Kiden Kala Ina Wae
Oleh Muhammad Baran
Seperti perempuan lamaholot pada
umumnya, watak atau karakter perempuan labala ditempa oleh aturan adat liat. Sebagaimana umumnya
tradisi kehidupan di Indonesia, bahkan di dunia, dalam budaya lamaholot,
perempuan hanyalah pelengkap laki-laki
dalam struktur keluarga dan masyarakat.
Meski pengaruh agama dan teknologi telah
masuk dalam kehidupan orang labala, tak serta merta menggeser struktur budaya
turun-temurun yang cenderung memarginalkan peran perempuan. Struktur kekeluargaan orang lamaholot
adalah patrilinear dimana garis keturunan mengikut pada suku atau klan laki-laki/suami. Denga serta
merta, bila orang lamaholot ingin
menyematkan nama anak keturunannya baik laki-laki maupun perempuan menyertakan
tambahan nama suku di belakang nama anak.
Perempuan dalam tradisi lamaholot adalah
mereka yang ditakdirkan untuk menjadi warga kelas dua di bawah baying-bayang
laki-laki. Terkadang bila seorang perempuan yang sudah bersuami tak ubahnya
adalah seorang jongos. Bahkan menjadi tawanan keluarga suami dengan alasan, perempuan perempuan sudah
dibeli/dibayar dengan belis (maskawin) berupa bala (gading gajah). Orang lamaholot mengenal
istilah welin witi-bala.
Tidak heran bila umumnya masyarakat
lamaholot, termasuk di labala, seorang
laki-laki sah-sah saja memiliki istri
lebih dari satu. Apalagi yang berlatar belakang golongan ata raya (bangsawan).
Di sini orang lamaholot mengenal kapitan pulo-pegawe lema untuk mereka yang
berasal dari keturunan raja atau bangsawan. Mereka ini biasanya memiliki istri lebih dari satu. Bahkan bila sang suami ingin beristri lagi,
praktis tak perlu meminta restu sang
istri.
Tapi persoalan memiliki istri lebih dari
satu bukan hanya monopoli keluarga yang berlatar belakang bangsawan saja. Laki-laki yang berlatar belakang dari
golongan masyarakat ata keriden atau orang biasa sekalipun bisa memiliki istri lebih dari satu.
Ini karena tidak ada aturan adat baku yang melarang. Bahkan laki-laki yang
memiliki istri lebih dari satu dianggap wajar-wajar saja. Yang tidak wajar,
bila terjadi sebaliknya.
Setelah seoranng perempuan lamaholot
berumah tangga, keyakinan dan kepatuhan yang teguh terhadap aturan adat,
membuat mereka dituntut untuk berbakti
kepada sang suami. Karena sebagaimana keyakinan yang lazim, bila ada istri yang tak patuh kepada suami
hal yang menyalahi adat.
Namun sebagaimana yang telah saya
singgung sebelumnya, sekeras apapun
sebuah sistem kehidupan yang terkesan tidak proporsional dan cenderung tak
adil, namun ada nilai positif dari
tradisi yang ketat itu. Termasuk tradisi
orang lamaholot yang terkesan mengungkung
eksistensi perempuan, namun justru perlahan tapi pasti kungkungan ini
kemudian justru membentuk karakter khas,
watak alamiah perempuan lamaholot. Umunya perempuan lamaholot berkarakter kuat, bermental baja, dan berwatak tahan banting.
Para perempuan tangguh ini lebih mengutamakan keutuhan rumah tangganya,
terutama rumah tangga yang telah dikaruniai anak, ketimbang meminta cerai kepada suami yang
memperlakukannya tidak sebagai mana mestinya.
Lagi pula tak ada istilah perceraian
dalam kamus adat orang lamaholot. Yang ada hanya istilah peke wekiha. Artinya,
kedua suami-istri saling mencampakan atau saling meninggalkan dalam pengertian
tidak terputus sepenuhnya.. lebih tepatnya hubungan mereka masih menggantung
sehingga kapan saja masing-masing pihak
bisa rujuk. Suami-istri dikatakan putus hubungan bila sang istri telah
diperistri laki-laki lain. Tapi hal seperti ini jarang sekali terjadi dalam
adat dan budaya orang lamaholot.
Sementara itu, biasanya perempuan lamaholot yang di tinggal mati oleh
suaminya, boleh dikawini oleh saudara sang suami. Namun lagi-lagi, ini jarang
terjadi karena perempuan lamaholot umumnya lebih memilih menjadi kiden
(menjanda) sepeninggal sang suami. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar