BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Kamis, 18 Juli 2013

Mengenal Tradisi Sastra Lisan Orang Lamaholot*

Mengenal Tradisi Sastra Lisan Orang Lamaholot*

Tradisi Gaha-gapen (Ore/oreng)**


Banyak kesenian tradisional yang merupakan warisan kebudayaan orang lamaholot. Dari beberapa kesenian tradisional berupa tarian-tarian rakyat, dongeng atau cerita rakyat, nyanyian rakyat dan bentuk-bentuk kesenian tradisional orang lamaholot, salah satunya yang khas adalah nyanyian "Oreng". Oreng merupakan nyanyian naratif masyarakat Lamaholot yang dipertunjukan dengan cara dinyanyikan atau dilagukan oleh seorang solois yang oleh orang Lamaholot disebut Oreng Alape (Penyanyi Oreng).


Biasanya Oreng bisa dinyanyikan dalam tarian saat upacara pesta-pesta adat dan hari-hari besar lainnya. Dalam tarian , Oreng berperan sebagai pemandu tarian tersebut. Cepat atau lambatnya tarian Sole sangat tergantung pada Oreng. Oreng dalam tarian sole sangat dinamis. Mula-mula solois (penyanyi Oreng) menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang, dan makin lama makin cepat. Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang dalam lingkaran tarian menghentakan kaki bersama-sama sambil berteriak siti alang ga-alang ga, sebagai pertanda bahwa tarian sudah berakhir.


Bagi orang lamaholot baik di Kabupaten Flores Timur maupun di Kabupaten Lembata, nyanyian rakyat tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata melaikan juga memiliki fungsi sosio-kultural dalam masyarakatnya. Demikian pula dengan "Oreng". Sebagai salah satu nyanyian rakyat, "Oreng" mengandung ide-ide, gagasan, berbagai pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat lamaholot, juga ajaran moral keagamaan dan unsur-unsur lain yang mendukung nilai-nilai luhur. Hal ini menandakan, "Oreng" sebagai bagian dari warisan budaya perlu dikaji, guna meningkatkan apresiasi masyarakat tehadap tradisi sastra lisan khas orang lamaholot ini. Dengan demikian nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat dihayati dengan baik dan mendalam.


Sebagai warisan budaya, Oreng pada masyarakat Lamaholot terutama di Kabupaten Lembata memiki berbagai versi. Setiap wilayah Kecamatan bahkan Desa memiliki versinya masing-masing. Hal ini disesuaikan dengan pola pikir, tradisi dan tata cara adat istiadat daerahnya. Di Labala misalnya (Leworaja, Mulankere, dan Luki-Pantai Harapan), Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata. Disana, meski kini kurang digemari oleh generasi muda Labala, "Oreng" tetap dipertahankan sebagai sarana hiburan rakyat. Mereka menyadari bahwa "Oreng" adalah warisan leluhur yang harus dipertahankan. Walaupun "Oreng" sudah populer di masyarakat Lamaholot pada umumnya dan di labala khususnya, namun tidak semua orang dapat menguasai dan dapat menyanyikannya. Mereka menyadari, "Oreng" adalah kesenian rakyat, namun tidak semua dari mereka belum mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalammya.


Apa Itu "Oreng"?


Oreng merupakan salah satu nyanyian Lamaholot berbentuk narasi. Dikatakan nyanyian naratif kerena Oreng disini berupa tuturan yang cara penuturannya adalah dengan cara dinyanyikan. Mengenai isinya, Oreng biasanya memuat berbagai kisah atau peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya. Tema dari Oreng pun senantiasa disesuaikan dengan situasi dan suasana hati saat oreng itu dilagukan. Bagi orang Lamaholot di labala, sebagai pemilik nyanyian naratif ini, Oreng merupakan tradisi lisan yang menggambarkan kehidupan berbudaya masyarakatnya yang harus dijunjung tinggi dan dipahami secara khusus.


Nyanyian naratif Oreng biasanya dibawakan atau dinyanyikan oleh seorang solois ( penyanyi tunggal) yang oleh masyarakat Lamaholot di labala biasa disebut dengan Oreng alape/Kenapen alape. Apabila dinyanyikan sebagai pengiring tarian, oreng selalu diawali dengan Sole-oha (salah satu nyanyian bersama yang diselingi dengan pantun berbalasan) ketika gerak tarian itu semakin cepat maka Oreng alape akan mengambil alih. Dengan kemampuan Gaha Gapen/kenapen (kemampuan penyanyi Oreng merangkai kata-kata) sang penyanyi akan mengiringi tarian dengan nyanyiannya yakni Oreng itu sendiri. Isi nyanyiannya pun cenderung lebih panjang karena dalam tarian, Oreng biasanya mengangkat berbagai kisah hidup masyarakat. Hal ini berbeda dengan Oreng yang dilagukan saat Oreng alape sedang sendirian misalnya saat mengiris tuak (tuak lolon) atau saat sedang duduk bersama sambil melepas lelah, isi Oreng hanya mengisahkan satu peristiwa kehidupan seseorang, entah itu kisah hidup Oreng alape itu sendiri atau kisah hidup orang lain yang menyentuh hati sang penyanyi.


Bahasa yang digunakan dalam Oreng bukanlah bahasa yang selalu digunakan masyarakat sehari-hari melainkan bahasa dengan pilihan kata khusus dan mengandung makna kiasan sehingga tidak bisa dipahami secara harafia namun membutuhkan interpretasi dari pendengarnya. Pilihan kata-katanya pun disesuaikan dengan motif saat Oreng dilagukan. Pilihan kata-kata khusus Oreng ini bertujuan untuk mempengaruhi perasaan pendengarnya. Jika Oreng dilagukan saat suasana sedih maka seorang Oreng alape akan menggunakan nua snusa/snuse (kata- kata sedih) yang mampu membuat pendengarnya menangis. Sebaliknya apabila oreng dilagukan saat suasana senang (dalam keramaian pesta), seorang Oreng alape biasanya menggunakan nua senaren/aluse (kata-kata bahagia ) sehingga terkadang membuat pendengarnya tertawa senang. Hal ini berhubungan dengan Oreng sebagai salah satu karya seni yang harus memiliki cita rasa seni tinggi untuk dinikmati dan akan lebih muda dipahami isinya.


Berdasarkan pada pandangan masyarakat, terutama tokoh masyarakat, dan penutur Oreng itu sendiri bahwa, hakikat Oreng tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan akan bentuk, isi, serta arti Oreng. Kajian mengenai hakikat Oreng meliputi tujuan Oreng dilaksanakan, cara belajar Oreng, penutur Oreng dan kriteria seorang penutur.


1. Tujuan Oreng


Nyanyian naratif Oreng merupakan tradisi turun temurun masayarakat Lamaholot termasuk masyarakat di Labala. Nyanyian naratif ini bisa saja dilagukan dengan tanpa dan melibatkan partisipan. Namun tidak seintens dulu, di labala Oreng lebih sering dinyanyikan dalam upacara-upacara adat, pesta dan bentuk-bentuk keramaian lainnya. Dengan kata lain, Oreng di labala lebih sering dinyanyikan dengan melibatkan partisipan. Apabila membutuhkan partisipan, maka oreng ini dinyanyikan oleh Oreng alape dalam sebuah tarian, dimana semua pesertanya mendengarkan nyanyian ini secara hikmat sambil berpegangan tangan dan bergerak melingkar secara teratur yakni dengan derap kaki berirama dan tetap.


Nyanyian naratif Oreng bertujuan untuk mengisahkan berbagai peristiwa kehidupan masyarakat secara keseluruhan atau peristiwa khusus seseorang dimana kisah perseorangan ini tidak terlepas atau masih bersangkut-paut dengan kehidupan sosial masyarakat Lamaholot secara keseluruhan. Selain itu, nyanyian naratif Oreng dilakukan dengan tujuan untuk menghibur dan yang paling penting disini adalah melakukan Oreng berarti mengembangkan seni budaya Lamaholot yang kaya dengan bahasa puitis yang memiliki pengertian dan arti yang luas.


Suatu hal yang yang perlu tegaskan di sini adalah panjang pendeknya kisah dalam nyanyian naratif Oreng sangat tergantung pada penuturnya. Dengan kata lain, bahwa penutur mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek ceritanya sesuai dengan kondisi, waktu, tempat dan situasi penuturnya. Yang penting cerita yang disampaikan oleh Oreng alape senantiasa terikat pada elemen-elemen kesusastraan sesuai dengan poetika Lamaholot.


2. Cara Belajar Oreng


Seorang penutur Oreng haruslah mempunyai bakat khusus sehingga hanya orang-orang tertentu yang mampu unutk menuturkan Oreng. Oleh karena itu, seorang penutur juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang peristiwa yang dituturkannya lewat nyanyian. Selain itu, ia juga memerlukan latihan khusus bagaimana melakukan Gaha Gapen ( kemampuan merangkai kata-kata) dalam nyanyian naratif Oreng.


Setiap penutur memiliki cara tersendiri yakni ada yang langsung belajar pada penyanyi atau penutur terdahulu dan cara berikutnya adalah dengan cara otodidak yakni mendengar dan merekam sendiri kodamakete (kata-kata kunci) dan mempraktekannya sendiri. Cara otodidak ini jarang dilakukan oleh sembarangan orang namun ada juga yang lebih mudah untuk belajar. Cara ini penutur oreng biasanya lebih mudah untuk mengembangkan ceritanya dan bebas dalam merangkai kata-kata dalam tuturannya. Di labala, jumlah orang yang memiliki kualifikasi menjadi oreng alape/ kenapen alape sangat sedikit. Ada diantaranya yang mempunyai nama besar karena terkenal sebagai oreng alape diantaranya, Alm bapak Rubon Laweona, Alm Bapak Hamzah Laweona, dan Alm Bapa Burhan Butu Bakiona. Untuk proses regenerasi selanjutnya, diserahkan kepada anak cucunya masing-masing.


3. Penutur Oreng


Oreng alape adalah penutur yang memiliki bakat khusus atau keahlian dalam menciptakan dan menuturkan Oreng. Penuturan Oreng yang dilakukan semata-mata karena dorongan dan kesadaran untuk mewariskan kesenian asli Lamaholot dan mengembangkan budaya menuturkan Oreng. Pada umumnya, di Labala, oreng alape berusia antara 40-75 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan adanya penutur Oreng yang masih berusia lebih muda berdasarkan kriteria umur di atas. Pada umumnya, Oreng alape ini menyanyikan Oreng karena terdorong oleh keinginan pribadinya untuk menghibur dirinya sendiri, kerabat, dan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, Oreng merupakan salah satu bentuk kesenian budaya Lamaholot, dan juga memiliki nilai kehidupan berbudaya serta nilai-nilai estetik yang terkandung di dalamnya.


4. Kriteria Seorang Penutur


Dalam nyanyian naratif Oreng, seorang penutur Oreng harus betul-betul memahami dan memiliki pengalaman dalam melakukan Gaha Gapen (kemampuan merangkai kata-kata) yang indah untuk dijadikan syair Oreng. Sesuai dengan lingkungan sosial kemasyarakatan, seorang penutur Oreng dituntut untuk betul-betul tahu, memilih kata-kata dan mampu menguasai bahasa Oreng, mempunyai warna vokal dan teknik pernapasan yang baik dan seimbang, haruss tahu apa maksud dan tujuan Oreng dilagukan sebagai penutur tuan rumah dan juga mampu menanggapi apa yang dituturkannya. (**)
=========================================================
*Tulisan ini disari dari berbagai sumber dan dipadukan dengan pengalaman pribadi penulis mengamati tradisi dan budaya orang lamaholot Labala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar