Dari Gereun Sampai Ikan-Ayam
sebagai orang lamaholot kita memiliki kebanggaan tersendiri dengan memiliki banyak perbendaharaan istilah bahasa daerah yang diwariskan nenek moyang. baik yang menyangkut pranata adat dan budaya, kehidupan sosial, kehidupan politik, ekonomi, hingga kehidupan muda-mudi (ata murin).
tak bisa dipungkiri, perkembangan zaman turut menggerus pemakaian istilah kata dalam bahasa lamaholot sebagai bahasa pengantar percakapan sehari-hari. maka dalam praktiknya, banyak istilah bahasa lamaholot tak lagi dipakai sehingga kepopulerannya kalah oleh istilah bahasa melayu gaul.
namun demikian, kita patut bersyukur, dalam percakapan adat (koda-kiri) istilah bahasa lamaholot masih tetap dilestarikan keasliannya oleh tetua adat (dewan adat) masing-masing suku, termasuk segelintir generasi muda yang masih memiliki kepedulian untuk melestarikan kekayaan tradisi yang berharga ini. disini kita masih optimis, bahasa lamaholot masih memiliki napas panjang untuk menunjukan eksistensinya. tapi entah sampai kapan.
pada kesempatan ini, izinkan saya mengambil beberapa contoh istilah bahasa lamaholot yang hilang dari penuturan sehari-hari lantaran diganti dengan bahasa melayu gaul yang lebih dipopulerkan generasi muda penutur bahasa lamaholot hari ini. Tentu masih banyak kosa kata bahasa lamaholot yang telah terlupakan karena tak lagi digunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari.
di kampung saya, Labala misalnya, kini banyak anak muda (bahkan orangtua) lebih suka menggunakan istilah "Ikan-Ayam" untuk menggantikan istilah "Gereun". Saya sendiri tak tahu persis sejak kapan istilah "ikan-ayam" mulai diperkenalkan sehingga menjadi populer sekarang. Masa saya kecil dulu, istilah ini tak pernah ada. Bahkan tak pernah terpikirkan bakal populer suatu saat nanti. Namun setelah mudik ke Labala tahun 2005 lalu, saya baru terkejut dengan penggunaan istilah "ikan-ayam" ini.
seingat saya, masa saya kecil dulu, kata yang pas untuk menyaatakan, perempuan atau laki-laki yaang boleh dijadikaan suami atau istri menurut adat adalah "gereun". malahan, untuk lebih memperkuat status "gereun", orang Labala menambahkan kata "nimun" sehingga menjadi "gereun nimun".
Istilah kata "nimun" bersinonim kata dengan "puke" atau pokok yang bermakna, kandung atau lebih dekat, atau lebih sah, atau lebih pas atau lebih layak sesuai aturan hukum adat. Misalnya ada istilah kata, "Binek Nimun", "inak Nimun", dan termasuk "gereun Nimun".
istilah "gereun nimun"digunaan seorang laki-laki dari suku/klan ana makin kepada anak perempuan dari keluarga atau saudara laki-laki ibu (opu lake/opu alap/nana). begitu juga sebaliknya digunakan seorang perempuan kepada laki-laki dari keluarga saudari perempuan bapak (ana makin)
istilah "gereun" merupakan istilah bahasa lamaholot asli yang nyaris hilang dari peredaran dengan hadirnya istilah "ikan-ayam". Masih banyak lagi istilah bahasa lamaholot asli yang kalah pamor di jagat penuturan mulut orang-orang lamaholot termasuk di labala. kalah bersaing dengan bahasa melayu gaul yang semakin mendominasi pasar percakapan dikalangan muda-mudi (ata murin).
contoh lain yang bisa saya kemukakan disini, sebagai masyarakat yang berdomisili di pesisir pantai, dimana setiap harinya bergaul dengan gaduh suara ombak laut, orang labala rupanya mulai kehilangan identitas berbahasa lamaholot yang berhubungan dengan laut dan kehidupan melaut. Sekadar contoh; istilah bahasa lamaholot untuk perahu penjaring ikan adalah "tena". makanya, kalau ada ritual membuat perahu, orang Labala mengenal istilah "Tula Tena". sedangkan untuk perahu yang lebih kecil seukuran sekoci yang biasa digunakan untuk memancing,orang Labala mengenal istilah "berue" atau dalam bahasa melayu nagi dikenal dengan sebutan "Bero". Makanya dulu orang labala punya tradisi khas menarik perahu nelayan yang pulang memancing, dengan menggunakan istilah, "pohe berue".
namun sayang, istilah "tena" dan "tula tena" nyaris punah karena tak lagi digunakan dalam bahasa percakapan. orang labala lebih suka menggunakan istilah "persei' atau "bodi" untuk perahu ukuran besar menjaring ikan. saya sendiri juga tak tahu dari mana muasal kata "persei' dan "bodi" untuk perahu nelayan yang dijadikan bahasa tutur di kampung yang terkenal dengan pantai teluk labala nan indah ini. Tapi yang jelasnya, istilah "perseii' dan "bodi' adalah istilah yang sama sekali baru, dan bukan istilah bahasa lamaholot asli. begitu juga dengan istilah kata "berue" dan "pohe berue" diganti dengan 'sampe/sampan" dan "tubo sampe' atau "tarik sampan"
masih banyak lagi istilah bahasa lamaholot yang terancam punah lantaran para penuturnya lebih bangga menggunakan istilah bahasa asing. Padahal, sadar atau tidak, istilah bahasa asing justruh menjauhkan masyarakat lamaholot dari konteks adat dan budaya luhur yang sarat dengan pesan moral. pesan moral inilah yang menjadi falsafah atau pegangan yang mengatur harmoni ikatan kehidupan kepada sesama, alam, dan Tuhan.
Setahu saya, setiap aktiftas kebahasaan orang lamaholot memiliki pertalian erat dengan tradisi yang menjadi manifestasi dari ajaran luhur untuk menjaga keseimbangan hidup. Nilai-nilai luhur ini diajarkan secara turun temurun dengan berbahasa atau lebih dikenal dengan tradisi lisan (tutu koda-marin kirin).
maka ketika masyarakat menjauh dari kearifan tradisi luhur dan tergerus pengaruh asing, maka masyarakat justru semakin kehilangan identitas diri. Mereka pun terasing dari tradisinya sendiri. Perlahan tradisi ritual "tula tena" menjadi hilang lantaran masyaarakat lebih senang membeli perahu "persei" atau "bodi' yang sudah jadi, tanpa perlu membuat sendiri.
begitu juga dengan tradisi 'pohe berue" perlahan ditinggalkan karena masyarakat cendreung hidup nafsi-nafsi. Mereka tak lagi saling "pohe" (membantu) karena mengukur sesuatu sudah menggunakan kriterian uang atau takaran materi. Bukan saling "pohe' sebagaimana nilai yang diajarkan tradisi luhur orang lamaholot. Prinsip mereka, saya mau membantu anda, tapi anda mampu membayar saya berapa?
Sekarang, umumnya masyarakat lamaholot, terkhusus masyarakat labala terlalu silau dengan kemajuan dan pengaruh asing, sehingga kearifan berbahasa yang sarat dengan pesan luhur para leluhur, dianggap sudah ketinggalan zaman. atau kalau boleh meminjam kata-kata gaul anak muda sekarang, adat dan budaya lamaholot katanya, sudah tak lagi up to date. kasihan bukan? (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar