BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Selasa, 30 Juli 2013

Mari Mengumpulkan Serak Sejarah Labala.

Oleh Muhammad Baran*

Salah satu elemen penting dalam melakukan riset sejarah adalah sumber sejarah. Ini bisa dilakukan dengan menganalisis cerita keluarga (sumber lisan). Dengan demikian, bisa membantu memperkirakan asal usul suatu keluarga atau komunitas masyarakat Labala misalnya.

menurut Juniator Tulius (Family Stories) terkadang  cerita kelurga (lisan) dianggap hanya milik satu kelompok kekerbatan tertentu, sedangkan cerita-cerita lisan dianggap milik kelompok masyarakat yang lebih luas dari kelompok kekerabatan. Oleh sebab itu, baik fungsi, isi, model, petunjuk, mau pun khalayak yang empunya cerita lisan, juga memiliki perbedaan versi.

Lewat cerita eksodus lepan-batan masyarakat labala, kisah tentang penduduk asli suku labala, dan cerita tentang asal usul beberapa suku di labala yang berasal dari tanah misalnya, kita bisa merekonstruksi pohon genealogi dan ekspansi beberapa kelompok kekerabatan asal. Kita bisa membahas karateristik dan makna sosio-kultural cerita lisan.

Berdasarkan identifikasi dan interpretasi  terhadap tema-tema utama di atas,  kita bisa menyimpulkan bahwa cerita-cerita keluarga (sumber lisan) dapat dianggap sebagai catatan sejarah (historical accounts) mengenai peristiwa-peristiwa pada masa lampau yang telah menyebabkan terjadinya percabangan awal dalam kelompok kekerabatan asal (ancestors) yang mula-mula menghuni wutun lewonuba (tanjung Leworaja)

Akan ada ditemukan berbagai perbedan versi cerita dalam proses riset. oleh karena itu transkrip rekaman yang digunakan dalam proses riset untuk merekonstruksi jalur migrasi dan penyebaran  kelompok-kelompok kekerabatan asal yang menjadi nenek moyang suku labala dan suku-suku yang eksodus dari lepan-batan.

Dari proses rekonstruksi itu, yang dilengkapi dengan peta dan data, kita bisa menelusuri sejarah asal usul orang labala. maka untuk mendapatkan data valid, dalam melakukan riset, diperlukan kajian lanjutan dengan memfokuskan perhatian pada cerita keluarga yang hidup dalam kelompok-kelompok kekerabatan suku/klan yang ada di labala.

perlu juga di perhatikan, terkadang cerita-cerita keluarga itu digunakan kelompok-kelompok kekerabatan tertentu untuk memperkuat klaim mereka atas kepemilikan tanah ulayat (duli-pali) yang kadang sengaja dipersengketakan. Maka dalam melakukan riset, pengumpulan informasi harus benar-benar dikomparasikan dengan informasi dari kelompok kekerabatan klan/suku lain.

Dari pemaparan singkat di atas, bisa disimpulkan,  cerita-cerita keluarga (sumber lisan ) itu setidaknya memiliki/mengandung  tiga fungsi penting. Pertama, bermanfaat untuk merekonstruksi arah dan sejarah, baik cerita pelarian dari lepan batan maupun eksistensi penduduk asli suku labala yang menjadi tuan tanah dan beberapa suku asli lainnya di Labala sekarang.  Kedua, menjadi sumber penting untuk mengidentifikasi penyebab timbulnya konflik klaim-mengklaim kepemilikan duli-pali (lahan pusaka) atau yang sering diributkan orang labala yaitu, klaim-mengklaim suku apa saja yang sebenarnya menjadi lewotanah alape dan juga bisa menjadi referensi dalam mencari penyelesaian atas klaim-mengklaim kepemilikan duli-pali. Dan ketiga, cerita keluarga (lisan) juga bisa berfungsi sebagai "bank data" bagi masyarakat labala yang kebanyakan masih niil aksara atau masyarakat yang tidak memiliki tradisi tulis menulis yang bisa menjadi rujukan untuk membuktikan kebenaran sejarah dan juga bagi Nuba-sili (generasi muda) labala dalam menelusuri jejak sejarah lewotanah.

Catatan Penting:

Dalam kajian tradisi lisan dikenal ungkapan, teks-teks lisan merupakan sarana tempat segala pengetahuan suatu kelompok masyarakat yang niir aksara  disimpan, diawetkan, dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.

Dalam masyarakat lokal yang  yang hidup dalam  budaya kelisanan seperti masyarakat Labala di masa lalu,  seorang penutur koda-kiri (tukang cerita) dari masing-masing suku berfungsi selayaknya sebuah "perpustakaan"  dalam masyarakat moderen. Oleh karena itu, buat generasi labala yang sudah melek huruf, terutama mereka yang  sudah mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk mengumpulkan serak sejarah dari para penutur.

Sebagai generasi labala, kita harus sadar bahwa isi "perpustakaan-perpustakaan" itu harus secepatnya "difotokopi"  sebelum terbakar (baca: sebelum para penutur koda-kiri atau tukang cerita itu meninggal).

Mungkin hanya ini saja yang bisa goe sumbangkan-sarankan untuk para generasi muda labala yang ingin menyelamatkan sejarah labala sebelum ajal mendahului para penutur koda kiring. Harapan goen, mari kita sama menyingkirkan perasaan merasa paling hebat, merasa suku/klan-nya saja yang paling hebat, dan oleh karena itu merasa paling berhak memonopoli sejarah sehingga tidak sudi atau menganggap sejarah versi suku/klan lain dianggap tidak benar dan tidak valid untuk dijadikan rujukan atau referensi.

Terakhir, semoga niat baik berbagai pihak di Labala untuk mengumpulkan serak sejarah lewotanah dalam sebuah bingkai aksara bisa terwujud sehingga bisa menjadi warisan berharga bagi anak-cucu kita kelak. Amin....(**)

*Saya bukan ahli sejarah. Saya hanyalah pembaca dan penikmat sejarah, dan "sedikit" memiliki kepedulian terhadap sejarah lewotanah Labala. SEKIAN........

Jumat, 26 Juli 2013

BBM Weli Gerewa

BBM Weli Gerewa, Pe Hode Balsem (BLSM) Kae wa?

Oleh Muhammad Baran

Bensin pe welin gerewa kae. Nolo weli ribu paa ratu lema, pi murin pe weli ribu nemu, Rp 6.000. Weli nipe yang resmi di SPBU/Pom Bensin. Sekare rae lewo Labala pe, bensin weli pira? Goe koi hala.

Nolo waktu goe balik libur, bensin rae lewo labala pe weli ribu pulo, Rp 10.000. Berarti rae yang duu bensin pe, gute untung ribu lema ratu lema, Rp5.500. Mungkin pi lero bensin rae lewo, labala pe weli, ribuhe pulo ne lema, Rp 15.000. wah... tou geweli kae mio!

Bensin welin gereka nepi, tula te inak, amak, kaka, ari... tambah susah. Ale-ale weka kae di musti weli gerewa. Hope keniki-wai, kesabo, ike mare, ale lolo... juga tambah susah. Rae yang Pegawe (PNS) pe ne gaji raen noon. Pe te Inak ola rae mee, amak pana lau tahi... mei taro ono mure?

Bensin weli gerewa pe, pemerentah nei BLSM, doi ribuhe teratu puluh lema, Rp 150.000, bantuan langsung sementara. pe inak-amak rae lewo hode kae take?

Kalau Goe pete rae lewo, ba mungkin tite lewo tou hode BLSM gohu hae? Ba rae anggap tite "Gakin", alias "keluarga miskin". Doi tite take, ola mee di hasil nepe hena. Nolo pe, BLSM narane BLT, "bantuan langsung tunai", ribuhe teratu, Rp100.000.... Hode doi BLT/BLSM nepe, balik te hope labu wuu, keniki-wai, te sambo lebare-Idul Fitri tuun pii... Doi langsung wahaka-gohuka mehine.

Pemerenta mei mi, BBM (Bensin) weli gerewa nepe, supaja doi subsidi bisa re tula moli ekan, moli infratsruktur. Buka Lare bele, pelabuhan wuu, tula-moli lapangan terbang untuk pesawat, listrik bisa maso lewo, oto-honda bisa lein lali lewo lodo mue gete... Tapi mio persaja e take? Kalau Goe pe, bai persaja hala diii. Nolo pemerenta di mei nempe: BBM weli gerewa supaja ata belen tula lare wuu teti lewo haka nai, sire lare ne aspal supaja oto-honda pelae pe, ake te golit-kokaje bei.

Goe mau dehe: Pe sekare di labala pe, lare alus kae take?Aspal sampe nega kae? Listrik PLN pe, maso teti Leworaja ne Kaha Tawa kae wa? di Luki-Pantai Harapan pe, wai ledeng lancar-lancar hena take? Gere ojek lali Luki tai teti Leworaja pe pate pira?

Kalau bensin weli gerewa nepi, tite tette honda juga pikir-pikir kia. Doi take pe, tai pile beluwa ge timbe lali om Tomas. Beluwa weli pe, tite pake hope bensin te hore honda. Gere ojek tai Lewoleba ba weli-weli hae? apa lagi kalo ure-engi beleku-beleku, ojek alap bisa leta ongkos weli-weli. 

"Pi murine pe, tite huda ata dike jadi hala. Tite patero ki bee rae nawo tite," goe bereun tou gepa nempe.

Tapi be tite mei taro ono mure? Doi take susa tudak pe, irek te olu-olu hena! Mula beluwa di hasil take, mula ute tanah di welin hala. Mau tai odo-ge lau tahi di, tena-berue tite take. Apalagi sekare pe musi tahi lolo bura-mara, ike di take hena. Tekan tenu di benaken take. Toto sia hena di aluse.. heheheheh.

Kamis, 18 Juli 2013

Suku Puhun, Pemilik Tanah Lewo Koba Sebelum Dibeli Oleh Raja Labala

Do You Know?

Suku Puhun, Pemilik Tanah Lewo Koba Sebelum Dibeli Oleh Raja Labala*


Oleh Muhammad Baran

Pasca terjadinya huru-hara di pusat kerajaan wutun Lewo nuba/ luki wutun (?) (Tanjung Leworaja), Raja Labala bersama ribu-ratunya (masyarakatnya) pindah ke lokasi yang dianggap aman dari penyerbuan orang luar.

Dengan persetujuan beberapa kepala-kepala suku, raja kemudian membeli tanah hasil kongsi (Patungan) dengan beberapa suku untuk membeli tanah dari orang lewo koba. Raja Labala membelinya dari suku Puhun dari lewokoba dengan harga: 1 pasang blo/blao (anting emas), 1 buah soru/ horu  (kampak batu jaman dahulu) dan 1 ekor  witi ina (kambing betina) dalam bahasa orang lewokoba.

Perlu diketahui, hingga saat ini bukti sejarah pembelian tanah berupa 1 pasang blo/blao, 1 buah horu/soru dari Raja Labala masih tersimpan di uma belen (rumah adat) suku puhun. Suku puhun  merupakan pemilik/ tuan tanah atas kawasan wisata alam panas bumi di karu lewopuho.

Selanjutnya, Tana Lawokoba ini kemudian diberi nama Ledo Ona. Ledo merupakan nama sejenis tumbuhan yang kini sudah hampir habis ditebang untuk bangunan rumah. Sekarang pohon ledo masih tersisa di sebelah utara SDN Kartini Labala.

Kampung ledo ona ini di kemudian hari dikenal dengan Labala Ledo Ona. Penamaan "Labala" hingga kini masih menjadi bahan perdebatan dengan asumsi, banyak versi terkait asal kata "Labala" .

Pendapat pertama:

mengatakan, "Labala" itu berasal dari kata "Lebala" singkatan dari Lewo Bala yang terdiri dari dua kata yaitu"Lewo" dan "Bala"  dimana "Lewo" dalam bahasa lamaholot artinya tanah atau kampung atau negeri.

Sedangkan "Bala" juga dalam bahasa lamaholot artinya gading gajah. Pendapat ini berlandaskan pada letak geografis Labala yang berada di tepian Pantai teluk Labala yang elok. Ini bisa dibuktikan ketika kampung labala dilihat dari bukit wolo, maka kampung labala terlihat berbentuk lengkungan indah dengan laut biru serupa gading gajah.

Pendapat kedua:

Mengatakan, "Labala" berasal dari nama suku penduduk asli orang labala yaitu suku Labala/Lebalehe yang berasal dari dua kata yaitu Lama Bala. Kata "Lama/Lamak" dalam bahasa lamaholot artinya suku/klan besar atau Suku belen. Kata "Lama" juga berarti piring/mangkuk/cawan yang biasa digunakan dalam ritual persembahan adat jaman dulu pada altar (nuba-nara). Situs altar (nuba-nara) ini hingga sekarang bisa dilihat di tanjung leworaja (Lewonuba). Orang labala menyebut altar/nuba-nara ini dengan "Nobe Mari" (Terletak dipinggir jalan tanjung leworaja) dan "Nobe Nuba Lagadoni" yang terletak ditengah bekas kampung tanjung leworaja (lewo nuba) yang kini telah ditutupi hutan lebat. Dari Kata "Lama/Lamak" orang labala mengenal istilah "Suku-Lama" atau "gelekat Suku-Lamak".

Sedangkan kata "Bala" berasal dari bahasa lamaholot yaitu gading gajah. Hanya saja kata "Bala" disini diambil dari nama keris pusakan suku Labala/lebalehe yaitu: Lei Jare, Koto Taran Bala (Berkaki kuda, bertanduk gading). Keris pusaka ini hingga kini tersimpan di Lango Berui (Rumah Adat Besar) suku Labala/lebalehe di Senera. Senera merupkan Rumah Adat induk Taran Wanan yang terdiri dari komunitas suku labala dan beberepa kle/klan lainnya seperti, Lamasoak, Lewokro, Lewo lerek, Lebao, Bakiona, Dua mudaj dan Lewo Hajon.

Penamaan Lama Bala (Lamabala) sebenarnya lebih logis bila ditinjau dari perspektif sejara adat istiadat, tradisi dan budaya orang lamaholot. Mengingat ada beberapa kampung yang menggunakan "Lama" didepan nama lokasi/tempat mereka berada seperti; Lama Lera (Desa Lamalera), Lama Kera (Desa Lamakera) di solor, Lama Hala (Desa Lamahala) di adonara dan beberapa kampung yang menggunakan kata "Lama".

Pendapat ketiga:

Mengatakan, "Labala" berasal dari kata "La" dan "Bala" yang berasal dari bahasa arab semenjak agama islam masuk di labala. Kata "La" artinya "Jangan" atau "tidak  sedangkan kata "Bala" berarti "Bencana". Pendapat ini berdasarkan riwayat beberapa kali terjadi bencan yang pernah  menimpa orang labala yang dimulai dari pelarian lepan-batan, terjadinya huru-hara/konflik internal dan serangan orang luar terhadap orang labala ketika Raja Labala dan ribu-ratunya masih berdomisili di lewo nuba (Sekarang tanjung leworaja). Setelah itu, Raja labala dan ribu-ratunya pindah ke tanah lewo koba (sekarang Desa Leworaja). Sesampai di tanah lewo koba, orang labala juga pernah ditimpa benjana yaitu musibah terbakarnya istana Raja labala dan terjadinya Tsunami pada awal tahun 1980-an yang menyebabkan jatuh korban.

Meski demikian, pendapat yang ketiga ini saya anggap terlalu lemah untuk dijadikan dasar karena Penamaan Labala/Lebala sudah ada jauh hari sebelum agama Islam masuk ke labala dibawa oleh pedagang-pedagang dari Lamahala

Demikianlah hingga hari ini nama Labala ini menjadi familiar baik oleh masyarakat yang merasa menjadi orang labala  karena pernah berada di bawah kekuasaan Raja Labala, maupun yang bukan orang labala.
=====================================================

*Komentar tentang keberadaan bukti sejarah pembelian tanah lewo koba ini dari Bapak Yosep Dolet Puhun . Menurutnya barang tersebut ada di rumah adat di suku puhun di lewokoba.

Mengenal Tradisi Sastra Lisan Orang Lamaholot*

Mengenal Tradisi Sastra Lisan Orang Lamaholot*

Tradisi Gaha-gapen (Ore/oreng)**


Banyak kesenian tradisional yang merupakan warisan kebudayaan orang lamaholot. Dari beberapa kesenian tradisional berupa tarian-tarian rakyat, dongeng atau cerita rakyat, nyanyian rakyat dan bentuk-bentuk kesenian tradisional orang lamaholot, salah satunya yang khas adalah nyanyian "Oreng". Oreng merupakan nyanyian naratif masyarakat Lamaholot yang dipertunjukan dengan cara dinyanyikan atau dilagukan oleh seorang solois yang oleh orang Lamaholot disebut Oreng Alape (Penyanyi Oreng).


Biasanya Oreng bisa dinyanyikan dalam tarian saat upacara pesta-pesta adat dan hari-hari besar lainnya. Dalam tarian , Oreng berperan sebagai pemandu tarian tersebut. Cepat atau lambatnya tarian Sole sangat tergantung pada Oreng. Oreng dalam tarian sole sangat dinamis. Mula-mula solois (penyanyi Oreng) menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang, dan makin lama makin cepat. Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang dalam lingkaran tarian menghentakan kaki bersama-sama sambil berteriak siti alang ga-alang ga, sebagai pertanda bahwa tarian sudah berakhir.


Bagi orang lamaholot baik di Kabupaten Flores Timur maupun di Kabupaten Lembata, nyanyian rakyat tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata melaikan juga memiliki fungsi sosio-kultural dalam masyarakatnya. Demikian pula dengan "Oreng". Sebagai salah satu nyanyian rakyat, "Oreng" mengandung ide-ide, gagasan, berbagai pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat lamaholot, juga ajaran moral keagamaan dan unsur-unsur lain yang mendukung nilai-nilai luhur. Hal ini menandakan, "Oreng" sebagai bagian dari warisan budaya perlu dikaji, guna meningkatkan apresiasi masyarakat tehadap tradisi sastra lisan khas orang lamaholot ini. Dengan demikian nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat dihayati dengan baik dan mendalam.


Sebagai warisan budaya, Oreng pada masyarakat Lamaholot terutama di Kabupaten Lembata memiki berbagai versi. Setiap wilayah Kecamatan bahkan Desa memiliki versinya masing-masing. Hal ini disesuaikan dengan pola pikir, tradisi dan tata cara adat istiadat daerahnya. Di Labala misalnya (Leworaja, Mulankere, dan Luki-Pantai Harapan), Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata. Disana, meski kini kurang digemari oleh generasi muda Labala, "Oreng" tetap dipertahankan sebagai sarana hiburan rakyat. Mereka menyadari bahwa "Oreng" adalah warisan leluhur yang harus dipertahankan. Walaupun "Oreng" sudah populer di masyarakat Lamaholot pada umumnya dan di labala khususnya, namun tidak semua orang dapat menguasai dan dapat menyanyikannya. Mereka menyadari, "Oreng" adalah kesenian rakyat, namun tidak semua dari mereka belum mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalammya.


Apa Itu "Oreng"?


Oreng merupakan salah satu nyanyian Lamaholot berbentuk narasi. Dikatakan nyanyian naratif kerena Oreng disini berupa tuturan yang cara penuturannya adalah dengan cara dinyanyikan. Mengenai isinya, Oreng biasanya memuat berbagai kisah atau peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya. Tema dari Oreng pun senantiasa disesuaikan dengan situasi dan suasana hati saat oreng itu dilagukan. Bagi orang Lamaholot di labala, sebagai pemilik nyanyian naratif ini, Oreng merupakan tradisi lisan yang menggambarkan kehidupan berbudaya masyarakatnya yang harus dijunjung tinggi dan dipahami secara khusus.


Nyanyian naratif Oreng biasanya dibawakan atau dinyanyikan oleh seorang solois ( penyanyi tunggal) yang oleh masyarakat Lamaholot di labala biasa disebut dengan Oreng alape/Kenapen alape. Apabila dinyanyikan sebagai pengiring tarian, oreng selalu diawali dengan Sole-oha (salah satu nyanyian bersama yang diselingi dengan pantun berbalasan) ketika gerak tarian itu semakin cepat maka Oreng alape akan mengambil alih. Dengan kemampuan Gaha Gapen/kenapen (kemampuan penyanyi Oreng merangkai kata-kata) sang penyanyi akan mengiringi tarian dengan nyanyiannya yakni Oreng itu sendiri. Isi nyanyiannya pun cenderung lebih panjang karena dalam tarian, Oreng biasanya mengangkat berbagai kisah hidup masyarakat. Hal ini berbeda dengan Oreng yang dilagukan saat Oreng alape sedang sendirian misalnya saat mengiris tuak (tuak lolon) atau saat sedang duduk bersama sambil melepas lelah, isi Oreng hanya mengisahkan satu peristiwa kehidupan seseorang, entah itu kisah hidup Oreng alape itu sendiri atau kisah hidup orang lain yang menyentuh hati sang penyanyi.


Bahasa yang digunakan dalam Oreng bukanlah bahasa yang selalu digunakan masyarakat sehari-hari melainkan bahasa dengan pilihan kata khusus dan mengandung makna kiasan sehingga tidak bisa dipahami secara harafia namun membutuhkan interpretasi dari pendengarnya. Pilihan kata-katanya pun disesuaikan dengan motif saat Oreng dilagukan. Pilihan kata-kata khusus Oreng ini bertujuan untuk mempengaruhi perasaan pendengarnya. Jika Oreng dilagukan saat suasana sedih maka seorang Oreng alape akan menggunakan nua snusa/snuse (kata- kata sedih) yang mampu membuat pendengarnya menangis. Sebaliknya apabila oreng dilagukan saat suasana senang (dalam keramaian pesta), seorang Oreng alape biasanya menggunakan nua senaren/aluse (kata-kata bahagia ) sehingga terkadang membuat pendengarnya tertawa senang. Hal ini berhubungan dengan Oreng sebagai salah satu karya seni yang harus memiliki cita rasa seni tinggi untuk dinikmati dan akan lebih muda dipahami isinya.


Berdasarkan pada pandangan masyarakat, terutama tokoh masyarakat, dan penutur Oreng itu sendiri bahwa, hakikat Oreng tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan akan bentuk, isi, serta arti Oreng. Kajian mengenai hakikat Oreng meliputi tujuan Oreng dilaksanakan, cara belajar Oreng, penutur Oreng dan kriteria seorang penutur.


1. Tujuan Oreng


Nyanyian naratif Oreng merupakan tradisi turun temurun masayarakat Lamaholot termasuk masyarakat di Labala. Nyanyian naratif ini bisa saja dilagukan dengan tanpa dan melibatkan partisipan. Namun tidak seintens dulu, di labala Oreng lebih sering dinyanyikan dalam upacara-upacara adat, pesta dan bentuk-bentuk keramaian lainnya. Dengan kata lain, Oreng di labala lebih sering dinyanyikan dengan melibatkan partisipan. Apabila membutuhkan partisipan, maka oreng ini dinyanyikan oleh Oreng alape dalam sebuah tarian, dimana semua pesertanya mendengarkan nyanyian ini secara hikmat sambil berpegangan tangan dan bergerak melingkar secara teratur yakni dengan derap kaki berirama dan tetap.


Nyanyian naratif Oreng bertujuan untuk mengisahkan berbagai peristiwa kehidupan masyarakat secara keseluruhan atau peristiwa khusus seseorang dimana kisah perseorangan ini tidak terlepas atau masih bersangkut-paut dengan kehidupan sosial masyarakat Lamaholot secara keseluruhan. Selain itu, nyanyian naratif Oreng dilakukan dengan tujuan untuk menghibur dan yang paling penting disini adalah melakukan Oreng berarti mengembangkan seni budaya Lamaholot yang kaya dengan bahasa puitis yang memiliki pengertian dan arti yang luas.


Suatu hal yang yang perlu tegaskan di sini adalah panjang pendeknya kisah dalam nyanyian naratif Oreng sangat tergantung pada penuturnya. Dengan kata lain, bahwa penutur mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek ceritanya sesuai dengan kondisi, waktu, tempat dan situasi penuturnya. Yang penting cerita yang disampaikan oleh Oreng alape senantiasa terikat pada elemen-elemen kesusastraan sesuai dengan poetika Lamaholot.


2. Cara Belajar Oreng


Seorang penutur Oreng haruslah mempunyai bakat khusus sehingga hanya orang-orang tertentu yang mampu unutk menuturkan Oreng. Oleh karena itu, seorang penutur juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang peristiwa yang dituturkannya lewat nyanyian. Selain itu, ia juga memerlukan latihan khusus bagaimana melakukan Gaha Gapen ( kemampuan merangkai kata-kata) dalam nyanyian naratif Oreng.


Setiap penutur memiliki cara tersendiri yakni ada yang langsung belajar pada penyanyi atau penutur terdahulu dan cara berikutnya adalah dengan cara otodidak yakni mendengar dan merekam sendiri kodamakete (kata-kata kunci) dan mempraktekannya sendiri. Cara otodidak ini jarang dilakukan oleh sembarangan orang namun ada juga yang lebih mudah untuk belajar. Cara ini penutur oreng biasanya lebih mudah untuk mengembangkan ceritanya dan bebas dalam merangkai kata-kata dalam tuturannya. Di labala, jumlah orang yang memiliki kualifikasi menjadi oreng alape/ kenapen alape sangat sedikit. Ada diantaranya yang mempunyai nama besar karena terkenal sebagai oreng alape diantaranya, Alm bapak Rubon Laweona, Alm Bapak Hamzah Laweona, dan Alm Bapa Burhan Butu Bakiona. Untuk proses regenerasi selanjutnya, diserahkan kepada anak cucunya masing-masing.


3. Penutur Oreng


Oreng alape adalah penutur yang memiliki bakat khusus atau keahlian dalam menciptakan dan menuturkan Oreng. Penuturan Oreng yang dilakukan semata-mata karena dorongan dan kesadaran untuk mewariskan kesenian asli Lamaholot dan mengembangkan budaya menuturkan Oreng. Pada umumnya, di Labala, oreng alape berusia antara 40-75 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan adanya penutur Oreng yang masih berusia lebih muda berdasarkan kriteria umur di atas. Pada umumnya, Oreng alape ini menyanyikan Oreng karena terdorong oleh keinginan pribadinya untuk menghibur dirinya sendiri, kerabat, dan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, Oreng merupakan salah satu bentuk kesenian budaya Lamaholot, dan juga memiliki nilai kehidupan berbudaya serta nilai-nilai estetik yang terkandung di dalamnya.


4. Kriteria Seorang Penutur


Dalam nyanyian naratif Oreng, seorang penutur Oreng harus betul-betul memahami dan memiliki pengalaman dalam melakukan Gaha Gapen (kemampuan merangkai kata-kata) yang indah untuk dijadikan syair Oreng. Sesuai dengan lingkungan sosial kemasyarakatan, seorang penutur Oreng dituntut untuk betul-betul tahu, memilih kata-kata dan mampu menguasai bahasa Oreng, mempunyai warna vokal dan teknik pernapasan yang baik dan seimbang, haruss tahu apa maksud dan tujuan Oreng dilagukan sebagai penutur tuan rumah dan juga mampu menanggapi apa yang dituturkannya. (**)
=========================================================
*Tulisan ini disari dari berbagai sumber dan dipadukan dengan pengalaman pribadi penulis mengamati tradisi dan budaya orang lamaholot Labala.

Belum Ada Judulnya...

Belum Ada Judulnya...

Kata temanku: Hidup itu jangan melulu dihiasi dengan KECEWA. Karena ketika kita kecewa, seakan-akan kita menilai Tuhan tidak adil memperlakukan kita. Berarti kita meragukan, bahkan enggan mengakui bahwa Tuhan itu Maha-adil kepada hambanya sehingga kita merasa kecewa.

Lalu saya jawab: Itulah dia. Makanya saya tidak berani mengungkapkan kekecewaan kepada hamba-Nya, baik lewat kata-kata, maupun tulisan termasuk menulis di laman media sosial seperti Facebook, Twitter, WeChat, Line, dan sebangsanya, tapi langsung mengungkapkan kepada-Nya.

Jadi, janganlah kita berkeluh kesah hanya karena kita merasa diperlakukan tidak adil, atau dizalimi, atau difitnah dan dihina. Toh mereka yang menzalimi, menghina, juga adalah manusia yang sama seperti kita. Manusia yang tak lepas dari kekurangan. Kita hanya menjadi sempurna sebagai hambanya, ketika kita mampu menerima takdir-Nya dan memaklumi kelemahan sesama.

Selamat menjalankan ibadah Puasa ramadhan.
semoga tite lewotanah ene-opu selalu menjaga persaudaraan, dan saling mendoakan dan memaafkan kehilafan sesama.

Selasa, 02 Juli 2013

KODA-KIRI LEWOTANAH


koda kirin lewotanah.
kaka-ama sera genan ro kae.
lali kian suba pulo ama.
ata lewo nimun tanah alape

sudi tawen sare,
ake maan puhun pade

Lewo tite ake ne toban goyang
tanah tite ake ne data laga

leta dike ampon sare,
ake maan puken geni nani

mela kaka, sare ari.
puput ribu getan ratu.

tula tuen luga balik lewotanah

Lewo Bala Lamarongan


o kaka, o arik

teti doan leworaja,
lali lela luki-pantai harapan
tite ata kaka noon ari

hau te ikit lewo, lewo bala lamarongan
haka te soga tanah, tanah bala matan
peli onek pe tite tou hena

lodo te tula mura, mura gere lewo goen
gere te ago rame, rame lodo tanah moen
mura rame lewotanah labala titen

o kaka, o arik

rema pia dinabe tukan kae
nuan haka node lelaja kae
lewo doan rae ile papa
tanah lela weli woka horon

go kode leta dike ampon sare
minal aidhin wal faizhin

Saatnya Berdiri Tegak dan Setara


Kita mati hanya sekali, tapi ketika kita kalah, artinya kita mati setiap hari.

Ada sejumput tanya yang ingin kuungkap disini. Apa kalian mau mendengar? Ini: sampai kapan kita menjadi bayang-bayang dari kejayaan para rival dan seteru? Sampai kapan kita sekadar sekumpulan manusia yang hanya dilirik ketika musim kampanye politik tiba? Sampai kapan kita hanya mengeluk-elukan kejayaan yang kini telah menjadi lampau. sampai kapan kita mampu memahat prasasti sejarah dan eksistensi Lewotanah Labala menjadi sebuah monumen keabadian di hati dan jiwa masing-masing kita yang merasa memilikinya? Dan masih banyak lagi tanya...

Oh Nubaku...

Sekira inak dan amak kita tak sempat, barangkali kitalah generasi yang ditakdirkan Tuhan untuk berkesempatan memahat prasasti sejarah itu. Barangkali moe dan goe adalah generasi pilihan yang diharapkan ana-opu lewotanah untuk mengembalikan kejayaan yang nyaris tenggelam oleh badai kesombongan egoisme tanpa nalar, juga kepentingan sektarian yang membabi- buta di antara kita.

Wahai Naraku.... 

Saatnya kita berdiri tegak dan setara atau terkubur selamanya dari hingar bingar percaturan kehidupan. Saatnya kita berteriak lantang atau hanya diam dalam sepi dan kemudian menepi menunggu kematian yang sunyi.

Ingat anakku.... 

Pilihan ada di tanganmu, dan beban itu ada dipundakmu. Toh kitalah yang menentukan nasib dan masa depan lewotanah kita sendiri, buka orang lain.

Kita, yah kita: moe, goe, nae, rae, mio. tite weka kae. Tiada sekat-sekat suku, tiada kepongahan keturunan, dan tiada keangkuhan busana partai dan bendera politik. Karena kita hanya punya satu panji yang harus diperjuangkan: LABALA. (**)

RENUNGAN MALAM

(Ketika Bulan Juni pergi, diganti Bulan Juli)

Sudah berapa lama kita hidup ber-lewotanah, dan sudah sejauh mana perjuangan kita untuk Labala? dan sudah berapa kali kita kalah sebagai ata labala? Sekali, dua kali, tiga kali, atau berkali-kali?

Ingat saudaraku: Kematian bukanlah apa-apa, namun hidup dalam kekalahan, sama saja dengan mati setiap hari....

jangan pernah beralasan bahwa "kekalahan adalah kemenangan yang tertunda" Karena ini hanya pembenaran bagi mereka yang bermental pecundang. Pejuang sejati tak mengenal kata "Kalah" dalam perjuangannya meski toh akhirnya dia mati dalam perjuangannya. Dan bagi mereka yang selalu merasa kalah,
mereka telah mati berkali-kali, paling tidak mereka pernah mati...

ah tapi pernahkah kita berjuang? dan kalaupun kita pernah berjuang, kita berjuang atas nama siapa: ribu-ratu lewotanah labala kah? Atau jangan-jangan, atas nama kepentingan pribadi, kesenangan kolega dan nama besar suku, atau kepentingan orang luar.

Jika ini yang terjadi, letakan senjata sekarang juga. dan hentikan perjuangan yang sia-sia ini. Percuma berjuang kalau hanya untuk kepentingan orang lain, dan bukan kepentingan lewotanah. Barangkali kita lebih pantas menjadi penonton untuk menyoraki kejayaan orang lain. Kita lebih pantas menjadi alat. dan ketika alat tak lagi dibutuhkan, kita akan dicampakan begitu saja dan dilupakan dari cerita sejarah peradaban manusia......................

Makassar, 1Juli 2013 Pukul 00.00 Wita
ketika hujan perlahan turun, memantik kerinduan pada lewotanah...