Kiden
Ina Mehak Rae Lango
Oleh Muhammad Baran
Ama oh ama..
bera balik ia
lewo.
Jadi kame ata
buto,
ama pana balik
hala.
Keban rae lewo
weran,
ina mata peken
goe rua.
|
Ada hal yang tak lazim di sini. Suami
yang jauh merantau, kadang bertahun tak pernah mengirim kabar berita maka
biasanya kami anak-anak labala yang malang ini sering menanyakan kabar
amak-amak kami bila ada orang sekampung kami yang pulang dari sabah-malaysia.
Istri mana yang sanggup menanggung
derita lahir-batin lantaran bertahun-tahun tanpa kabar dari sang suami? Anak
mana yang tak sedih bila melihat teman sepermainannya bisa bermain atau
digendong oleh amaknya yang baru pulang dari rantau?
Airmata kesedihan bagi inak-inak yang
dicampakan kelake (suami) dan anak-anak labala yang ditinggal pergi amak,
seperti sudah menjadi karib. Inak-inak kami seperti kewae kiden (janda) yang
ditinggal mati suami dan kami
anak-anaknya seperti kenukan (yatim). Padahal kami masih punya amak yang masih
hidup, tapi entah dimana sekarang.
Hulen ata
nekin-wanan,
geka basa rema
leron.
Pi terado pita
gere,
gaha gape weli
wato pukan
|
Meski alas an kepergian kelake (suami)
adalah untuk mencari nafkah, namun para kewai (istri) dan anak-anak malang ini
menghidupi dirinya dengan bekerja keras di lewotanah (kampong halaman).
Sementara harapan nafkah yang dinanti dari perantauan tak kunjung tiba. Satu
tahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya
terus menanti.
Di kampong saya, labala, dengan alas an
merantau, ada suami yang tega meninggalkan istri dan anak-anaknya hingga 30-an
tahun. Bahkan ada yang sampai beristri-beranak lagi di perantauan. Ada juga
bahkan sampai tua dan meninggal di perantauan.
Saya tak sanggup mengukur kadar
kesetiaan para inak-inak kami di kampong yang meskipun dikhianati suaminya, tetap tabah menjalani hidup, dan
sabarmembesarkan anak-anaknya seorang diri. Bukan main. Bahkan mereka tak
sedikitpun tergoda untuk menerima lamaran
laki-laki lain yang berniat memadunya.
Umumnya saat pergi merantau, anak yang
ditinggal pergi sang bapak masih sangat kecil, bahkan belum bisa mengenakan
celananya sendiri. Rata-rata anak di labala ditinggal amaknya pergi merantau
berusia 5-7 tahun. Usia yang masih sangat belia. Anak-anak ini semestinya
masih berhak mendapatkan kasih saying
dan pengayoman dari amaknya selaku kepala keluarga.
Saya sendiri termasuk salah satu anak
labala yang malang itu. Saat ditinggal pergi amak, saya baru berumur enam tahun. Saat itu saya
belum duduk di bangku sekolah. Amak saya
baru pulang dari merantau saat saya sudah melanjutkan kuliah di perguruan
tinggi. Bukan main penantian ini.
(**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar