Hanya orang Amnesia (gila) yang lupa dengan masa lalunya....
Labala, tanah goen. Turu remma kodr turen koi moe.
Labala, Goe Hungen Baat Teti Kotek.
BLOG PILIHAN GENERASI LABALA
SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.
Jumat, 14 Juni 2013
Ina, Moe Onem Ake Kuran
Ina, Moe Onem Ake Kuran
ibu beri aku cinta mu
biar tak penuh utuh
sebelum senja menuju
tetap kusetia menunggu
ibu, mungkin baktiku tak penuh utuh
sebelum maut merenggut
beri aku restumu
ibu, kini kutahu
bahwa di setiap doamu
namaku kau sebut selalu
Ibu,masa
kecil masih kukenang selalu. Kau menuntun tangan kecilku, mengajariku
berjalan dan berlari di pantai, juga di jalanan kampung kita, Labala.
Aku
teringat suatu hari kau memarahiku. Ketika menjelang magrib, aku masih
asyik bermain bersama teman di Pantai Wailolon. Kebetulan sore itu laut
lagi surut dan pantai berpasir. Banyak anak-anak kampung yang asyik
bermain. Anak-anak yang remaja asyik bermain bola. Sedangkan saya dan
teman-teman yang masih kecil bermain londos (berselancar) dengan
menggunakan keleppa tapo (pelepa kelapa yang sudah dipotong bagian atas
untuk kau-atap rumah).
Sebagai
ibu yang baik, kau mencariku ke mana-mana, bertanya kepada keluarga dan
tetangga di sebelah rumah. "Ina-ama, mio moi ana goen hala?," tanyamu
kepada setiap tetangga yang kau temui. kau mencariku keliling kampung
Luki-Pantai Harapan.
Hingga
akhirnya kau mendapatiku lagi asyik bermain londos bersama teman di
Pantai Wailolon yang indah itu. Kau memanggil dan menggendongku pulang
ke rumah. Dalam perjalanan pulang, dari kejauhan suara azan berkumandang
dari mesjid as-Shamad Luki (sekarang sudah diganti namanya menjadi
al-Hijrah, dekat kantor desa yang baru di bangun itu)
"Ana
goen, puken aku rema pi bauk kae pe mo peten balik lango dihala?,”
demikian suara lembutmu mengingatkan kelalaianku. Ah waktu itu aku masih
kecil Ibu, masih kelas II SD Inpres Luki, sehinggakata-katamu tak kuhiraukan.Sesampainya di rumah, kau mengganti pakaianku yang basah dan mengeringkan badanku dengan nowing (sarung tenun daerah).
“Ana
goen, moe amam pe nai doan, lau Sabah. He goe mehak hena jadi gerie
mio. Mai irem pe, pete seru lampu hoto lango,” demikian kudengar
kata-katamu begitu lirih, begitu lembut. Di antara cahaya temaran lampu
pelita malam itu, kulihat matamu berair. Satu-satu bulir airmatamu jatuh
ke tanah.
Ibu,
waktu itu aku masih kecil. Tak tahu pedih-perih hati seorang wanita
yang ditinggal pergi suami. Seorang diri mengurus dan membesarkan
anak-anaknya. Seorang diri ibu. Tanpa suami yang lama pergi jauh
merantau tanpa kabar dan berita.
Ibu,
masih banyak kenakalan masa kecilku yang kerap membuatmu menangis.
Bahkan kau pernah bersitegang dengan salah seorang warga kampung yang
marah-marah karena kenakalanku. Masih ingatkah ibu? Karena ulahku,
pernah ada warga kampung yang datang ke rumah dan marah-marah lantaran
saya dan teman-teman serampangan saja menebang au (bambu) di kebunnya.
Kata warga kampung itu, au puke yang susah payah ditanam di kebunnya, di
pinggir wai belehe, kutebang ramai-ramai bersama teman.
Waktu
itu aku juga masih kecil ibu, kelas IV SD. Di satu sore, sebagaimana
kebiasaan anak-anak kebanyakan di Labala, saya mengajak teman-teman di
kampung untuk pergi mencari wuru witi (pakan ternak) di kebae. Karena
waktu itu nue lerrehe (kemarau) , tak ada daun hijau yang kami dapati
untuk wuru witi. Tiba-tiba ada seorang teman yang mendapati serumpun
bambu yang hijau di pinggir wai belehe. Rumpun bambu itu pun kami tebang
ramai-ramai. Daunnya kami bagi sama rata untuk wuru witi, batangnya
juga kami bagi untuk dibawa pulang.
Betapa
nakalku waktu itu ibu. Tapi kau tak memarahiku. Malah kau mati-matian
membelaku di hadapan warga kampung yang marah-marah itu. Bukan berarti
kau merestuiku melakukan perbuatan tercela itu. Sama sekali bukan.
Semua pembelaan itu kau lakukan karena menurutmu, aku masih kecil dan
belum tahu apa-apa.
“Maaf
ama, ana goen pe masih kre-kre wa. Nae watik sama noi alus ne daten wa.
Ana goen balik be go kode tena naoso,” demikian kata-kata pembelaanmu
untukku di hadapan warga kampung itu. Aku yang melihat warga kampung itu
datang marah-marah, hanya bisa bersembunyi di balik pohon pisang yang
gelap di samping rumah.
“Ana
goen e, puken aku ge mo pana mai ata duli-pali ? Duli titen take,pali
titen kuran, ara goe bai huda mo mai tebajak hala,” ujarmu kepadaku
setelah tetangga itu pergi. Aku hanya bisa menangis, sejenak menyesali
kenakalanku.
Ah…
kasih sayangmu Ibu begitu tulus. Untukku, buah hatimu. Tapi apa yang
bisa kubalas? Hanya airmata. Maafkanlah anakmu ini. maafkanlah.
Satu
pesanmu yang tak pernah kulupakan hingga kini ibu, “Ana, mo pana doan
pe jaga leim-limam. Ake ne lekkot, ake ne bolaka.” Pesan ini yang selalu
terngiang, ti go kette kaan pana laran, ti go pehen kaan gawe ewan. Lau
sina, lali jawa.
Terima kasih ibu, terima kasih atas segala pengorbanan untukku. Budi moen go balas kewan hala, jasa moe go pate bisa hala. (**)
(pengalaman masa kecil dulu… nun di kamponge… Labala-Luki Pantai Harapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar