Mengenal Tradisi Sastra Lisan Orang Lamaholot*
Tradisi Gaha-gapen (Ore/oreng)**
Banyak kesenian tradisional yang merupakan warisan kebudayaan orang
lamaholot. Dari beberapa kesenian tradisional berupa tarian-tarian
rakyat, dongeng atau cerita rakyat, nyanyian rakyat dan bentuk-bentuk
kesenian tradisional orang lamaholot, salah satunya yang khas adalah
nyanyian "Oreng". Oreng merupakan nyanyian naratif masyarakat Lamaholot
yang dipertunjukan dengan cara dinyanyikan atau dilagukan oleh seorang
solois yang oleh orang Lamaholot disebut Oreng Alape (Penyanyi Oreng).
Biasanya Oreng bisa dinyanyikan dalam tarian saat upacara pesta-pesta
adat dan hari-hari besar lainnya. Dalam tarian , Oreng berperan sebagai
pemandu tarian tersebut. Cepat atau lambatnya tarian Sole sangat
tergantung pada Oreng. Oreng dalam tarian sole sangat dinamis. Mula-mula
solois (penyanyi Oreng) menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang,
dan makin lama makin cepat. Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang
dalam lingkaran tarian menghentakan kaki bersama-sama sambil berteriak
siti alang ga-alang ga, sebagai pertanda bahwa tarian sudah berakhir.
Bagi orang lamaholot baik di Kabupaten Flores Timur maupun di Kabupaten
Lembata, nyanyian rakyat tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata
melaikan juga memiliki fungsi sosio-kultural dalam masyarakatnya.
Demikian pula dengan "Oreng". Sebagai salah satu nyanyian rakyat,
"Oreng" mengandung ide-ide, gagasan, berbagai pengetahuan tentang alam
semesta menurut persepsi budaya masyarakat lamaholot, juga ajaran moral
keagamaan dan unsur-unsur lain yang mendukung nilai-nilai luhur. Hal
ini menandakan, "Oreng" sebagai bagian dari warisan budaya perlu
dikaji, guna meningkatkan apresiasi masyarakat tehadap tradisi sastra
lisan khas orang lamaholot ini. Dengan demikian nilai-nilai yang
terkandung didalamnya dapat dihayati dengan baik dan mendalam.
Sebagai warisan budaya, Oreng pada masyarakat Lamaholot terutama di
Kabupaten Lembata memiki berbagai versi. Setiap wilayah Kecamatan bahkan
Desa memiliki versinya masing-masing. Hal ini disesuaikan dengan pola
pikir, tradisi dan tata cara adat istiadat daerahnya. Di Labala misalnya
(Leworaja, Mulankere, dan Luki-Pantai Harapan), Kecamatan Wulandoni
Kabupaten Lembata. Disana, meski kini kurang digemari oleh generasi muda
Labala, "Oreng" tetap dipertahankan sebagai sarana hiburan rakyat.
Mereka menyadari bahwa "Oreng" adalah warisan leluhur yang harus
dipertahankan. Walaupun "Oreng" sudah populer di masyarakat Lamaholot
pada umumnya dan di labala khususnya, namun tidak semua orang dapat
menguasai dan dapat menyanyikannya. Mereka menyadari, "Oreng" adalah
kesenian rakyat, namun tidak semua dari mereka belum mengetahui
nilai-nilai yang terkandung di dalammya.
Apa Itu "Oreng"?
Oreng merupakan salah satu nyanyian Lamaholot berbentuk narasi.
Dikatakan nyanyian naratif kerena Oreng disini berupa tuturan yang cara
penuturannya adalah dengan cara dinyanyikan. Mengenai isinya, Oreng
biasanya memuat berbagai kisah atau peristiwa dalam kehidupan
masyarakatnya. Tema dari Oreng pun senantiasa disesuaikan dengan situasi
dan suasana hati saat oreng itu dilagukan. Bagi orang Lamaholot di
labala, sebagai pemilik nyanyian naratif ini, Oreng merupakan tradisi
lisan yang menggambarkan kehidupan berbudaya masyarakatnya yang harus
dijunjung tinggi dan dipahami secara khusus.
Nyanyian naratif
Oreng biasanya dibawakan atau dinyanyikan oleh seorang solois ( penyanyi
tunggal) yang oleh masyarakat Lamaholot di labala biasa disebut dengan
Oreng alape/Kenapen alape. Apabila dinyanyikan sebagai pengiring tarian,
oreng selalu diawali dengan Sole-oha (salah satu nyanyian bersama yang
diselingi dengan pantun berbalasan) ketika gerak tarian itu semakin
cepat maka Oreng alape akan mengambil alih. Dengan kemampuan Gaha
Gapen/kenapen (kemampuan penyanyi Oreng merangkai kata-kata) sang
penyanyi akan mengiringi tarian dengan nyanyiannya yakni Oreng itu
sendiri. Isi nyanyiannya pun cenderung lebih panjang karena dalam
tarian, Oreng biasanya mengangkat berbagai kisah hidup masyarakat. Hal
ini berbeda dengan Oreng yang dilagukan saat Oreng alape sedang
sendirian misalnya saat mengiris tuak (tuak lolon) atau saat sedang
duduk bersama sambil melepas lelah, isi Oreng hanya mengisahkan satu
peristiwa kehidupan seseorang, entah itu kisah hidup Oreng alape itu
sendiri atau kisah hidup orang lain yang menyentuh hati sang penyanyi.
Bahasa yang digunakan dalam Oreng bukanlah bahasa yang selalu digunakan
masyarakat sehari-hari melainkan bahasa dengan pilihan kata khusus dan
mengandung makna kiasan sehingga tidak bisa dipahami secara harafia
namun membutuhkan interpretasi dari pendengarnya. Pilihan kata-katanya
pun disesuaikan dengan motif saat Oreng dilagukan. Pilihan kata-kata
khusus Oreng ini bertujuan untuk mempengaruhi perasaan pendengarnya.
Jika Oreng dilagukan saat suasana sedih maka seorang Oreng alape akan
menggunakan nua snusa/snuse (kata- kata sedih) yang mampu membuat
pendengarnya menangis. Sebaliknya apabila oreng dilagukan saat suasana
senang (dalam keramaian pesta), seorang Oreng alape biasanya menggunakan
nua senaren/aluse (kata-kata bahagia ) sehingga terkadang membuat
pendengarnya tertawa senang. Hal ini berhubungan dengan Oreng sebagai
salah satu karya seni yang harus memiliki cita rasa seni tinggi untuk
dinikmati dan akan lebih muda dipahami isinya.
Berdasarkan pada
pandangan masyarakat, terutama tokoh masyarakat, dan penutur Oreng itu
sendiri bahwa, hakikat Oreng tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan
akan bentuk, isi, serta arti Oreng. Kajian mengenai hakikat Oreng
meliputi tujuan Oreng dilaksanakan, cara belajar Oreng, penutur Oreng
dan kriteria seorang penutur.
1. Tujuan Oreng
Nyanyian
naratif Oreng merupakan tradisi turun temurun masayarakat Lamaholot
termasuk masyarakat di Labala. Nyanyian naratif ini bisa saja dilagukan
dengan tanpa dan melibatkan partisipan. Namun tidak seintens dulu, di
labala Oreng lebih sering dinyanyikan dalam upacara-upacara adat, pesta
dan bentuk-bentuk keramaian lainnya. Dengan kata lain, Oreng di labala
lebih sering dinyanyikan dengan melibatkan partisipan. Apabila
membutuhkan partisipan, maka oreng ini dinyanyikan oleh Oreng alape
dalam sebuah tarian, dimana semua pesertanya mendengarkan nyanyian ini
secara hikmat sambil berpegangan tangan dan bergerak melingkar secara
teratur yakni dengan derap kaki berirama dan tetap.
Nyanyian
naratif Oreng bertujuan untuk mengisahkan berbagai peristiwa kehidupan
masyarakat secara keseluruhan atau peristiwa khusus seseorang dimana
kisah perseorangan ini tidak terlepas atau masih bersangkut-paut dengan
kehidupan sosial masyarakat Lamaholot secara keseluruhan. Selain itu,
nyanyian naratif Oreng dilakukan dengan tujuan untuk menghibur dan yang
paling penting disini adalah melakukan Oreng berarti mengembangkan seni
budaya Lamaholot yang kaya dengan bahasa puitis yang memiliki pengertian
dan arti yang luas.
Suatu hal yang yang perlu tegaskan di sini
adalah panjang pendeknya kisah dalam nyanyian naratif Oreng sangat
tergantung pada penuturnya. Dengan kata lain, bahwa penutur mempunyai
hak untuk memperpanjang atau memperpendek ceritanya sesuai dengan
kondisi, waktu, tempat dan situasi penuturnya. Yang penting cerita yang
disampaikan oleh Oreng alape senantiasa terikat pada elemen-elemen
kesusastraan sesuai dengan poetika Lamaholot.
2. Cara Belajar Oreng
Seorang penutur Oreng haruslah mempunyai bakat khusus sehingga hanya
orang-orang tertentu yang mampu unutk menuturkan Oreng. Oleh karena
itu, seorang penutur juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang
peristiwa yang dituturkannya lewat nyanyian. Selain itu, ia juga
memerlukan latihan khusus bagaimana melakukan Gaha Gapen ( kemampuan
merangkai kata-kata) dalam nyanyian naratif Oreng.
Setiap
penutur memiliki cara tersendiri yakni ada yang langsung belajar pada
penyanyi atau penutur terdahulu dan cara berikutnya adalah dengan cara
otodidak yakni mendengar dan merekam sendiri kodamakete (kata-kata
kunci) dan mempraktekannya sendiri. Cara otodidak ini jarang dilakukan
oleh sembarangan orang namun ada juga yang lebih mudah untuk belajar.
Cara ini penutur oreng biasanya lebih mudah untuk mengembangkan
ceritanya dan bebas dalam merangkai kata-kata dalam tuturannya. Di
labala, jumlah orang yang memiliki kualifikasi menjadi oreng alape/
kenapen alape sangat sedikit. Ada diantaranya yang mempunyai nama besar
karena terkenal sebagai oreng alape diantaranya, Alm bapak Rubon
Laweona, Alm Bapak Hamzah Laweona, dan Alm Bapa Burhan Butu Bakiona.
Untuk proses regenerasi selanjutnya, diserahkan kepada anak cucunya
masing-masing.
3. Penutur Oreng
Oreng alape
adalah penutur yang memiliki bakat khusus atau keahlian dalam
menciptakan dan menuturkan Oreng. Penuturan Oreng yang dilakukan
semata-mata karena dorongan dan kesadaran untuk mewariskan kesenian asli
Lamaholot dan mengembangkan budaya menuturkan Oreng. Pada umumnya, di
Labala, oreng alape berusia antara 40-75 tahun. Namun tidak menutup
kemungkinan adanya penutur Oreng yang masih berusia lebih muda
berdasarkan kriteria umur di atas. Pada umumnya, Oreng alape ini
menyanyikan Oreng karena terdorong oleh keinginan pribadinya untuk
menghibur dirinya sendiri, kerabat, dan masyarakat secara keseluruhan.
Selain itu, Oreng merupakan salah satu bentuk kesenian budaya Lamaholot,
dan juga memiliki nilai kehidupan berbudaya serta nilai-nilai estetik
yang terkandung di dalamnya.
4. Kriteria Seorang Penutur
Dalam nyanyian naratif Oreng, seorang penutur Oreng harus betul-betul
memahami dan memiliki pengalaman dalam melakukan Gaha Gapen (kemampuan
merangkai kata-kata) yang indah untuk dijadikan syair Oreng. Sesuai
dengan lingkungan sosial kemasyarakatan, seorang penutur Oreng dituntut
untuk betul-betul tahu, memilih kata-kata dan mampu menguasai bahasa
Oreng, mempunyai warna vokal dan teknik pernapasan yang baik dan
seimbang, haruss tahu apa maksud dan tujuan Oreng dilagukan sebagai
penutur tuan rumah dan juga mampu menanggapi apa yang dituturkannya.
(**)
=========================================================
*Tulisan ini disari dari berbagai sumber dan dipadukan dengan pengalaman
pribadi penulis mengamati tradisi dan budaya orang lamaholot Labala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar