Ake
Susah Kuran
Oleh Muhammad Baran
Sudah menjadi tradisi, perempuan
lamaholot rela atau terpaksa harus menerima kehadiran orang ketiga, keempat,
kelima atau keberapapun dalam biduk rumah tangganya. Perempuan lamaholot
umumnya legawa, menerima apa adanya bila memiliki beduen (madu).
Biasanya, bila punya beduen, istri
pertama memiliki kewenangan lebih besar dalam urusan rumah tangga dan keluarga.
Kewenangan yang dimaksud adalah lebih berhak
menentukan pembagian nafkah suami atau pembagian warisan. Umumnya istri
pertama memiliki bagian lebih banyak, meski terkadang suami cenderung pilih
kasih. Peran penentu dalam pembagian jatah dengan madunya ini terjadi secara
otomatis tanpa klaim atau keberatan dari para istri muda sang suami. Karena
otoritasnya ini, orang labala menyebut istri pertama dengan istilah kewae
nolohe (peremuan pertama suami).
Mereka para perempuan lamaholot ini akan
menjalani kehidupan dengan penuh ketabahan dan kesetiaan yang tiada tara. Meski
sekali lagi, setelah berumah tangga,
cenderung dipandang sebelah mata, dan diperlakukan secara tidak adil oleh
suaminya.
Kita bisa menjumpai realitas ini pada
kehidupan nyata perempuan lamaholot. Jarang atau amat sangat sedikit kita
temukan dalam kehidupan rumah tangga, para perempuan lamaholot berselingkuh.
Bahkan meski ditinggal pergi sang suami merantau sampai puluhan tahun lamanya.
Para perempuan tangguh ini tak sedikit pun tertarik untuk kawin lagi atau
menerima lamaran laki-laki lain yang
ingin mengawininya.
Bila ada istri yang selingkuh atau
bertindak amoral selama kepergian suami merantau, itu dianggap musibah atau
kutukan. Ada nalan atau hal-hal buruk atau aib atau dosa masa lalu yang pernah
dilakukan keluarga perempuan sebelumnya sehingga menuai karma. Karma ini bisa terjadi kepada
siapa saja, baik laki-laki atau perempuan dengan jenis karma atau musibah yang
berbeda.
Di sini, orang lamaholot menganggap
balasan atau karma atas nalan (dosa) sangat kuat. Karma ini bahkan diyakini
bisa menurun kepada anak cucu kelak bila yang berdosa tidak segera melakukan
ritual tobat dengan melakukan semacam
pengakuan dosa. Untuk itu dalam perjalanan kehidupannya, orang lamaholot sangat
menghindari suatu pantangan atau dosa atau pamali, apa lagi pamali yang
berkaitan dengan adat.
Saya pribadi, sebagai generasi muda
lamaholot, merasa bersyukur karena masih mendapati kehidupan adat yang keras
ini ketika masih kecil dulu. Saya masih mendapati dan menyaksikan batapa
inak-inak ata labala di kampong saya yang ditinggal pergi sang suami merantau.
Bekerja seorang diri di kebun seorang diri pergi penetan alias berdagang dengan
sistem barter dari satu kampong ke kampong lain. Ini dilakukan hanya untuk
menghidupi anak-anaknya yang masih kecil.
Hal yang paling saya kenang ketika masa
kecil dahulu, bila tiba musim mula wata (menanam) dan musim belo wata
(memenen), para inak-inak tangguh ini punya ritual gemohin (gotong royong)
menanam atau memanen apa-wata (hasil kebun).
Tradisi gemohin menemukan momentumnya
yang pas bagi para perempuan malang ini. Kegiatan ini selanjutnya dijadikan
ajang untuk saling curhat dan saling menguatkan dan berbagi kepada sesame.
Mereka merasa memiliki nasib dan garis
hidup yang nyaris persis. Perlahan, dengan tradisi gemohin ini, perlahan mereka
bisa melupakan kemalangan, pahit getirnya kehidupan karena ditinggal pergi
suami merantau dan entah kapan akan pulang ke labala.
Ketangguhan dan kesetiaan perempuan
lamaholot ini mencapai puncak pembuktian ketika mereka para parempuan mendengar
kabar, sang suami telah beristri lagi di tanah rantau. Namun
mereka tetap setia pada asangannya. Sembari menunggu sang suami pulang dengan istri barunya
itu, seorang perempuan lamaholot ini
berusaha untuk terus merawat dan mencari nafkah menghidupi nak-anaknya. Sungguh
saya tak sanggup membayangkan ada kehidupan yang seperti ini yang dialami para
inak-inak di kampong saya.
Dari kenyataan ini, bagi saya sebagai
generasi lamaholot, kehidupan perempuan lamaholot adalah kehidupan yang
mengagumkan. Dari sinilah nilai-nilai ketabahan, kesetiaan, dan kejujuran khas perempuan lamaholot
diwariskan kepada nuba-sili (putra-putri). Generasi yang akan akan melanjutkan
perjuangan hidup yang tidak mudah ini. (**)
Mantap Sekali Kanda,....Kanda kalo bisa Template bloognya di perbaiki krn ada tulisan yang kurang Jelas akibat template yang tidak selaras dengan warna tulisan
BalasHapusIya nanti goe perbaiki....
BalasHapus