BLOG PILIHAN GENERASI LABALA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.

Senin, 07 Oktober 2013

Syair Perang dan Tradisi Memanggil Hujan Orang Labala*

Oleh Muhammad Baran

Ketika nenek moyang Orang Labala hendak berperang dengan musuh, mereka biasanya menyanyikan syair penyemangat. Salah satu syair penyemangat yang sering dilantunkan adalah sebagai berikut:

Ina ama laga doni-watopeni. aho gogo-wawe sigo, nepa lolone ata berekete. Mio molo kame dore. Pilerope , moe menuro mehi, moe goro wore tengene.

Artinya secara harfiah kurang lebih seperti ini:

Ayah-ibu laga doni-wato peni. anjing gogo-babi sigo. Di atas tanah orang-orang pemberani. Kalian (keluar/jalan) lebih dahulu di depan, kami menyusul di belakang. Pilihlah dia (musuh), kau minum darahnya, kau makan dagingnya mentah-mentah.

Perlu diketahui, penyebutan kata-kata dalam syair ini penuh dengan makna simbolik. Bahasa dan kata-kata yang digunakan mencerminkan kepercayaan mereka yang masih animisme dan dinamisme karena belum mengenal agama Islam waktu itu. Hal ini terbukti dengan penyebutan nama-nama batu pusaka/altar persembahan yaitu Nobe lagadoni dan wato peni yang menyimbolkan kekuatan (kukuh). Begitu juga dengan penyebutan nama binatang yang dalam ajaran Islam sangat diharamkan seperti anjing dan babi  yaitu  aho gogo, wawe sigo sebagai perlambang/simbol keberanian orang Labala tempo doeloe.

Ritual Memanggil Hujan

Selain itu,  bila musim kemarau berkepanjangan, masyarakat Labala memiliki tradisi ritual  unik memanggil hujan. Orang labala menyebutnya doko ala. Untuk mengadakan ritual ini, kepala suku beserta beberapa tua-tua adat mendatangi tanjung Leworaja dengan membawa air dan buah kelapa muda untuk disiram di atas tanah sekitar Tanjung Leworaja.

Dalam melakukan ritual ini, kepala suku dan tetua adat  mengucapkan syair untuk memanggil hujan. Adapun syair yang mereka lantunkan adalah sebagai berikut:

Uran lama rongan, uran tuun lore kame. Wai kasa liko, wanga liko kame.  Tapo lama jua bala tolok, tolok tunggaro tunggaro. Wai rusa rongan, renu rewaro-rewaro.

Artinya secara harfiah kurang lebih seperti ini:

Hujan lama rongan, hujan turun basahi kami. Air kasa liko, kuat melindungi kami. Kelapa Lama jua diminum, diminum sampai puas. Air rusa rongan, diminum sampai habis.

Rangkaian syair untuk memanggil hujan ini, penuh dengan makna simbolik. Syair ini berisi pengharapan akan datangnya hujan. Untuk memenuhi harapan mereka, orang labala memanggil hujan di langit dengan menggunakan istilah uran lama rongan dan
 memanggil air dari tanah dengan menggunakan istilah wai kasa liko.

Kedua istilah uran lama rongan dan wai kasa liko  merupakan aplikasi dari keyakinan orang dulu yang mengimani ina-ama lera wulan tanah ekan. Uran merupakan representasi penguasa langit (ama lera wulan) dan wai merupakan representasi bumi (ina tanah ekan). Selain itu, ada juga ungkapan berikutnya yang digunakan dalam syair memanggil hujan di atas yaitu tapo lama jua  dan wai rusa rongan.  Tapo lama jua atau kelapa merupakan representasi dari tanaman/makanan yang dimakan untuk menghilangkan lapar dan wai rusa rongan atau air yang merupakan representasi dari minuman yang diminum untuk melenyapkan dahaga.

Untuk penggunaan istilah Lama rongan dan lama jua  merupakan istilah orang labala jaman dahulu. Apakah istilah lama rongan ada kaitannya dengan suku Lamarongan yang merupakan suku kerabat Raja Labala yang dalam syair Solor watan lema disebut dengan lala labota bala lamarongan? Sampai saat ini saya belum mendapatkan informasi yang akurat, tapi kemungkinan besar ada kaitannya. Begitu juga dengan istilah lama jua, kata jua/jue  ini juga merupakan nama asli dari salah seorang nenek moyang dari suku lamarongan yaitu Jue Jeman. Sedangkan kata lama merupakan makna dari suku yang juga melambangkan suku besar. Nama Suku Labala yang merupakan suku asli orang Labala adalah Lama Bala  yang menggunakan kata Lama di depan yang melambangkan suku besar.

Ritual memanggil hujan oleh orang Labala hingga kini masih dilakukan. Ritual ini biasanya sering dilakukan pada bulan Januari jika terjadi kemarau berkepanjangan di Labala. (**)
================================================================
*Tulisan ini berdasarkan penuturan tua-tua adat suku labala. Untuk kebenaran yang lebih valid, silahkan melakukan riset kembali untuk dibandingkan dengan tuisan ini. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar