BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Rabu, 12 Juni 2013

Sedon Sina, Barek Jawa


Neket Tane, Gae Keretas

Oleh Hamba Moehammad

Hampir semua lagu berbahasa daerah lamaholot (bahasa ibu masyarakat di kabupaten Flores Timur dan Lembata) menggunakan kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat ungkapan atau kalimat perumpamaan. sehingga mereka yang mencoba memahami secara harfiah atau kata perkata, kadang kesulitan memahami pesan yang ingin disampaikan  dalam sebuah lagu. Karena bahasa yang digunakan adalah bahasa lamaholot halus atau bahasa adat (koda-kiri adat) yang tidak lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Selain itu, pesan yang disampaikan dalam lagu juga sangat kental berhubungan dengan kehidupan sosial dan budaya khas  orang lamaholot. sehingga mereka yang kurang memahami adat dan tradisi lamaholot, akan kurang menghayati pesan yang tersirat di dalam syair lagu bahasa lamaholot.

Sebagai contoh, berikut saya sertakan sebuah lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi Wens Kopong. Lagu ini saya lupa judulnya. Inilah petikan syair lagunya:

Puken witi-bala titen take
Turu lodan-aba nabe kurang

Bait pertama lagu ini menjelaskan  tentang tradisi kawin mawin dalam adat orang lamaholot yang disimbolkan dengan jumlah kepemilikan harta berupa witi-bala (kambing-gading)  dan lodan-aba (Emas-perak) sebagai persyaratan melamar seorang kebarek (gadis). Namun dalam bait pertama lagu diatas menjelaskan, pihak laki-laki tidak memiliki harta benda yang menjadi persyaratan itu karena berasal dari kalangan ata keriden (masyarakat bisa).

Kete ko ina, arin sedon sina
kete ko ama, pram barek jawa

Lanjutan bait kedua menjelaskan, karena tak memiliki harta benda sebagai persyaratan belis (maskawin) melamar kebarek (gadis),  maka sang kemamun (laki-laki)  memilih mencari jodoh kebarek (gadis) sina-jawa (cina-jawa) atau perempuan di kota atau di perantauan. Istilah sina-jawa merupakan makna kiasan untuk orang luar yang bukan asli ata lamaholot.

Leron tuen, hari balik
ina mo ake uren tuen
leron tuen, haei balik
ama mo ake oson odun

Pada bait ke tiga ini, kalimat yang digunakan menggunakan bahasa kiasan.  istilah uren tuen dan oson odun menggambarkan kesedihan atau kepasrahan atas nasib yang menimpa anak lelaki yang tak mendapat jodoh kebarek lamaholot. Setiap orang tua ata lama holot sangat menginginkan anak-anaknya kawin dengan sesama orang lamaholot dengan pertimbangan kedekatan dan kekeluargaan. Sayangnya keinginan itu terkadang terbentur oleh aturan adat yang ketat.

Ina, arik sedon sina,
sedon neket tane dinoi hala
ama, pram barek jawa
barek gae keretas dinoi kuran

Lanjutan bait ke empat, karena tak mendapatkan jodoh kebarek ata lamaholot, kemamun (laki-laki) ata keriden ini kemudian mendapat jodoh ata sina-jawa. Meski telah mendapatkan jodoh, namun sang kemamun ini lagi-lagi terbentur masalah adat dan tradisi lamaholot yang menginginkan, laki-laki harus memiliki istri yang paham dengan tradisi dan sebagaimana perempuan lamaholot kebanyakan, istri harus bisa melaksanakan kewajiban sebagai mana tuntutan adat yaitu harus pandai neket tane (menenun) dan gae keretas (titi jagung).

Dari gambaran pemaknaan syair lagu di atas, kita bisa menarik sebuah kesimpulan sederhana, tradisi orang lamaholot di satu sisi ingin mempertahankan tradisi yang kuat, di sisi lain ada kesenjangan dalam penerapan adat antara ata raya (bangsawan) dengan ata keriden (masyarakat). Sistem kasta sosial seakan menjadi jurang pemisa dalam menjalin relasi perkawinan. Hanya mereka yang memiliki status sosial yang sepadan yang boleh mengawinkan anaknya. (**)

1 komentar: