BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Kamis, 27 Februari 2014

Labala dan Realita Kehidupan Kita Hari Ini*

(Sebuah Refleksi)

Oleh Hamba Moehammad

Lihatlah realita kehidupan di sekeliling kita hari ini, di Labala, kampung kita.  Mesjid-mesjid kita berubah sunyi karena kekurangan jama'ah. Hidup kita lebih suka keluyuran. Anak-anak perempuan kita kini tak sungkan lagi berbusana setengah jadi.  Anak laki-laki kita lebih suka bergerombol di pinggir jalan, mabuk-mabukan dan pergaulan bebas. Dan lihatlah akibatnya: anak gadis hamil di luar  nikah menjadi kabar biasa di lewotanah. Seorang kelake membawa lari kewae orang, juga dianggap biasa.

Belum lagi sengketa kepentingan politik, kepentingan suku, kepentingan sekte dan golongan lumrah terjadi di labala kampung kita. Kita bahkan lupa dengan kepentingan lewotanah-Labala. Kita mengabaikan persatuan dan kesatuan. Kita melupakan kebersaman sebagai opu-maki, kaka-ari, naan-bine. Sebagai ata labala, Kita lebih mengutamakan perseteruan kepentingan yang hanya memecah belah kebersamaan kita sebagai orang Labala.

Kita lupa (atau mungkin pura-pura lupa) dengan visi-misi kehidupan kita berlewotanah yaitu: te onek tou kirin ehan, pai te soga nare lewotanah, lewobala Lamaronga . Sikap dan laku egoisme terlanjur mendominasi dan mengisi ruang/bilik -bilik kehidupan kita hari ini. Kesombongan sukuisme sudah semakin menjadi-jadi sehingga sebagai orang labala, kita sulit menemukan kata sepakat, kita kewalahan menemukan kalimat mufakat di antara kita.

Bahkan pada tataran yang telah melampaui ambang batas, mungkin kita sudah tidak mengerti lagi siapa diri kita, darimana asal-usul dan perjalanan sejarah kita sebagai ata watan. Kita hanya alat dari nafsu kepentingan orang luar yang memanfaatkan kita, yang menggiring kita dari jengkal ke jengkal kehidupan yang membingungkan. Kita seperti zombie (mayat hidup) yang bekerja dan mengabdi demi kepentingan orang lain. Tak hirau apakah orang yang kita abdi itu peduli dengan nasib kita, masa depan ana-opu kita.

Kita tidak menuruti mana yang terbaik untuk masa depan kita dan lewotanah yan juga kita punya. Kita tak lagi bisa membeda mana keburukan-keburukan yang bisa menjauhkan kita dari rahmat dan karunia Allah SWT. Kita hanya menuruti nafsu apa hari ini, kita lampiaskan. Yang lebih ironis, pikiran kita berjangka pendek, bahkan sangat pendek.

Jadi yang berlaku dalam kehidupan ber-lewotanah kita hari ini bukanlah pengetahuan mengenai diri kita, bukan pengetahuan mengenai di mana tempat kita berada, bukan pula pengetahuan akan kemana kita akan membawa nasib lewotanah nanti. Tapi yang kita tahu hanyalah cara mencari untung dengan menjilat pemilik partai, pemilik modal dan pemilik-pemilik kepentingan luar, hanya untuk mendapat segepok rupiah. Nilai duniawi yang teramat kecil, remeh dan sementara itu.

Sadar atau tidak, sebenarnya kita sedang berjalan menuju jurang untuk melakukan harakiri (bunuh diri) tanpa harga diri: membunuh masa depan kita, membunuh cita-cita dan harapan kita sendiri, dan yang lebih kejam (sadar atau tidak) kita sendiri yang membunuh nasib nuba-sili kita. Dan masih banyak  aneka ancaman kehancuran lainnya yang kita lakukan dengan tangan kita yang berlumur darah, tanpa rasa sesal.

Atau jangan-jangan karena ulah kita dengan melakukan aneka makar dan kejahatan (baik sembunyi-sembunyi atau terang-terangan), Tuhan sedang mempermalukan kita orang-orang Labala ini satu persatu, termasuk menjadikan kita orang-orang yang tak lagi diperhitungkan dalam kancah kehidupan politik, pemerintahan, pendidikan, dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Jika ini terjadi, kita tak ubahnya sekumpulan manusia yang hidupnya terbelakang, hanya dianggap sebelah mata bahkan tak dianggap sama sekali.

Kita hanya dibutuhkan orang-orang luar ketika musim Pemilu tiba, demi untuk membeli dan meraup suara kita, guna memenangkan mereka dalam percaturan politik kehidupan. Dan kita hanya menjadi penonton yang disewa untuk menyoraki keberhasilan dan kesuksesan mereka. Bukan main bodohnya kita. Betapa ironisnya pilihan jalan kita ini.

Satu-satunya yang bisa kita banggakan adalah ketika pejabat yang kita pilih dalam Pemilu berkenan datang untuk berkunjung ke kampung halaman kita ini dan memuji-muji kita dengan pujian palsu bahwa labala di masa lalu adalah kerajaan besar, lewo ata kebele, tanah ata bereket di masa lalu. Tak kita sadari, pujian mereka itu sepenuhnya pujian politis, pujian palsu agar kita bersediah memilih mereka kembali ketika musim Pemilu berikutnya tiba. Dan setelah itu, mereka seakan amnesia (lupa ingatan) , kita dilupakan. Dan Labala tinggal nama, hanya nama di mulut mereka kawan-kawan.

Bangkit Sekarang atau Terkubur Selamanya

Jika kita ingin berubah, maka mari kita bangkit sejak sekarang. Mulai tahu siapa diri kita. Kita tak lagi punya waktu untuk lebih bodoh lagi, lebih gelap lagi, dan lebih buntu lagi. Kita hanya punya waktu sebentar untuk memperbaiki semua kehancuran yang terlanjur parah ini. Setelah itu, kita tidak boleh begitu lagi atau sekalian kita mati bersama-sama, hancur bersama sama dan terkubur selamanya. Dan tak lagi tercatat dalam sejarah umat manusia.

Dan mari kita berjanji dalam diri kita masing-masing, kita tidak akan lagi menuruti keinginan kelompok masing-masing, individu masing-masing, suku masing-masing. Mari kita mencoba untuk mengambil cara sendiri-sendiri seperti yang diajarkan nenek moyang kita ata labala yaitu melakukan evaluasi dan introspeksi diri supaya kita mengetahui lokasi dimana titik koordinat sosial kita, supaya kita tahu akan kemana nasib dan takdir hendak membawa kita.

Oleh karena itu, mulai saat ini juga, sejak kita dari rumah, sejak kita dari shalat dan ibadah kita di mesjid, kiranya yang kita cari dan niatkan adalah identifikasi diri kita, lokasi dimana kita berada dan orientasi hidup kita di masa depan. Karena  kalau tidak, kita akan melihat daftar kehancuran-kehancuran berupa kemalangan, kemiskinan, keterbelakangan, perpecahan, kemaksiatan dan aneka bencana lainnya akan terus menerus menimpa lewotanah kita, mendera hidup kita, kecil maupun besar.

Harapan saya, dan tentu saja tite weka kae untuk Labala lewotanah titen adalah, mudah-mudahan kita: moe ne goe, tite wekka kae, Labala ene-opu tidak termasuk dalam daftar yang akan dipermalukan oleh Allah SWT karena kesombongan intelektual, keangkuhan keturunan, kepongahan suku dan 1001 macam perpecahan di antara kita. Jika tidak, maka kita tinggal menunggu surut sumbu bom azab yang akan menghancurkan kita, dan Labala tinggal menjadi cerita mitos yang hanya singgah sesaat di sisa ingatan generasi yang akan datang. Semoga tidak... (**)
=========================================================
*Tulisan ini sematapersepsi pribadi. Maka silahkan dimaknai oleh masing-masing pembaca yang budiman.