Labala, Apa Kabarmu? **
Apakah kita saling merindu? Entahlah! Meski kadang menyiksa, kerinduan
itu pasti ada. Tapi seberapa besar kadarnya, aku tak tahu. Lebih
tepatnya tak tahu mengukur kadar kerinduan itu. Toh bagiku, rindu adalah
semacam alamat rumah untuk berkirim surat cinta.
Aku meninggalkanmu beserta segenap kenangan masa kanak-kanakku yang indah. Meninggalkan tanjung leworaja-mu dengan debur
ombak yang tak pernah berhenti, nyanyian burung camar yang tak ingin
berlalu, juga ingatan masa kanakku yang tak hendak pergi.
Labala, adakah kau rasakan rindu yang bermekaran seperti bunga jambu
mente yang lagi musim di situ? Adakah riang dihatimu seperti dulu saat
bersama di musim panen jagung dan kacang tanah? Oya, sekarang harga
jambu mente dan kacang tanah sekilo berapa? Cukupkah untuk beli bensin
buat amak-amak kami pergi melaut kalau malam hari? Cukupkah untuk ongkos
naik ojek inak-inak kami untuk pergi jual ikan keliling?
Labala, Kita berpisah sudah begitu lama bukan? Kuharap, meski rentang
waktu yang cukup lama sejak kita pisah, semoga kau tak lekas
melupakanku, sebagaimana aku yang juga enggan untuk melupakan. Bagaimana
mungkin aku bisa melupakanmu? Sebahagian besar masa kanak-kanakku
kuhabiskan dengan menjelajahi jengkal demi jengkal Pantai Lukiono-mu,
menyelami hasta demi hasta Laut Sawumu, menelusuri langkah demi langkah
Bukit Wolo, padang sabana Lewo Lolon dan pohon-pohon kelapamu. Bagiku
melupakan berarti menyingkirkan. Dari hati, juga ingatan. Dan aku tak
hendak melupakan, apa lagi menyingkirkan. Sungguh…
Labala, kuharap kau masih seperti dulu…
Masihkah kau secantik dan seanggun dulu? Atau jangan-jangan barangkali
banyak hal yang sudah membuatmu berubah? Jika iya, betapa sedihnya aku.
Tak bisa lagi kunikmati pantaimu yang landai, lautmu yang jernih, juga
aneka warna-warni terumbu karanngmu, ikan-ikanmu yang berseliwerang,
juga keramahtamahan masyarakatmu yang memagang teguh adat dan budaya ata
Lamaholot..
Aku dengar selentingan kabar angin; listrik PLN
sudah masuk, jalanan pun sudah diaspal, signal handphoe pun sudah bisa
dijangkau. Bahkan akses internet pun sudah bisa. Ah aku bayangkan nulu
moe geha kae (kau memang benar-benar sudah berubah). Dulu kampung kecil,
kini sudah menjadi kota kecil. Dan sebagai anak kampung, paling tidak
ada kemajuan yang bisa kubanggakan darimu di hadapan teman-teman
kuliahku di kota yang sombong itu.
Ada sedikit kebanggaan
memang mendengar kabar kemajuanmu, namun sekaligus terselip rasa
was-was. Jangan-jangan Labala yang sekarang, sama sekali berbeda dengan
Labala yang kukenal masa kecilku dulu. Masa kecilku dulu, Labala yang
kukenal dengan segenap keramahan adat dan budaya lamaholotnya. Dulu,
Labala kukenal sebagai Tanah watan nen gelara, tanah timu te pelate.
Tanah orang-orang yang diberkati, kampung orang-orang pemberani.
Labala yang kukenal masa kanak adalah lewotanah (tanah air) yang
menjunjung tinggi budaya pohe (menolong) dan gemohin (gotong royong)
sebagai warisan luhur para leluhur. Aku mengenalmu sebagai kampung di
mana masyarkatnya yang bermukim di pesisir selatan Kabupaten Lembata,
yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai berkah-keramah
(kehormatan dan harga diri), juga sebagai Ata Watan (Muslim Pesisir)
yang taat dan fanatik.
Labala yang kukenal tempo itu, meski
musim kemaraunya lebih panjang dari pada musim hujan, bahkan kerap
nyaris gagal panen karena hujan yang lama tak kunjung turun, tapi
nuba-nara-nya (putra-putrinya) tak pernah semaput karena kehausan, dan
mati karena kelaparan. Makanan selalu ada meski tak harus secukupnya,
air selalu ada meski tak selalu memuaskan.
Orang-orang
sederhana ini hidup dengan keyakinan teguh, Tuan Lera wulan – Alap Tanah
ekan , yaitu Sang Pemilik langit dan bumi mate mete noi, tilu mete
denga, Maha melihat dan maha mendengar. Dia tak akan pernah
mencampakkan, apa lagi meninggalkan orang-orang bersahaja ini. Ah dulu,
siapa yang tak kenal dengan orang-orang ini? Tapi kini, masih adakah
yang mengenal orang-orang ini?
Labala, lela onek sama sudi…
Bersabarlah dan tunggu aku pulang. Jangan tidak. Dan kenang-kenanglah
aku yang pernah begitu mengakrabimu. Kenang-kenanglah kami ana-opu-mu di
tanah rantau ini. Kame nuba murin-nara baran, mai doan seba ilmu, balik
ola gelekat lewotanah suku ekan.
Makassar, Agustus 2014
Ana opu-mu
Ttd
Hamba Moehammad
---------------------------
**Dari Kumpulan Cerpenku “Surat Rindu Untuk Lewotanah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar