BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Minggu, 18 Mei 2014

Pohe Lau Wate, Gemohin Rae Mare*

koleksi pribadi
Oleh Hamba Moehammad

Prolog

Sebagai orang lamaholot terkhusus orang Labala, ketika mendengar kata “Pohe” dan “Gemohin”, apa yang terlintas di benak kita? Rasanya kita taka asing dengan kedua kata ini. Bagi kita yang dibesarkan di Lewotanah (Kampung Halaman), kedua kata ini sudah lama kita akrabi, bahkan ketika kita masih kanak-kanak dulu.


Di Labala kampung kita, kita memiliki budaya “Pohe berue/Pohe Pukat” (menarik sampan dan memanen ikan di pinggir pantai). Apa lagi ketika musim ikan tiba, tua-muda, besar kecil, laki-laki-perempuan semua kita beramai-ramai berkumpul di pinggir pantai untuk panen ikan bersama.

Saya teringat masa kecil dulu, ketika tiba musim tangkap ikan di labala, ritual pohe pukat merupakan salah satu kegemaran saya. Selepas jam sekolah, tak peduli seragam sekolah yag belum diganti, saya dan kawan-kawan langsung meluncur ke pantai. 


Biasanya acara (saya menyebutnya “acara” karena Pohe pukat memang ritual yang melibatkan banyak orang dan mengasyikkan) kami lakukan hingga menjelang magrib. Tak peduli jadwal belajar sore di sekolah yang terabaikan, juga tak peduli dengan hukuman guru keesokan harinya karena tidak belajar sore. Belum lagi raut wajah “Jou”(Guru Mengaji) yang garang lantaran kami mengabaikan jadwal mengaji malam di mesjid atau di rumah sang Jou.

Untuk momen-momen yang meng-asyikkan seperti pohe pukat ini, biasanya ketika pergi sekolah , saya dan teman-teman sudah menyiapkan peralatan tali pancing, mata kail dan tak lupa lidi dari pohon lontar yang kami sebut “kerage” untuk mengikat ikan kalau ada hasil tangkapan atau ikan pemberian nelayan hasil dari Pohe Pukat. Semua perlengkapan itu kami simpan dalam tas atau kantong kresek yang kami pakai menyimpan buku pelajaran.

Momen lain yang tak kalah mengasyikkan adalah Gemohin. Seperti pohe pukat, ritual gemohin, juga adalah acara kegemaran karena dilakukan beramai-ramai. Bedanya, kalau pohe pukat di lakukan ketika musim panen ikan tiba, sementara ritual gemohin dilakukan ketika musim menanam dan memanen hasil kebun telah tiba.

Bagi kanak-kanak seperti saya tempo itu, sebelum berangkat ke kebun beramai-ramai, selain parang dan tofa untuk mencabut rumput, perlengkapan yang tak boleh alpa dibawa ke kebun adalah bekal makanan. Dan bekal makanan yang harus disiapkan adalah wata kepuna (jagung bulat yang sudah disangrai) yang diisi dengan air dingin dalam botol plastik. Bekal ini sudah cukup karena yang kami butuhkan ketika haus dan lapar, sudah satu paket alias komplit. Dan cita rasanya pun sudah cukup mewakili selera dan lidah kami sebagai anak-anak kampung.

Ritual gemohin yang paling mengasikkan bagi saya adalah ketika petik jagung dan panen kacang tanah. Khusus panen kacang tanah, biasanya kesempatan itu kami kanak-kanak manfaatkan untuk pesta makan kacang tanah sepuasnya, dimasak atau dimakan mentah sampai bosan. Dan biasanya sebelum pulang kami diberi jatah kacang tanah untuk dibawa pulang. Inilah sekelumit pengalaman masa kecil tentang tradisi-budaya Pohe dan Gemohin di Labala kampung kita.

Nilai Luhur, Warisan Leluhur yang Mulai Luntur

Sebagai masyarakat pesisir yang hari-hari berkawan dengan pantai, ombak, ikan, dan segala sesuatu yang berbau laut yang begitu asin. Entah berawal dari mana dan dimulai oleh siapa, ada tradisi luhur hadir dan kemudian memberi corak warna yang khas sebagai orang Labala. Tradisi luhur yang kemudian kita menyebutnya dengan “Pohe” dan “Gemohin”

Secara etimologi (bahasa), kata “Pohe” dalam bahasa Lamaholot Labala berarti: membantu atau menolong, yang bermakna memudahkan orang lain-yang juga adalah sesama kita-dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan besar dan sulit, tanpa pamrih, tanpa mengharap orang yang dibantu atau ditolong itu membalas bantuan atau pertolongan kita. Sebuah kata sarat makna yang kemudian menjadi laku dalam tradisi kita yang teramat luhur.

Sedangkan kata “Gemohin” setali tiga uang memiliki makna yang sebenarnya sama dengan “pohe” yaitu membantu atau menolong secara bergotong royong, namun kata “gemohin” hanya digunakan ketika gotong royong menanam dan memanen di kebun.

Kata dalam bahasa lamaholot sepertinya memiliki kekaayaan kosa kata yang berlimpah. Karena hampir setiap aktifitas memiliki perwakilan kata tersendiri meski memiliki makna yang sebenarnya sama. Seperti kata “Pohe” dan “Gemohin” yang sebenarnya memiliki makna yang sama, yaitu menolong namun tak bisa digunakan dalam setiap aktifitas menolong. Dan sebagai generasi orang Lamaholot, saya memiliki kebanggaan tersediri dalam hal ini.

Saya masih mendapati ketika masih kanak-kanak dulu, Orang labala menjadikan budaya “pohe” dan “gemohin” ini tidak hanya dalam konteks sosial bermasyarakat, namun juga dalam konteks adat dan agama. Sayangnya, kini budaya ini semakin luntur di tengah semakin berkecamuknya pengaruh moderenisasi yang mengalir seperti air bah yang kemudian turut andil mengubah prinsip hidup orang labala.

Percaya atau tidak, suka atau tidak, terima atau tidak, Globalisasi dan moderenitas zaman barangkali paling bertanggung jawab atas berubahnya orientasi hidup orang Labala masa kini yang cenderung materialististik.

Tapi zaman tak bisa disalahkan. Dia tetap harus berubah, tidak bisa tidak. Yang perlu kita lakukan adalah berusaha semampu kita agar kemajuan zaman jangan sampai menenggelamkan kita, termasuk menenggelamkan jati diri kita sebagai orang labala dengan segenap tradisi dan budaya luhur warisan leluhur.

Sudah semakin jamak, kita temukan di labala, budaya pamrih semakin menjangkiti masyarakat. Budaya “pohe” dan “gemohin” perlahan berubah menjadi budaya uang dan proyek. Orang tidak mau bekerja atau berbuat, termasuk untuk kepentingan umum, kalau tidak dibayar dengan uang atau janji mendapat proyek. Belum lagi diperparah oleh semakin berkerumuknya politik kepentingan yang menjadi pemicu retaknya kebersamaan di kalangan masyarakat labala sendiri.

Hanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan adat dan tradisi lokal, budaya “pohe” dan “gemohin” masih kita temukan setitik pengharapan. Ini tak berlebihan, meski kadang ada segelintir generasi muda labala yang menganggap adat dan tradisi local sudah ketinggalan zaman, namun umumnya orang labala memang masih memegang teguh adat dan aneka ritual yang menuntut setiap “ana opu” Labala untuk saling “pohe” dan “gemohin”. Di luar adat, budaya luhur “Pohe” dan “Gemohin” memiliki masa depan yang suram.

Kita barangkali kemudian harus mencari cermin yang lebih bersih untuk berkaca diri, kita mungkin juga harus kembali merenung lebih dalam dan bertanya di kedalaman sanubari kita masing-masing.

Apakah budaya “pohe dan gemohin ini benar-benar tak lagi laku di zaman kita? Apakah budaya luhur yang diwariskan oleh leluhur kita ini sudah tak lagi up to date dengan kehendak dan kemauan zaman? Atau jangan-jangan sebenarnya kita tak cukup teguh dan telaten menjaga dan merawat dengan tulus warisan luhur dari leluhur ini karena menganggapnya barang rongsokan yang sudah saatnya digudangkan.

“Pohe” dan “Gemohin” mewakili adat, tradisi dan budaya keseharian kita. “Pohe” dan “Gemohin” adalah kearifan luhur yang diwariskaan para leluhur. Kita menerimanya sebagai pusaka ketika hidup memaksa kita untuk tak lagi peduli dengan sesama. Kita mewarisinya kepada anak cucu kelak sebagai nilai yang tak lekang oleh beringasnya zaman yang menuntut kita untuk hidup nafsi-nafsi (sendiri-sendiri) dan tak lagi peduli dengan sesama.
-------------------------------------========----------
*Pohe lau wate/watan artinya, membantu/menolong secara bersama-sama di pantai atau aktifitas menolong atau membantu yang berhubungan dengan pekerjaan di laut (nelayan). Sedangkan Gemohin rae mare/mara artinya, membantu atau menolong secara bersama-sama di darat atau aktifitas menolong atau membantu yang berhubungan dengan pekerjaan di darat (bertani). Mungkin sama dengan gotong royong dalam perspektif umumnya orang Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar