BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Jumat, 21 Juni 2013

Asal Usul Pasar Wulandoni

Asal Usul Pasar Wulandoni*

Oleh Hamba Moehammad


Hingga saat ini belum banyak informasi yang meriwayatkan tentang sejarah asal mula nama Pasar Wulandoni. Nama yang kemudian digunakan untuk nama desa bagi orang nuhalela. Terakhir, nama Wulandoni digunakan untuk nama kecamatan termuda di pantai selatan Kabupaten Lembata-NTT. Kecamatan wulandoni merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Atadei.

Pasar Wulandoni merupakan pasar  tradisional yang masih mempertahankan budaya barter. Menilik dari tradisi dan budaya orang lamaholot, budaya barter merupakan representasi dari pengaruh tradisi pnetan/penete yaitu jual-beli sistem barter yang dilakukan dari satu desa ke desa lain yang masih dipegang teguh masyarakat Kecamatan Atadei dan Kecamatan wulandoni. Sebahagian besar masyarakat di kedua kecamatan ini memiliki sisi historis yang sama karena merupakan bagian dari Kerajaan Labala.

Penyematan nama untuk Pasar Wulandoni hingga kini masih menjadi bahan perdebatkan. Namun bila menilik dari asal kata "Wulandoni" , kata ini memiliki sisi keterkaitan dengan masyarakat Labala yang dahulu kala merupakan sebuah kerajaan. kata "Wulandoni" berasal dari kata "wulan" yang berarti pasar. Sedangkan "doni" berasal dari nama asli nenek moyang orang labala yaitu "Nuba Laga Doni" yang menurut cerita berasal dari kampung "Lewo Nuba" (kampungnya Nuba Laga Doni).

Kampung "Lewo Nuba" merupakan bekas kampung orang Labala yang sekarang berlokasi di Wutun Leworaja (Tanjung Leworaja). Hal ini bisa dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa artefak berupa Nuba-nara (batu/altar)untuk persembahan dan perkakas rumah tangga berupa piring dan guci antik dari sina-jawa. Semua peninggalan ini hingga kini masih ada dan bisa dilihat langsung di lokasi sekitar Wutun Leworaja. Hingga sekarang, Wutun Leworaja tidak lagi dihuni oleh orang labala karena Raja Labala dan ribu-ratunya telah hijrah keTanah Lewokoba (Desa Leworaja sekarang).

Nuba Laga Doni merupakan Lewotanah Alap (penduduk asli) orang Labala sebelum kedatangan Raja Mayeli dan ribu-ratunya dari pelarian lepan-batan. Keturunan Nuba Laga Doni yang sekarang adalah suku Labala yang terdiri dari dua klan besar yaitu Labala Klepaono (Dewa Kaka) dan Labala Klepawoho (Dewa Ari). Klan Labala  Klepaono (Resiona, Kroiona, Duaona, dan Enga Daiona) tersebar di Desa Leworaja dan Luki-Pantai Harapan. Sedangka klan Klepawoho merupakan cikal bakal penduduk asli Mulankera (Atakera).

Sebagai  orang asli, Nuba Laga Doni menjalin hubungan penetan (dagang) dengan daerah-daerah di peisir pantai teluk labala dan kampung kiwan (gunung) seperti orang Lelakwate dan orang Nuhalela. Menurut cerita, orang lelakwate merupakan cikal-bakal orang asli Lamalera yang dulu tinggal di tanjung nuhalela bermata pencaharian sebagaai nelayan. Orang Lelakwate mempunyai suku Lelaona dan Tapoona, suku asli orang Lamalera. Seiring berjalannya waktu, orang lelakwate kemudian  pindah di Kampung Ongolere yang sekarang masuk wilayah desa Lamalera B.

Sementara orang Nuhalela adalah cikal bakal masyarakat yang sekarang tinggal di desa wulandoni. Orang Nuhalela sebelum pindah ke lokasi yang sekarang menjadi desa wulandoni, nenek moyang mereka tinggal di lewoulu, yaitu kampung lama yang terletak di atas Desa Wulandoni sekarang. Mata pencahaarian mereka adalah Tuno Kluba yaitu membakar tembikar dari tanah liat untuk dijadikan periuk tanah dan perkakas rumah tangga yang terbuat dari tanah liat.

Interaksi dagang antara ata watan (pantai) seperti orang labala, lelakwate, nuhalela dan ata kiwan (gunung) masih dilakukan dengan saling mengunjungi. Misalnya, bila orang lelakwate ingin menjual hasil tangkapan ikan maka mereka akan pergi menukarnya dengan hasil pertanian/kebun ke kiwan (gunung) atau kampung-kampung lain di pesisir teluk labala. Begitu juga sebaliknya. Tradisi dagang seperti ini orang labala menyebutnya dengan istilah penete atau orang Lamalera menyebutnya pnetan.

Akan halnya interaksi dagang antar masyarakat saat itu yang saling mengunjungi, maka Nuba Laga Doni juga melakukan tradisi pnetan dengan menjual tuak dan hasil kebun ke orang lelakwate dan orang nuhalela. Dari interaksi ini, maka ketika pergi atau pulang dari pnetan, Nuba Laga Doni memilih beristirahaat di bawah pohon asam yang terletaak dipinggir jalan yang menghubungi lewonuba-lelakwate-nuhalela. Bila persediaan tuak dan hasil kebun belum laku, Nuba Laga Doni membawa pulang jualannya dan beristirahat di bawah pohon asam. Nama tempat persinggahan instirahat Nuba Laga Doni ini, dulu orang labala mengenalnya dengn nama "Doni Uli"  yang artinya tempat peristirahatan Nuba Laga Doni. Lama kelaman tempat persinggahan "Doni Uli" ini kemudian menjadi ramai karena orang Lelakwate-Nuhalela dan orang kiwan ikut singga beristirahat. Tempat tersebut kemudian berubah menjadi wule/wulan (pasar) dan berganti nama dari "Doni Uli" menjadi Wulan Doni yang arti harfiahnya pasar yang terletak dipersinggahannya Nuba Laga Doni  (Doni Uli). Orang labala menyebut tempat ini dengan Wule Doni dan orang Lamalera menyebutnya dengaan Fule Doni yang berarti  Pasar Wulandoni.

Dari interaksi pnetan di Wule Doni atau Fule Doni inilah lama kelaman orang nuhalela yang sebelumnya tinggal di lewoulu (kampung lama) kemudian turun dan menetap di sekitar Wule Doni/Fule Doni sehingga tempat tersebut  dinamai Wulandoni.

Selain itu, untuk mempererat kedekatan dan kekeluargaan diantara masyarakat yang bertemu di wulandoni ini, dulu ada tradisi saling berbagi bila ada acara adat. Misalnya bila orang Lamalera selesai membuat Pledang/Klaba (Perahu) baru, merek biasanya membawa peraahu yang baru dibuat tersebut ke wulandoni untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang lagi pnetan. Biasanya mereka juga membawa aging ikan paus hasil tangkapan untuk dibagikan kepada masyarakat yang sedang pnetan di wulandoni. Begitu juga bila ada hajatan adat orang Labala, biasanya masyarakat labala membawa makanan hajatan ke wulandoni untuk dibagi-bagikan. Sayangnya tradisi ini sekarang sudah hilang.
=============================================================
*Tulisan ini hanya berdasarkan cerita lisan yang saya himpun dari tua-tua adat di *Labala. Mengingat masyarakat lamaholot  umumnya maupun wulandoni khususnya tidak memiliki tradisi tulis menulis sebagai warisan sejarah, mka hasil penuturan ini bisa saja berbeda atau bahkan dianggap salah oleh pihaak lain karena diragukan unsur kebenarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar