BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Senin, 05 Agustus 2013

Teluk Labala (Sebuah Cerpen)

Teluk Labala (Sebuah Cerpen)
Oleh Muhammad Baran


Pantai Teluk Labala-Leworaja, Lembata-NTT
Masih banyak kenangan yang ingin kukisahkan darimu. Tapi aku ragu adakaah ribu-ratumu yang sudi menyimaknya?

Di pantai Wailolon-mu yang sepi aku berdiri. Sembari bersandar di bawah pohon ketapang. Dikitari  rimbun  pohon kelapa dengan daun yang menari gemulai dirayu angin.  Aku diam sejenak, tepekur  memandangi laut sawu-mu yang tak henti menggelorakan kegusaran. Apa yang hendak kau  katakan? Tak ada. Aku malah melihat serpihan hatiku yang melayaang di permukaan laut Wutun Leworaja-mu. serpihan yang menyisakan luka goresan memerah dan segaris darah.


Ini hari sabtu. Hari pasar bagi masyarakat di Kecamatan Wulandoni dan Kecamatan Atadei. Kulihat ribu-ratu-mu lalu lalang dari Kahatawa ke Wulandoni tanpa melirik sungai wailei yang malas beriak dan mesum. Penuh misteri dikala musim kemarau tiba.


Dulu kukenal kau begitu cantik memikat; Wutun Lusitobo-mu nan indah, pantai Watonama-mu  yang unik, pantai Baka-mu yang berombak garang dengan pasir pantai dimana nuba-sili ata Leworaja yang riang bermain bola, ada juga muda-mudi Atakera yang sibuk bermandi riang di Waitewo dengan airnya yang berwarna putih susu. Juga pantai Kemeru Wutun dengan Watotena yang konon menjadi bukti sejarah eksodus masyarakat Labala dari Lepan-Batan, juga pasar Wulandoni yang terkenal itu, hinggah di Wutun Lelakewate-Nuhalela.


Kau masih ingat? Ketika timu teka wara pasan,  debur ombakmu menggulung dan pecah di atas Benapa Lukiono.  Dan pada pagi hari ketika mentari memanjat  di balik punggung Wutun Atadei dengan cahaya pertama yang paling bening, ia memantulkan triliunan tembakan sinar sehingga berjuta-juta berlian berpendaran di permukaan laut Sawu-mu. Tapi sekarang apa? Bagai naga kelaparan yang minta sesajen, lautmu menggelorakan amarah.  Dia hanya meratap ketika pantaimu tak lagi landai dan tak terurus lagi, tergerus abrasi ketika pasang naik bulan Agustus.  Sementara kemajuan Lewotanah semakin membuatmu terpuruk dan menderita. Ribu-ratu-mu seenaknya mengeruk pasirmu untuk membangun rumah, gedung sekolah, kantor camat, kantor polisi,  markas tentara dan rupa-rupa bangunan lainnya. Ah mereka menyebutnya ini kemajuan? Tapi kemajuan justru membawa konsekuensi kerusakan pantaimu, sungai dan dan lautmu. Dan sepotong kenangan masa kecilku pun direnggut serta. Nyaris tak bersisa.


Dan sungaimu bernasib sama sialnya. Waibelehe kehilangan rumpun bambu yang kutanam bersama kawan-kawan waktu kecil dulu,  hutan lamantoro di sekitar tanjung Watobua pun kini habis dibabat untuk pakan ternak. Belum lagi pelebaran jalan yang melintas di punggung tanjung Leworajamu membuat pepohonan tua yang rindang peninggalan Belanda dan situs bersejarah peninggalan nenek moyang jadi korban gusuran buldozer proyek pemerinta. Katanya mau buat jalan. Tapi  sampai kapan?


Kau masih ingat? Sebagian kenaangan dan segenap kisah cinta masa kecilku terekam apik disini. mungkin dulu kau mengulum senyum maklum bila musim ombak tiba, kau tersenyum melihatku dan kawan-kawanku selepas jam sekolah, meski masih mengenakan seragam sekolah, dengaan sebilah papan kami berselancar di pantaai lukiono. tak peduli disemprot Inak dan Amak kami karena seragam sekolah sobek.


Kelakuan masa kecilku dulu memang kurang ajar . Tapi itulah kenangan masa kecil yang masi tersisa kini. Dan aku kadang termangu murung di bawah pohon ketapang ini, mengenal rasa kesepian untuk kesekian kali. Setelah itu, hanya bisa mengenang masa kecil yang kini telah menjadi lampau. Masa kanakku tergerus dengan  lekas oleh dunia nyata yang tak kenal ampun. Setamat sekolah di SD Inpres Luki, aku merantau menuntut ilmu di kota daeng. aku bahkan sempat lupa dengan sebuah teluk nan elok di pantai selatan Kabupaten Lembata yang pernah kuakrabi ini. Mungkin selama diperantauan meenuntut ilmu di kota,  aku hanya melihat kali atau kanal yang berlumpur dan berbu busuk.


Waktu kecil aku suka berlama-lama mandi bersama kawan-kawanku di lautmu sambil bermain dengan berlomba memilih batu karang berwarna putih untuk bermain benteng-bentengan, sedangkan amak-amak di kampung yang lagi duduk  santai sambil menjahit pukat di pantai mengingatkan kami agar jangan sampai lupa mengerjaakan PR sekolah.


"Ingat anak. Boleh main tapi jangan sampai lupa dengan tugas sekolah," kata salah seorang Amak mengingatkan kami dengan logat melayu malaysia suatu ketika. Terkadang karena keasyikan dan lupa waktu,  para amak-amak ini terpaksa  memksa kami untuk pulang ke rumah masing-masing bila magrib menjelang.


Kelembutan dan kasih sayang Inak dan Amak kami di kampung kemudiaan tergantikan  dengan ekspresi dingin sekaligus  tempramental kehidupan kota pada masa dewasaku hingga akhirnnya aku pulang  ke tepian pantaimu ini.


Waktu memiliki otoritas tak berbendung untuk mengubah segala hal termasuk kau, teluk kesukaanku. Ketika pertama memandangmu kembali, bermunculan potret-potret masa kecil dari laci ingtanku; wajah Inak dan Amak penuh amarah yang pernah kujahili bersama  kawan, pun wajah kawan-kawanku yang dulu saling berebut  tali pancing untuk memancing belut,  juga ukiran namaku dan nama kawan-kawanku di salah satu batang pohon asam yang kini tak lagi ada. Kata Inak-ku, pohon asam yang menjadi markas kami kecil dulu, kini telah tumbang jadi korban abrasi.


Pantaimu tampak asing sekarang. aku tak menuntut pasir putih, jejeran pohon kelapa,  dan pohon beringin seindah dulu, tapi bahkan bekasnya pun tidak. Semuanyaa sudah diseret gelombang pasang lautmu. Tak bisa lagi aku berteduh di bawahnya; menunggu para amak kami pulang melaut, memanjati batang dan dahannya, bermain perang-perengan di bawah pohonnya yang rindang.


Dengarlah wahai telukku. bukan hanya engkau. Barangkali aku pun telah berubah.  Setidaknya aku bukan lagi kanak-kanak yang pernah lau kenal. dan bukan pula seorang pejabat pemerintah yang peduli menyusun program pelestarian lingkungan untuk mengembalikaan keelokanmu.  Aku datang sebagai seseorang yang pernah menghabiskan masa kanak di pantaimu, di sungaimu, di tanjungmu, juga di lautmu. dengan harapan,  kalak memandangmu bisa menggugah kembali ingatan akan segenap kenangan masa kecilku, menjadi pelipur lara, dan obat kereinduanku padamu.


Wahai telukku, inilah aku.  Kutengok masa kanakku. sungguh aku tak terkejut mendapai Waibelehe-mu merana,  pantai Lukiono-mu nestapa,  tanjung Leworaja-mu tercampakan, tanjung Watobua-mu kesepian, juga ribu-ratumu yang tak lagi peduli dengan nasibmu kini. Bukan hanya mereka yang diacuhkan,  bahkan kenangan masa kanakku pun tak sempat kuselamatkan, tak sanggup kututurkan kepada Nuba-Nara-mu kelak.


Wahai telukku, inilah aku. Masih ingatkaah kau pada si Hajon, si Dulah, si Kadir, si Tuen,  dan si Musa? Mereka semua adalah kawan kawan masa kanakku yang hampir tiap hari berenang di Laut Sawu-mu, berlari mengejar kepiting di pantai Wailolon-mu,  pergi mencari kerang di tanjung Lewworaja-mu, berpiknik ria di tanjung Watobua-mu. Kamilah anak-anak kecil yang nakal itu. kamilah bocah-bocah ingusan  waktu itu yang  gemar mengikuti perahu orang Ende mengebom ikan-ikanmu.


Dulu aku pergi tanpa pamit, kini aku datang menuntut penyambutan. Maafkaan aku. Bisakah kita bersahabat kembali seperti masa kanakku dulu?


Mungkin persahabatan kita tak semesraa dulu. Tak bisa lagi aku berlari meengejar kepiting di pantaimu, berteduh di bawah pohon asammu,  atau mencari siput di tanjungmu. aku sendiri  tak setangkas dan tak seceria dulu. Siapa engkau, siapa aku: satu sama lain telah menjadi asing.


Wahai telukku, naibmu kini seperti rumah Inak-ku di tobilangun. Tak bisa lagi berkutik.  Terjepit di antara rumah-rumah yang semakin rapat dan mendesak memaksa.  Lorong-lorong yang disemen beton pun menyempit. Tiada lagi tanah lapang di tobilangun yang dulu aku dan kawan-kawanku bisa sepuasnya bermain:  bato kote, patuk lele, botipehupasa karethoro maku loa selepas teraweh di mesjid.


Masih lekat dalam ingatanku, bila bulan purnama terang,  di tobilangun aku dan kawan-kawanku ramai bermain tarian tradisional: lili, liang, oha, sole, dolo-dolo dan rupa-rupa tarian lainnya. sayangnya semua keriangan masa kanak itu kini tinggal kenangan.

Begitu juga dengan rumah Amak-ku di pinggir Pantai Wailolon-mu. Tiada lagi tanah lapang dan rumpun bambu di bantaran  Waibelehe yang selalu mendesis jika angin Laut Sawu membelai dedaunnya yang rimbun.


Disinilah aku berdiri. masih di bawah pohon ketapang di Pantai Wailolon-mu yang kikuk ini. coba menanggapi perubahan zaman. Kurenungi raut wajah pantaimu yang kini lesu pada saat gerimis akhir bulan desember menciumnya tanpa suara.



Disini ingin kuhabisi sisa usia sebab  disini ada sahabat setia yang kupercaya untuk menitipkan cerita masa kanakku.  Seperti juga aku, dia juga sudah berubah tak segemilang dulu. Tak terlihat lagi jejern pohon asam, ketapang dan beringin berjejer apik di pinggir pantainya, juga tak tampak lagi burung bangau  yang sibuk menncari kepiting dan bangkai ikan. Sementara suara elang dan camar laut  yang biasa berburu ikan, tak lagi tersimak. Kemajuan Lewotanah  yang tak dibarengi dengan kepedulian yang sungguh-sungguh dari ribu-ratu-nya, melengkapi derita telukku, teluk yang kini dirundung murung. (**)

Ake Maan Gelupak

Pana Maan Mela Sare Arik eee.
Peten ake maan gelupak

Pasar Barter Labala-Wulandoni

Bicara  budaya toleransi antar umat beragama di indonesia akhir-akhir ini, kita kerap dibuat berkerut dahi. Pasalnya sikap arogansi yang ditunjukan sebagian masyarakat di negeri ini, kerap membuat cita-cita toleransi antar umat beragama menjadi mandeg. 
Namun kemandegan toleransi ini tidak berlaku di kampung halaman saya, di Kabupaten Lembata. Disana, justru perbedaan agama menjadikan mereka berbaur, bergaul dan melakukan aktifitas sosial kemasyaarakatan tanpa memandang perbedaan agama. Hal ini tak lepas dari kuatnya tradisi dan budaya egaliter masyarakat Lamaholot.
orang lamaholot terkenal dengan budaya Penetan/Pnetan yaitu aktifitas jual beli dengan mempertahankan jual beli sistem barter, meski sebenarnya di sana masyarakat telah lama mengenal uang. Bahkan aktifitas budaya penetan/pnetan (jual beli sistem barter) ini hingga kini masih di lestarikan. Pencaknya terjadi pada hari rabu di pasar Labala dan setiap hari sabtu di pasar wulandoni. Di pasar barter Labala dan wulandoni inilah kita akan menemukan realita interaksi sosial ata kiwan (orang gunung) yang mayoritas Kristiani dan ata watan (orang pantai) yang mayoritas Muslim, melakukan transaksi tukar menukar ikan dengan beras, buah alpukat, tomat dan kebutuhan pokok lainnya.
Tradisi dan budaya penetan/pnetan inilah menjadi pagar lestarinya semangat toleransi umat bergama. Betapa tidak, dalam budaya penetan/pnetan, masyarakaat lamaholot diharuskan bergaul dan berbaur dengan semua orang dari berbagai kalangan, baik mereka  yang muslim maupun meraka yang kristen atau yang memiliki keyakinan lainnya. Tradisi dan budaya penetan/pnetan merupakan tradisi luhur yang diwariskan oleh nenek moyang orang lamaholot di kecamatan Wulandoni dan kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata.
Selain tradisi penetan/pnetan, Anda mungkin pernah mendengar orang-orang lamaholot dari Desa Lamalera di Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata yang memiliki tradisi unik menangkap ikan paus. Tradisi menangkap/menombak ikan paus secara tradisional ini merupakan salah satu tradisi yang paling terkenal di indonesia. Tradisi ini dilakukan saat lewa nuan/ lefa nuan (musim melaut). Dari tradisi mangkap ikan paus inilah, orang lamalera mempertahankan dan melestarikan tradisi penetan/pnetan hingga kini. Orang Lamalera melestrarikan budaaya penetan dengan menukar hasil tangkapaan paus dengan kebutuhan pangan di pasar barter Labala dan Pasar Barter Wulandoni. Tradisi unik yang barangkali hanya ada di pasar wulandoni dan labala. Kerukunan yang berawal dari aktifitas niaga secaraa tradisional ini kemudaian menjalar keberbagaai aktifitas sosial lainnya, termasuk aktifitas keagaamaan masyaarakat lamaholot.
Bila anda jalan-jalan ke Kabupaten Flores Timur dan Lembata di bulan Ramadhan dan saat jelang idul fitri misalnya, anda akan mendapati bentuk toleransi nyata dimana orang lamaholot yang kristiani akan menjadi panitia pelaksanaan idul fitri. Di bulan ramadhan, jelang saat buka puasa, seorang muslim lamaholot akan dijamu oleh seorang lamaholot kristiani untuk bersama berbuka puasa. Tentu saja si orang lamaholot yang kristiani ini tahu bagaimana adab melayani teman muslimnya. Begitu juga sebaliknya bila ada perayaan natal, saudara lamaholot yang muslim akan menjadi panitia pelaksana hari besar tersebut.
Dari sini kita bisa belajaar, bahwa betapapun perbedaan yang kita miliki, tidak serta merta menjadikan kita berjarak dengan sesama kita yang lain. Apapun latar belakang sosial dan keyakinannya. Satu hal yang perlu dicatat: Ternyata tradisi dan budaya memiliki andil positif dalam menjaga kerukuan antar umat beragama seperti tradisi dan budaya penetan/pnetan yang di aktualisasikan orang lamaholot dalam wujud interaksi jual beli di pasar barter Labala dan Pasar barter wulandoni di kecamatan wulandoni, Kabupaten Lembata-NTT. (**)

Kolak-Jagung Titi

Menyambut bulan suci Ramadhan, umat islam di indonesia dengan suka cita menyambut bulan penuh berkah dengan aneka persiapan. salah satu persiapan yang tak ketinggalan adalah menyiapkan penganan atau menu khas untuk berbuka puasa bersama keluarga.
Untuk urusan menu khas, masing-masing daerah di indonesia tentu memiliki menu khas yang akan disajikan saat berbuka puasa. dalam urusan sajian menu khas untuk buka puasa selama bulan ramadhan, umat muslim di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya muslim lamaholot di kabupaten Flores Timur (Flotim) dan Kabupaten Lembata memiliki menu khas untuk disajikan saat akan berbuka puasa. salah satu menu khas muslim lamaholot adalah Kolak dan Jagung Titi. Kedua jenis penganan ini merupakan menu wajib yang selalu menjadi hidangan utama saat bernuka puasa bersama, baik di rumah maupun di mesjid atau langgar.

Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat muslim lamaholot, kolak dan jagung titi tak bisa dihilangkan dari kebiasaan. oleh karena itu, meski tahapan pembuatan menu khas ini tak membutuhkan waktu yang lama, namunbiasanya jauh-jauh hari sebelum memasuki bulan suci ramadhan, inak-inak (ibu-ibu) muslimah lamaholot biasanya sudah menyiapkan penganan jagung titi yang disimpan dalam belik (kaleng biskuit) untuk persediaan  selama bulan ramadhan. Sedangkan penganan kolak, biasanya dimasak dan kemudian disajikan  jelang waktu berbuka puasa tiba.beberapa jam

Biasanya di luar bulan ramadhan penganan jagung titi disajikan bersama kacang tanah yang telah disangrai untuk sarapan pagi  sebagai pelengkap teh atau kopi hangat. namun di bulan ramadhan penganan jagung titi disajikan bersama penganan kolak manis yang masih hangat.
proses penyajian jagung titi dan kolak ini juga cukup unik. saat berbuka puasa, jagung titi dan kolak disajikan terpisah. namun ketika disantap, kedua menui ini dicampur. caranya, kolak manis yang masih hangat dalam piring, dicampur dengan jagung titi yang gurih.

Untuk mendapatkan sensasi percampuran rasa yang nikmat, jagung titi yang dicampurkan dsengan kolak kemudian diaduk dengan sendok makan sampai rata. setelah adukan sudah rata, menu langsung bisa disantap. cara menyantap menu khas ini cukup praktis sehingga sama sekali tidak terkesan ribet.

Buat anda yang mungkin ingin menjelajah guna mencicipi kuliner khas nusantara, ada baiknya momen bulan suci ramadhan ini bisa dimanfaatkan untuk menikmati kolak dan dan jagung titi yang merupakan menu khas muslim lamaholot dikala berbuka puasa.
masih banyak menu khas muslim lamaholot yang bisa dinikmati saat sajian berbuka puasa seperti aneka penganan berupa kue. penganan kue-kue khas muslim lamaholot yang bisa dinikmati di antaranya; kue bapen, kue juada, kue senole, dan kue putu. Semua jajanan kue ini menggunakan bahan dasar berupa tepung singkong dan tepung jagung. (**)

Jumat, 02 Agustus 2013

Berkah-Keramah

Berkah-Keramah*

Oleh Muhammad Baran

Sebagai orang labala, ketika membaca judul tulisan goen di atas, atau ketika mendengar kedua kata (Berkah-Keramah) di atas disebutkan, apa yang terlintas di benak kita?

Sebagai orang labala, yang lahir dan menghabiskan hampir separuh hidup saya (masa kanak-kanak) di lewotanah, maka saya tidak asing dengan istilah "Berkah-Keramah".

Kedua kata tersebut lebih dikenal oleh orang labala sebagai istilah adat. Berkah-keramah menjadi idiom sakral dalam tata laksana adat istiadat orang labala yang memegang teguh tradisi/kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek-moyang.

Secara umum, dalam pahaman adat orang labala, berkah-keramah adalah sebutan lain dari nuba-nara (altar persembahan) yang memiliki makna simbolik yang mendalam dan memiliki rangkaian hubungan historis tradisi sebagai orang lamaholot pra islam yang memiliki keyakinan akan kuasa Ina-ama lera-wulan tanah ekan (Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi). Dengan adanya sinkretisme antara adat dan agama islam yang menjadi keyakinan baru orang labala, istilah nuba-nara perlahan digantikan dengan istilah yang populer sekarang yaitu berkah-keramah.

Dalam perspektif yang lebih lokal terkhusus orang labala, berkah-keramah bukan sekadar kepercayaan tradisionil,  tapi lebih kepada simbol yang dikonkritkan melalui benda-benda pusaka yang dianggap keramat dan mewakili kekukatan penghubng antara kuasa langit dan bumi yang diyakini bisa menaungi lewotanah dari bala bencana, penyakit, dan nalan (dosa).

Selain dalam bentuk atau wujud benda, berkah-keramah juga berwujud keyakinan akan adanya ruh makhluk yang dikeramatkan. Dari semua klan/suku yang ada di labala hampir semuanya memiliki berkah-keramah entah dalam bentuk benda-benda pusaka peninggalan leluhur lewotanah atau keyakinan adanya kekuatan di luar kasat mata. Berkah-kerama dalam bentuk simbol benda pusaka, biasanya disimpan di rumah adat dan boleh dikeluarkan atau diperlihatkan ketika ada upacara adat seperti trasidisi makan jagung masing-masing kepala suku atau acara tolak-bala.

Sebagaimana lazimnya, berkah-keramah di labala memiliki nama atau julukan yang memiliki makna khusus bagi masing-masing suku. Sebagai contoh, disini saya menyebut beberapa nama berkah-kerama yang dimiliki suku/klan yang ada di labala di antaranya; Nuba laga doni-Wato peni dan Demon gede-Srikati (Suku Labala), Ata jawa gadak (suku Mayeli atulolon), dan Jotena arakian-lima letu naragawa (Suku Mayeli atulangun), serta masih banyak lagi nama berkah-kerama yang dimiliki masing-masing suku di labala.

