanak di labala yang ingin kukisahkan. Tapi mungkin di lain hari kawan.

Meski kini saya merantau menuntut ilmu di tanah orang, tentu banyak juga kenangan indah di perantauan. Namun semua itu tak bisa melunturkan ingatanku akan kenangan masa kecilku.

Bagiku, Labala adalah museum kenangan masa kecilku bersama inak-amak, kaka-ari, opu-makin, teman, keluarga. Juga laut teluk labala yang tak pernah berhenti bergelorah, pantai wailolon yang indah, tanjung leworaja yang penuh pesona. Begitu juga sekolah SD Inpres Luki, pasar wulandoni dan segenap bentang alam labala. Semua Kurekam apik dalam pita ingatanku.

Dan semoga rekaman ini tetap kujaga, kemudian bisa kuputar ulang untuk kuperdengarkan kepada anak cucu, generasi labala yang akan datang. Amin.

Labala...
Lewo wutun tepelate
Tanah watan digelara. (**)

Ina, Moe Onem Ake Kuran

  Ina, Moe Onem Ake Kuran

 

ibu beri aku cinta mu

biar tak penuh utuh

sebelum senja menuju

tetap kusetia menunggu 


ibu, mungkin baktiku tak penuh utuh

sebelum maut merenggut

beri aku restumu


ibu, kini kutahu

bahwa di setiap doamu

namaku kau sebut selalu


Ibu,masa kecil masih kukenang selalu. Kau menuntun tangan kecilku, mengajariku berjalan dan berlari di pantai, juga di jalanan kampung kita, Labala.

 

Aku teringat suatu hari kau memarahiku. Ketika menjelang magrib, aku masih asyik bermain bersama teman di Pantai Wailolon. Kebetulan sore itu laut lagi surut dan pantai berpasir. Banyak anak-anak kampung yang asyik bermain. Anak-anak yang remaja asyik bermain bola. Sedangkan saya dan teman-teman yang masih kecil bermain londos (berselancar) dengan menggunakan keleppa tapo (pelepa kelapa yang sudah dipotong bagian atas untuk kau-atap rumah).

 

Sebagai ibu yang baik, kau mencariku ke mana-mana, bertanya kepada keluarga dan tetangga di sebelah rumah. "Ina-ama, mio moi ana goen hala?," tanyamu kepada setiap tetangga yang kau temui. kau mencariku keliling kampung Luki-Pantai Harapan.

 

Hingga akhirnya kau mendapatiku lagi asyik bermain londos bersama teman di Pantai Wailolon yang indah itu. Kau memanggil dan menggendongku pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, dari kejauhan suara azan berkumandang dari mesjid as-Shamad Luki (sekarang sudah diganti namanya menjadi al-Hijrah, dekat kantor desa yang baru di bangun itu)

 

"Ana goen, puken aku rema pi bauk kae pe mo peten balik lango dihala?,” demikian suara lembutmu mengingatkan kelalaianku. Ah waktu itu aku masih kecil Ibu, masih kelas II SD Inpres Luki, sehingga kata-katamu tak kuhiraukan. Sesampainya di rumah, kau mengganti pakaianku yang basah dan mengeringkan badanku dengan nowing (sarung tenun daerah).

 

“Ana goen, moe amam pe nai doan, lau Sabah. He goe mehak hena jadi gerie mio. Mai irem pe, pete seru lampu hoto lango,” demikian kudengar kata-katamu begitu lirih, begitu lembut. Di antara cahaya temaran lampu pelita malam itu, kulihat matamu berair. Satu-satu bulir airmatamu jatuh ke tanah. 

 

Ibu, waktu itu aku masih kecil. Tak tahu pedih-perih hati seorang wanita yang ditinggal pergi suami. Seorang diri mengurus dan membesarkan anak-anaknya. Seorang diri ibu. Tanpa suami yang lama pergi jauh merantau tanpa kabar dan berita. 

 

Ibu, masih banyak kenakalan masa kecilku yang kerap membuatmu menangis. Bahkan kau pernah bersitegang dengan salah seorang warga kampung yang marah-marah karena kenakalanku. Masih ingatkah ibu? Karena ulahku, pernah ada warga kampung yang datang ke rumah dan marah-marah lantaran saya dan teman-teman serampangan saja menebang au (bambu) di kebunnya. Kata warga kampung itu, au puke yang susah payah ditanam di kebunnya, di pinggir wai belehe, kutebang ramai-ramai bersama teman. 

 

Waktu itu aku juga masih kecil ibu, kelas IV SD. Di satu sore, sebagaimana kebiasaan anak-anak kebanyakan di Labala, saya mengajak teman-teman di kampung untuk pergi mencari wuru witi (pakan ternak) di kebae. Karena waktu itu nue lerrehe (kemarau) ,  tak ada daun hijau yang kami dapati untuk wuru witi. Tiba-tiba ada seorang teman yang mendapati serumpun bambu yang hijau di pinggir wai belehe. Rumpun bambu itu pun kami tebang ramai-ramai. Daunnya kami bagi sama rata untuk wuru witi, batangnya juga kami bagi untuk dibawa pulang. 

 

Betapa nakalku waktu itu ibu. Tapi kau tak memarahiku. Malah kau mati-matian membelaku di hadapan warga kampung yang marah-marah itu. Bukan berarti kau merestuiku melakukan perbuatan tercela itu. Sama sekali bukan.  Semua pembelaan itu kau lakukan  karena menurutmu, aku masih kecil dan belum tahu apa-apa. 

 

“Maaf ama, ana goen pe masih kre-kre wa. Nae watik sama noi alus ne daten wa. Ana goen balik be go kode tena naoso,” demikian kata-kata pembelaanmu untukku di hadapan warga kampung itu. Aku yang melihat warga kampung itu datang marah-marah, hanya bisa bersembunyi di balik pohon pisang yang gelap di samping rumah.

 

“Ana goen e,  puken aku ge mo pana mai ata duli-pali ? Duli titen take,pali titen kuran, ara goe bai huda  mo mai tebajak hala,” ujarmu kepadaku setelah tetangga itu pergi. Aku hanya bisa menangis, sejenak menyesali kenakalanku. 

 

Ah… kasih sayangmu Ibu begitu tulus. Untukku, buah hatimu. Tapi apa yang bisa kubalas? Hanya airmata. Maafkanlah anakmu ini. maafkanlah. 

 

Satu pesanmu yang tak pernah kulupakan hingga kini ibu, “Ana, mo pana doan pe jaga leim-limam. Ake ne lekkot, ake ne bolaka.” Pesan ini yang selalu terngiang, ti go kette kaan pana laran, ti go pehen kaan gawe ewan. Lau sina, lali jawa. 



Terima kasih ibu, terima kasih atas segala pengorbanan untukku. Budi moen go balas kewan hala, jasa moe go pate bisa hala. (**)


(pengalaman masa kecil dulu…
nun di kamponge…
Labala-Luki Pantai Harapan)

Puasa, Mudik, Balik Hode Lima


Pantai Wailolon-Labala Luki Pantai Harapan

Oleh: Muhammad Baran Ata Labala 

 Ina-ama, kaka-ari, weka kae. Puasa one pi daheka. Rencana tanggal 20 wulan Juni tuun pi. Tite ata watane (muslim) puasa leron 30. Sampe lera lodo, tekan tenu dihala. Hide malu mara, ake koda medon, ake hi-gewai ata. Sembe’e terus, mengaji diaja, tai tadarus Quran sampe rema tukan. 

Lera bauk, magrib, Go peten rae lewo titen-labala, buka puasa rame-rame: tenu es tapo arin, kolak,kebose, hura bedalik, tekan tenu masam-masam.

Kame Pelajar ne Mahasiswa pia Makassar, kalau puasa dahek pe kame rindu balik lewo. Peten nolo puasa rae lewo tanah pe. Tekan tenu sampe taik dibelara te peduli hala. Puasa pia Makassar Sulawesi Selatan... ina-ama, mura-rame. Lera Bauk, dahe magrib, kame temian ne keniki-wai buka puasa. Leron gette sare-sare: Ike kenoren, dagi manu, ewang nawung, teluk, wulu masam-masam. Pokonya aja-aja .

Kalau puasa ono, Kame pelilem televisi Makassar, naranen Makassar TV, tede oras buka puasa. Pas bang magrib, rame-rame ata renu wai gula, es buah ne kue. Hmmm.... onena sare-sena. "Alhamdu...lillah, puasa pi daheka. Minggu waike tite balike lewo, mudik. Hahaha," go reuk marin nempe. 

Pia Makassarl-Bugis lewun pe ata watane omu. Kiwane tou rua hena. Mo bisa bayangkan, puasa pia pe mura rame: Lerra apuka sampe bauka, rema, rema tukan, imsak... tite denga atadiken sembeang.Nei Koda kiring (ceramah), basa kitab Quran (Mengaji)....

Reuk go hae ata kiwan, puasa hala. Rae puasa hala ra, dore buka rame-rame ne kame yang watane hehehe.... Go peten reun goe tou naran Ronal, nae ata Balikpapan-Kalimantan. Kame hama-hama turu mian di secret kampus. Kame mian pe kaje aja-aja. Mahasiswa omu di Universitas Negeri Makassar (UNM). Kebanyakan pe rae ata Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Balikpapan-kalimantan, ne Jawa. Hanya goe mehak hena ata Labala-Lembata NTT. Teman goen mayan goe, “Baran orang Flores”.

Eke dahe, Ronal (agama naen protestan) nowe hogo dore sahur rame-rame. Lerra apuka hojo buka puasa, Ronal yang sibuk, nai hope awe-kue, es buah,-untuk buka puasa. Nae juga dore buka puasa. Padahal leron pe nempe ise tebako, poara-poara.Goe pernah marin nae, “ Ama Ronal e, Tite tekan tenun biasa ara ake sembarang. Ake tenu rokok te bis oto, tempat umum. Tite hormat ata watanen puasa.” Go marin nae juga, kalo di lewo kamen di lembata pe ata watane uhe hena, tapi rae ne kiwane pe rabe tonga-sadan wekiha mela sare.

Ina-ama, opu-maki, kaka-ari, puasa ono pi daheka. Pai tite siap diri sambut Ramadhan. Agama marin, Ramadhan pe wulan senaren, wulan berkah. Ramadhan pe kesempatan tite tula amal melan, ibadah senaren. Supaja iman tite te agama pe nabe belaka, nabe kuata. Nene-Belen tenna naot marin, agama belaka pe lewotanah titen aek nabe breaka, nabe beretana.

Ina-ama, kaka-ari, opu-maki weka kae, Koda goen nempe kia. Mue ikara be tode holo koda bali. Ara go leta, pai tite sambo wulan Ramadhan pi te onek mela sare. Ake une-geni, bekke wekik bei. Toi-tonga wekik maan sare-sare, ti hogo bahe ara rua, ana opu titen murin benure ben tawa gere pe, rae dore ro mela-mela. Tite lewuk tou, labala. Tite ata kaka no ari, tai soba wekik taan dike-dike.
Go nete lima, kai leta maaf mio wekka pe lewo tanah. Doa mio go harap, koda-kiri mio go pile pepa, ti go kette kaan pana laran, ti go pehen kaan gawe ewan. Ia ata lewotanah. Me seba kerja balik geleka lewotanah.

SELAMAT MENYAMBUT BULAN RAMADHAN. MINAL A’IZIN WAL FAIZHIN. MAAF LAHIR-BATHIN…

Labala

Bagiku, Kampunglah Tempat Aku Belajar Kebersahajaan* 
Oleh Muhammad Baran
Pantai Teluk Labala

Perlu Kau ketahui kawan. Bagi orang kampung sepertiku, masa kanak-kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Masa dimana setiap anak usia Sekolah Dasar mengekspresikan diri dengan kesenangan (tentusaja bukan kesenangan seperti yang dipersepsikan orang dewasa).

Bagiku, menyabet predikat Orang Kampung bukanlah hal memalukan namun justru menjadi sebuah kebanggaan. Yah kebanggaan yang tak sudi kutukar dengan kebanggaan-kebanggaan lain yang sering diperebutkan orang-orang kota itu.

Di kemudian hari, kampung bagiku adalah tempat aku belajar mengenal kebersahajaan tanpa pamer, ketulusan tanpa pamrih, dan nilai-nilai kemanusiaan yang mungkin jarang atau bahkan tak lagi kita temukan di kota.

Sudah menjadi lumrah di kota, tetangga sebelah rumah tak saling mengenal. Rumah dibuat bertingkat, pagar dilengkapi alaram tercanggih. Bila perlu diikat pula anjing galak di halaman rumah untuk mengantisipasi bila ada gelagat yang mencurigakan. Sepertinya mereka hidup dengan saling curiga.

Kota memang tempat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Disana pula arus ekonomi dan uang mengalir seperti air sungai. Segala macam kemudahan hidup bisa diperoleh asal mempunyai uang. Di kota segala sesuatunya dibayar dengan uang. Tapi sayangnya, mereka tak bisa membeli kebahagiaan dan kebersamaan seperti yang dimiliki orang-orang di kampungku, Labala-Lembata-NTT. Sebesar apapun nilai uang itu.

Tapi itu di kota kawan, dan aku bukan orang kota. Di Labala kampung halamanku, aku mengenal tetangga-tetanggaku, bahkan seluruh warga kampungku seperti aku mengenal keluargaku sendiri.

Bila ada tetangga yang mempunyai hajatan, tetangga lain dengan suka cita membantu. Mereka membawa beras, sayur, ikan dan keperluan lain untuk dimasak dirumah yang empunya hajatan.

Aku teringat sewaktu duduk di bangku kelas IV SD Inpres Luki. Saat itu bertepatan perayaan Maulid Nabi. Saat itu aku menjadi salah satu peserta sunatan. Aku yang belum paham apa-apa tentang nilai kebersamaan, senang bukan kepalang ketika satu-persatu tetanggaku datang ke rumah menyalamiku dengan membawa aneka hadiah. Ada yang datang membawa amplop berisi uang meski isinya hanya segope. Ada yang datang membawa hadiah pakaian dan sarung yang merupakan ole-ole yang dikirim keluarganya yang lama merantau di Sabah-Malaysia.

Bahkan ada yang datang dengan menjunjung beras merah khas kampungku sambil menggendong dua ekor ayam jantan. Mereka melakukan itu dengan sepenuh keikhlasan seakan yang akan di sunat adalah anak kandungnya sendiri. Semua larut dalam suka cita. Demikian sekelumit contoh bagaimana kehidupan di Labala, kampung halamanku. Kampung yang nun di timur sana, di kabupaten Lembata-NTT (**)

*Tulisan ini sudah dimuat di rubrik www.kompasiana.com

Rabu, 12 Juni 2013

Sedon Sina, Barek Jawa


Neket Tane, Gae Keretas

Oleh Hamba Moehammad

Hampir semua lagu berbahasa daerah lamaholot (bahasa ibu masyarakat di kabupaten Flores Timur dan Lembata) menggunakan kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat ungkapan atau kalimat perumpamaan. sehingga mereka yang mencoba memahami secara harfiah atau kata perkata, kadang kesulitan memahami pesan yang ingin disampaikan  dalam sebuah lagu. Karena bahasa yang digunakan adalah bahasa lamaholot halus atau bahasa adat (koda-kiri adat) yang tidak lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Selain itu, pesan yang disampaikan dalam lagu juga sangat kental berhubungan dengan kehidupan sosial dan budaya khas  orang lamaholot. sehingga mereka yang kurang memahami adat dan tradisi lamaholot, akan kurang menghayati pesan yang tersirat di dalam syair lagu bahasa lamaholot.

Sebagai contoh, berikut saya sertakan sebuah lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi Wens Kopong. Lagu ini saya lupa judulnya. Inilah petikan syair lagunya:

Puken witi-bala titen take
Turu lodan-aba nabe kurang

Bait pertama lagu ini menjelaskan  tentang tradisi kawin mawin dalam adat orang lamaholot yang disimbolkan dengan jumlah kepemilikan harta berupa witi-bala (kambing-gading)  dan lodan-aba (Emas-perak) sebagai persyaratan melamar seorang kebarek (gadis). Namun dalam bait pertama lagu diatas menjelaskan, pihak laki-laki tidak memiliki harta benda yang menjadi persyaratan itu karena berasal dari kalangan ata keriden (masyarakat bisa).

Kete ko ina, arin sedon sina
kete ko ama, pram barek jawa

Lanjutan bait kedua menjelaskan, karena tak memiliki harta benda sebagai persyaratan belis (maskawin) melamar kebarek (gadis),  maka sang kemamun (laki-laki)  memilih mencari jodoh kebarek (gadis) sina-jawa (cina-jawa) atau perempuan di kota atau di perantauan. Istilah sina-jawa merupakan makna kiasan untuk orang luar yang bukan asli ata lamaholot.

Leron tuen, hari balik
ina mo ake uren tuen
leron tuen, haei balik
ama mo ake oson odun

Pada bait ke tiga ini, kalimat yang digunakan menggunakan bahasa kiasan.  istilah uren tuen dan oson odun menggambarkan kesedihan atau kepasrahan atas nasib yang menimpa anak lelaki yang tak mendapat jodoh kebarek lamaholot. Setiap orang tua ata lama holot sangat menginginkan anak-anaknya kawin dengan sesama orang lamaholot dengan pertimbangan kedekatan dan kekeluargaan. Sayangnya keinginan itu terkadang terbentur oleh aturan adat yang ketat.

Ina, arik sedon sina,
sedon neket tane dinoi hala
ama, pram barek jawa
barek gae keretas dinoi kuran

Lanjutan bait ke empat, karena tak mendapatkan jodoh kebarek ata lamaholot, kemamun (laki-laki) ata keriden ini kemudian mendapat jodoh ata sina-jawa. Meski telah mendapatkan jodoh, namun sang kemamun ini lagi-lagi terbentur masalah adat dan tradisi lamaholot yang menginginkan, laki-laki harus memiliki istri yang paham dengan tradisi dan sebagaimana perempuan lamaholot kebanyakan, istri harus bisa melaksanakan kewajiban sebagai mana tuntutan adat yaitu harus pandai neket tane (menenun) dan gae keretas (titi jagung).

Dari gambaran pemaknaan syair lagu di atas, kita bisa menarik sebuah kesimpulan sederhana, tradisi orang lamaholot di satu sisi ingin mempertahankan tradisi yang kuat, di sisi lain ada kesenjangan dalam penerapan adat antara ata raya (bangsawan) dengan ata keriden (masyarakat). Sistem kasta sosial seakan menjadi jurang pemisa dalam menjalin relasi perkawinan. Hanya mereka yang memiliki status sosial yang sepadan yang boleh mengawinkan anaknya. (**)