Meski berkah-kerama merupakan produk tradisi dan budaya orang labala (dan mungkin juga masyarakat lamaholot lainnya), namun dalam perjalanan sejarahnya berkah-keramah mengalami degradasi pemaknaan. Degradasi pemaknaan ini berjalan seiring dengan semakin berkembangnya pengaruh agama islam di labala.

Dengan sendiriya pemaknaan akan makna kata berkah-keramah menjadi lebih netral dimana masyarakat labala kemudian memadukan tradisi dengan agama atau lebih dikenal dengan; adat yang disesuaikan dengan agama, dan agama yang disesuaikan dengan adat dan kearifan lokal . Tujuannya adalah agar antara adat dan agama bisa berjalan berbarengan dan bisa menciptakan harmoni dalam kehidupan masyarakat labala.

Asal kata berkah-keramah

Bila ditelisik lebih dalam, kedua kata (berkah-keramah) tersebut merupakan istilah agama islam yang terambil dari kata "Barakah" dan "Karamah". Barakah yang artinya "Karunia/nikmat Tuhan" dan  Karamah artinya "Martabat /kehormatan/gengsi".

Pemilihan kata dari istilah adat nuba-nara menjadi berkah-kerama untuk orang labala menurut goe adala pemilihan yang sangat kompromistis dan sangat tepat. Mengingat penyebaran agama islam di labala memang di lakukan denga pendekatan persuasif (kekeluargaan) dan damai, bukan dengan cara infasi atau penaklukan. Sebagaimana jamaknya, penyebaran agama dengan pendekatan persuasif dan damai cenderung berusaha mengakomodir (merangkul) kearifan lokal yang  sudah menjadi tradisi yang mapan dan mendarah daging.

Seiring berjalannya waktu, pemaknaan akan makna kata berkah-keramah mengalami transformasi atau bentuk penyempurnaan dalam laku kehidupan orang labala. Orang labala tidak hanya memaknai berkah-kerama sebagai warisan kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestarikan dalam perspektif adat guna menjaga persatuan dan keutuhan sebagai ana-opu ata labala, tapi juga sebagai manifestasi paradigma pikir dalam membangun kehidupan yang lebih beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan sebagai ata watan, nilai-nilai martabat sebagai masyarakat muslim yang religius, juga nilai-nilai gengsi (dalam perspektif positif) sebagai komunitas sebuah Kerajaan Islam solor watan lema di kabupaten lembata.

Nilai-nilai positif dari pemaknaan kata berkah (karunia/anugerah Tuhan), dan  keramah (kehormatan/martabat/gengsi) menjadikan orang labala dikenal sebagai manusia yang berwatak keras dan memiliki ego yang tinggi dalam mempertahankan nama besar lewotanahnya. Bahkan untuk nama besar lewotanahnya, orang labala akan sangat tersinggung harga dirinya bila nama labala dan segenap atribut ke-labala-annya dilecehkan. Bagi mereka, Labala adalah harga diri dan kehormatannya.

Meski tak bisa dipungkiri nilai-nilai  berkah-keramah terkadang dimaknai secara '"over dosis" alias melampaui batas oleh orang labala ,sehingga  terkadang pemaknaan yang melampaui batas ini, kerap menimbulkan pergesekan kepentingan di antara orang labala sendiri. Hal inilah yang membuat orang labala secara internal sulit bersepakat, tidak hanya dalam hal-hal prinsip, tapi merembes pada hal-hal yang menyangkut maslahat umum, baik di bidang kemasyarakatan, politik dan pemerintahan, dan meluber ke bidang-bidang lainnya.

Satu-satunya yang bisa membuat orang labala tetap bersatu hingga kini adalah masih kuatnya pengaruh adat yang dijunjung tinggi, meski berbeda bendera partai, baju politik dan kepentingan sektarian. Dengan adat, sebenarnya orang labala masih mau saling menghargai karena merasa sebagai opu-maki, kaka-ari, naan-bine, dan sebagai ana-opu labala. Oleh karena itu, nilai-nilai luhur berkah-keramah kiranya tetap dilestarikan sepanjang memberi manfaat untuk mengikat dan menyatukan orang labala dalam bingkai kebersamaan sebagai sesama orang labala.(**)
=================

*Tulisan ini adalah persepsi saya sendiri sebagai orang labala