(Sebuah
Cerpen untuk Amak)
Oleh Ata
Labala
Labala,
Lewotanah Watan Lolon...
Sunyi.
Pada sebuah persimpangan jalan. Di siang hari yang terik, entah di mana itu.
Dari kejauhan kulihat sesosok lelaki tua yang berjalan mendekat. Rambutnya
telah beruban, hampir seluruhnya. Ekspresinya dingin saja, nyaris tanpa senyum.
Aku berusaha mengenalinya. Semakin dekat, dan semakin dekat. Ah aku
mengenalinya, sangat mengenali sosok itu.
“Amak, hendak
ke mana?” aku berusaha menyapa. Tapi yang kusapa tak membalasku, dan hanya
berlalu seakan tak melihatku. Atau barangkali tak lagi mengenaliku.
“Amak...
Amak...!” Aku berusaha memanggilnya.
Setengah berteriak. Namun yang kupanggil, tak juga menoleh. Dia terus saja
berlalu. Semakin jauh dan akhirnya sosok itu hilang dari pandanganku.
Dan
tiba-tiba aku terbangun. Dikejutkan oleh suara dering telepon selulerku.
Sejenak kulihat nama si penelepon. Rupanya itu panggilan telepon dari Abangku.
Meski masih diliputi perasaan tak karuan karena mimpi yang kualami barusan,
kusambut saja panggilan telepon itu.
“Adik
suda dapat kabar?” Abangku langsung bertanya ketika kusambut teleponnya. Kabar
apa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sepertinya ada hal penting dan genting yang
hendak diberitakannya.
“Kabar
apa, Abang?” Aku malah balik bertanya. Masih dalam kebingungan. Biasanya bila
Abangku menelepon, yang pertama ditanyakannya adalah kabarku, perkembangan
kuliahku dan hal-hal lain tentangku.
“Amak
telah tiada. Amak telah meninggal dunia.” Aku semakin kebingungan. Tak tahu
hendak berkata apa setelah mendengar kabar dari Abangku ini. Selanjutnya aku
hanya diam. Abangku di seberang telepon pun hanya diam setelah memberi kabar
duka itu.
Ah kabar
duka dari rantau....
Amak,
ayahku. Lelaki yang menjadi penyebab aku terlahir ke dunia ini. Sosok yang
selama ini nyaris hilang dari kehidupan kami anak-anaknya. Lama merantau di
tanah orang. Tak banyak. Hanya sedikit saja kenanganku bersamanya.
*** ***
Kau
masih ingat, Ama? Waktu itu Hari Minggu. Sudah hampir sebulan kuhabiskan masa
libur di kampung. Lepas subuh, sebagaimana kebiasaan Orang Labala, bagi yang
punya sampan atau perahu, mereka pergi melaut. Sedangkan mereka yang tak
melaut, lebih memilih pergi ke kebun. Dan kau, Ama, sudah ke kebun sejak pagi.
"Amakmu
sudah ke kebun sejak pagi, Nak." Kata Inak ketika kutanyakan keberadaanmu
pagi itu.
Matahari
sudah tinggi. Pohon-pohon kelapa yang berjejer di sekitar rumah sampai ke
pinggir pantai yang rindang melambai diterpa angin Laut Sawu. Aku memutuskan
untuk menyusulmu ke kebun. Kebun itu terletak di pinggir pantai berpasir putih,
tepatnya di Pantai Tanjung Leworaja. Aku memilih menyusulmu dengan berjalan
kaki menelusuri tepian Pantai Teluk Labala nan elok itu.
Tanpa
membawa bekal dan peralatan sebagaimana layaknya orang kampung yang hendak
pergi berkebun. Dari pantai Wailolon yang bermata air itu, kemudian ke Pantai Wolor
yang berombak dan berakhir di Pantai Lukiono yang berpasir biru keungu-unguan
dan Tanjung Leworaja yang bersejarah dan penuh misteri itu.
Ketika
hendak memasuki daerah Tanjung Leworaja, aku berbelok mengambil jalur pintas di
sebelah kiri tepian pantai Lukiono, berjalan mengikuti jalan setapak yang
membelah pepohonan bakau dan pohon pandan liar yang rindang di pinggir pantai.
Terus menaiki jalan sempit di antara himpitan batu karang di tengah jejeran
pohon lamantoro dan lebatnya pohon-pohon asam yang rindang di Lewo Nubalolon.
Jalan
setapak itu merupakan jalan pintas untuk sampai ke jalan poros Labala yang berliku
dekat Nobe Nuba Lagadoni. Jalan poros Labala ini baru setahun lalu diaspal. Jalan
utama ini biasa dilalui oleh Orang Labala yang berkendaraan atau yang masih
punya kebiasaan jalan kaki untuk pergi ke kebun masing-masing. Jalan ini
merupakan jalur poros lintas selatan Lembata yang menjadi penghubung
kampung-kampung di pesisir mulai dari Loang-Ibukota Kecamatan Nagawutung,
Lamalera, Luki-Pantai Harapan, Mulankera, Leworaja sampai ke Kampung Kahatawa ujung
timur Kecamatan Wulandoni.
Sesampai
di jalan poros yang sedikit menurun, sampailah aku di kebun itu. Kebun yang
sejak masa kanak-kanak dulu, sering kudatangi. Menemani inak bercocok tanam
jagung dan kacang tanah bila tiba musim hujan. Letaknya di pinggiran Pantai Pasir
Putih Watotena-Tanjung Leworaja.
Ketika
masih kecil dulu, bila malas menemani inak menyiangi rumput di kebun itu, biasanya
aku lebih memilih pergi ke pantai untuk mandi di air laut yang bening, bakar
ubi kayu untuk dimakan sendiri atau sekadar tidur-tiduran di bawah pohon asam
yang rindang. Dan bila menjelang sore, inak pergi ke pantai memanggilku untuk
pulang ke rumah.
Dari
kejauhan, kulihat Bukit Pukaono, Laut Sawu yang biru, Tanjung Atadei yang
bergelorah, dan tentu saja Teluk Labala nan elok dengan pantai pasir putih Watotena
yang membentang, juga hamparan batang pohon jagung dengan daun yang menguning.
Lamat-lamat
kudengar bunyi tebasan dari kejauhan, di tengah kebun jagung yang siap panen,
di siang itu. Kutelusuri bagian tepi kebun jagung itu, mencari celah melewati
rimbunan pohon jagung yang ukuran lebih tinggi dari tinggi badanku sendiri. Ketika
memasuki kebun, aku merasa seperti berada di tengah hutan jagung. Aku kemudian berjalan mengikuti
arah suara tebasan yang terdengar tadi. Akhirnya tiba juga aku di sebuah dangau
di tengah-tengah kebun jagung.
Sejenak
kulemparkan pandangan ke sekitar kebun. Berada di tengah kebun itu, sejenak
mengingatkanku akan masa kanak dulu. Berusaha mengingat kenangan masa lalu
bersama inak di kebun itu ketika musim menanam atau musim panen tiba. Deru
ombak itu, pohon asam yang dulu juga masih tegak berdiri di sana, juga pohon
pandan liar yang tumbuh di pinggir pantai pasir putih dekat kebun. Aku merasa
seperti kembali ke masa lalu, masa kanak-kanak dulu.
Mendengar
bunyi langkah yang kian mendekat, sejenak kau berhenti. Memandang sekitar untuk
memastikan siapa yang datang. Setelah memastikan kalau akulah yang datang, kau
segerah melangkah mendekat dan menyuruhku untuk duduk saja, berteduh di dekat
dangau.
“Duduk
saja di situ, Nak. Nanti kalau sudah habis yang ini, kita makan.” Kau berkata.
Hanya itu. Kemudian kau kembali dengan pekerjaanmu, menebas batang jagung yang
sudah tua dan mematahkan tongkolnya. Dan aku hanya menuruti apa katamu.
Di
sekitar dangau, kulihat beberapa gunungan tongkol jagung yang belum
dibersihkan. Biasanya gunungan tongkol jagung yang sudah terkumpul, kemudian
dibersihkan dengan memotong-motong bagian pangkal kulit dan rambut-rambut pada
ujung tongkol buah jagung. Tongkol buah jagung yang bagus tak dikupas kulitnya
agar tahan lama bila disimpan untuk persediaan pangan dan benih untuk ditanam
kembali bila tiba musim hujan tahun berikutnya.
Aku
kemudian melangkah masuk ke dalam dangau. Sejenak melihat keliling. Kutemukan
sebuah parang kecil yang tersampir pada atap dangau bagian dalam. Dengan parang
di tangan, aku berjalan keluar menuju gunungan jagung yang belum dibersihkan.
Sebenarnya pekerjaan membersihkan tongkol jagung ini tak sukar, namun mungkin
soal kebiasaan saja. Mulanya kewalahan memotong dan membersihkan
tongkol-tongkol jagung itu, namun beberapa saat kemudian aku jadi sedikit terampil.
“Sudahlah
nak, kita istirahat dulu. Habis makan baru dilanjutkan lagi.” Kudengar suaramu
yang sedikit mengejutkanku.
“Iya
Ama. Sedikit lagi ini.” Aku membalasmu. Dan kulihat kau berjalan perlahan
menuju dangau itu. Dan aku masih kembali melanjutkan memotong dan membersihkan
tongkol jagung.
Beberapa
saat kemudian kau datang dengan bekal. Ada nasi jagung, sayur kuah santan daun
ketela, ikan tongkol yang telah dipanggang, juga sambal dari campuran ulekkan
cabe rawit dicampur garam dan perasan jeruk nipis. Menu sederhana yang
disiapkan oleh inak tadi pagi. Melihatmu telah mempersiapkan menu makan siang,
aku pun menghentikan kerja memotong dan mebersihkan tongkol jagung.
Angin
laut teluk labala berhembus sepoi-sepoi siang itu. Dari kejauhan suara burung
camar laut bersahutan. Di bawah pohon jambu mente yang rindang itu, kita
berdua, ayah dan anak menikmati menu makan siang alakadarnya. Tiba-tiba saja,
Aku merasakan ada luapan kasih sayang, kerinduan, dan cinta yang selama ini tertunda
dan tak cukup kunikmati sejak kecil. Yah kebersamaan dan kemesraan bersamamu,
Amak. Dan siang itu aku berusaha menikmatinya bersamamu di kebun jagung dekat
pantai pasir putih watotena Tanjung Leworaja itu.
*** ***
Kau
masih ingat, Ama? Sore itu, ketika matahari sudah mulai tergelincir, di Labala Luki-Pantai
harapan, kampung kita. Tepatnya di rumah yang sederhana itu. Di bawah naungan
pohon-pohon kelapa. Tapo Ono, Wai Lolon...
Rambutmu
yang beruban. Hampir semuanya. Peluh masih mengalir di dahi tuamu. Sebagaimana
kebiasaanmu, kau baru pulang dari kebun sore itu.
"Anak
baru datang?" Kau menyapaku. Suaramu pelan. Singkat saja.
"Iya,
ama." Aku menjawabmu. Juga sama. Singkat saja.
Mungkin
benar kata orang, bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sebagai anakmu, aku
mewarisi watakmu yang pendiam. Tak suka banyak cakap dan basa basi. Bahkan di
waktu bersamamu, sore itu.
Melihatku
yang duduk sendiri di teras depan rumah, peralatan kebun di pundak, Kau
letakkan begitu saja diatas bale-bale bambu di samping rumah. Segera Kau
menemuiku dan duduk di sampingku. Sebungus kretek yag sudah kuhisap sebatang
masih tergeletak di atas meja.
"Jagung
di kebun belum selesai dipetik semua, Ama?" Saya memulai lagi percakapan
dengan bertanya. Sebenarnya hanya sekadar memecah kesunyian. Lagi pula, memang
waktu itu lagi musim panen jagung di Labala, kampung kita.
"Belum.
Nanti besok baru dilanjutkan lagi." Kau menjawabku sembari mengambil
sebatang kretek.
Di dapur,
terdengar inak sedang sibuk menyiapkan minum. Minum sore kalau aku sedang
berkunjung ke rumah. Dan kini kita berdua kembali diam. Sibuk dengan pikiran
masing masing.
Beberapa
saat kemudian, inak datang membawa dua buah gelas berisi kopi dan teh panas, juga
sepiring penuh jagung titi, kemudian disajikannya di atas meja plastik. Kata
inak, Amak lebih suka minum teh dari pada kopi. Untuk yang satu ini, selera
kita berdua memang berbeda. Tapi Kau, Ama, sama sepertiku, kau adalah perokok
berat. Untuk yang satu ini, kita berdua memang sama setali tiga uang.
"Kalian
berdua ini, macam tidak saling kenal. Lama baru jumpa mestinya saling bertanya
kabar. Eh malah diam saja macam orang bisu." Kata inak memecah kesunyian.
Aku senyum-senyum saja. Dan kau ama, hanya menggaruk kepala yang tak gatal.
Untuk
beberapa saat, inak sendiri berbicara, bercerita ini itu. Tentang harga sembako
yang mahal, tentang panen jagung yang belum selesai, juga tentang ternak ayam
yang susah diurus. Dan kita hanya jadi pendengar setia. Tak banyak cakap, apa
lagi menanggap cerita inak. Kita hanya sesekali menyesap kopi dan teh panas
yang disuguhkan sembari menghisap kretek.
Tak
terasa hari semakin sore. Inak sudah kembali ke dapur. Jam di telepon genggamku,
sudah menunjukkan pukul 16.30 WITA.
"Ama,
maukah kucukur ramubutmu?" Aku bertanya. Barangkali Kau mau rambutmu kucukur.
Sebenarnya sedari tadi kulihat rambutmu. Sudah mulai lebat dan panjang. Mungkin
sudah lama belum dicukur. Makanya kutawarkan jasa.
Tak ada
jawaban. Hanya anggukan kepala tanda setuju. Dan saya bergegas masuk ke rumah mengambil
sisir dan gunting.
Tak
sepertiku yang berambut ikal keriting, rambutmu lurus, Ama. Kata orang, rambut
air. Selama mencukur rambutmu, tak ada percakapan di antara kita. Kita kembali
seperti kebiasaan, hanya diam tanpa kata. Sesekali aku hanya membetulkan
kepalamu untuk menyesuaikan posisi sisir dan gunting untuk mencukur rambutmu.
Kau
tahu, Ama? Kesempatan bersamamu adalah kesempatan yang langka. Aku hanya bisa
bertemu denganmu bila berkesempatan pulang kampung ketika libur kuliah. Selama
sekolah SMP dan SMA dulu , kemudian lanjut kuliah di Makassar hingga kini, saya
baru tiga kali pulang berlibur ke kampung. Dan untuk kedua kalinya bertemu
denganmu setelah sejak aku masih kecil, kita berpisah. Seingatku, kau pergi
merantau sejak aku masih kecil, bahkan belum sempat duduk di bangku sekolah
malah.
*** ***
Pagi
yang cerah. Ini hari rabu. Sebagaimana lazimnya, hari rabu adalah hari pasar di
pasar barter Labala Desa Leworaja. Sedari subuh aku sudah lebih awal bangun
untuk bersiap-siap ke Basar Barter Desa Leworaja. Jarak desa Leworaja dari Desa
Luki-Pantai Harapan kira-kira 8 KM dari Desa Luki Pantai Harapan. Untuk datang ke
pasar barter ini, orang labala yang tinggal di Luki-Pantai Harapan menempunnya
dengan naik ojek atau dengan naik mobil pick up yang memang khusus untuk
menjemput dan mengantar penumpang yang hendak ke Pasar Barter Labala di desa
Leworaja.
Sebagai
anak orang Labala, saya punya kenangan dengan desa bersejarah ini, yaitu Desa
Leworaja dengan pasar barternya ini. Desa Leworaja adalah bekas ibukota
Kerajaan Labala tempo doeloe. Orang Labala yang tinggal di desa luki-Pantai
Harapan dulunya adalah penduduk desa leworaja. Namun pada tahun 1979, Desa
Leworaja mengalami bencana tsunami sehingga sebahagian penduduknya pindah ke
Luki yang kini menjadi Desa Luki Pantai Harapan. Desa Luki Pantai Harapan
terletak di sebelah barat Tanjung Leworaja.
Di sana,
di desa Leworaja, selain pasar barternya yang terkenal itu, kita juga bisa
berziarah dan melakukan wisata budaya dengan mengunjungi beberapa situs sejarah
dan budaya seperti makam Raja-raja Labala, mesjid tua Al-muqrabin Labala yang merupakan
mesjid tertua di Nusa Tenggara Timur yang dibangun pada tahun 1918 M pada masa
kekuasaan Raja Baha Mayeli (Raja Labala ke-VII), bekas Istanah Kerajaan Labala,
rumah-rumah adat dengan berbagai benda purbakala warisan nenek moyang Orang
Labala.
Momen mengunjungi
Pasar Barter Labala tak ingin kulewati pagi itu. Selama libur di kampung,
sebisa mungkin setiap hari rabu aku selalu berkunjung ke pasar barter Leworaja.
Sejak sore kemarin, aku suda menghubungi salah seorang tukang ojek kenalan
untuk mengantarku ke pasar barter labala. Dan pagi itu, sambil menunggu
kedatangan tukang ojek lengganan untuk mengantark ke pasar barter labala, aku
tengah sarapan dengan segelas kopi dan sepiring jagung titi.
“Abang...!
Abang..!” aku mendengar suara teriakan yang memanggil-manggil. Rupanya itu
suara adik sepupuku. Dengan tergopah-gopah, Sepupuku itu menghampiriku yang
tengah sarapan di teras depan rumah.
“Ada
apa, Dik.” Aku buru-buru bangkit dari kursi dan perlahan berjalan menemui adik
sepupuku itu.
“Abang
lekas ke rumah dulu. Amak mau ketemu dan ingin bicara. Ada hal penting
katanya.” Kata sepupuku memberi keterangan dengan suara terbata-bata.
Tanpa
menunggu lama, aku mengajak sepupuku untuk pergi menemuimu, Amak. Dalam
perjalanan aku bertanya kepada sepupuku itu, ada hal penting apa yang ingin di
sampaikan. Namun yang kutanya hanya mengatakan bahwa nanti aku akan tahu
sendiri.
Sesampai
di rumah, aku mendapatimu duduk sendiri di pojok meja makan. Diam tanpa kata.
Ekspresi wajahmu kesal. Teh panas di atas meja masih mengepul. Melihatku
datang, inak segerah menemuiku dan mengatakan bahwa sedari tadi kau menungguku.
Aku kemudian duduk di sisi kiri meja makan.
Sejenak,
suasana dalam rumah lengang. Beberapa saat kemudian inak mulai bicara. Kata
inak, baru saja ada orang yang datang menemuimu di rumah tadi. Membicarakan
perihal kuasa kepemilikan kebun di pinggir pantai watotena tanjung leworaja
itu. Saat itu inak seakan menjadi juru bicara, menerangkan kepadaku duduk
persoalan yang tengah mengganggu pikiranmu.
Sesaat
aku hanya menghela napas panjang, sembari mengeluarkan sebungkus keretek dan
kutawarkan kepadamu yang hingga saat itu hanya diam. Sebenarnya persoalan itu
sudah lama kudengar, hanya saja aku menganggap itu persoalan keluarga, sehingga
untuk menyelesaikannya, harus ada urung rembuk dengan keluarga besar. Tak
kusangka persoalan menjadi rumit dan kompleks seperti itu.
Sebagai
anak, menurut adat kita Orang Labala, aku tak punya kuasa berbicara jauh
perihal kepemilikan warisan keluarga, karena yang paling berwewenang adalah
keputusan bersama dari tua-tua adat dalam suku. Entah warisan tanah, atau
warisan lain yaang menyangkut maslahat keluarga besar dalam suku. Pagi itu aku
hanya menawarkan solusi untuk kembali melakukan pendekatan keluarga untuk
membicarakan masalah yang tengah kau alami.
“Masalah
ini biarlah amak dan tua-tua yang lain menyelesaikannya dengan cara
kekeluargaan,” Aku memulai pembicaraan setelah keheningan yang panjang.
Menurutku, akan lebih bijak bila semua keluarga dilibatkan untuk menyelesaikan
persoalan ini.
“Tak
usah kau pikirkan itu nak. Kau pikirkan saja sekolahmu. Masalah ini biar nanti
amak yang bicarakan dengan keluarga yang lain.” Kau memulai pembicaraan. Dari
nada bicaramu, aku membaca bahwa sebagai orangtua, kau tak ingin melibatkanku
dalam persoalan ini. Dan aku pun berharap, semoga masalah ini bisa diselesaikan
dengan jalan musyawarah agar kerukunan dalam keluarga besar tetap terjaga.
*** ***
***
Aku
masih ingat ama, seminggu sebelum aku kembali ke Makassar, suatu malam ketika
aku berkunjung ke rumah, di wailolo tapo ono. Malam bulan purnama yang cerah. Suasana
hening. Selepas makan malam, Inak dan keluarga yang lain sudah lebih dulu
tidur. Dan kita berdua masih duduk di samping rumah, di atas balai-balai bambu
itu. Ditemani dua gelas minuman, kopi dan teh panas, juga sebungkus keretek.
“Amak
sudah putuskan sendiri. Mungkin hari jumat nanti amak mau pergi.” Kau membuka
pembicaraan. Kata-katamu seakan menggantung dan membuatku penasaran.
“Amak
mau pergi? Memangnya amak mau pergi ke mana?” Aku menimpali. Di benakku penuh
dengan tanda tanya atas kata-katamu barusan.
“Mau
pergi merantau.” Kau menjawabku. Singkat saja. Keretek di tanganmu kembali kau
hisap.
Aku
terhenyak mendengarkanmu, Ama. Berusaha memahami kata-katamu itu. Menurutku, di
usiamu yang semakin menua, merantau bukanlah pilihan yang bijak. Lebih
tepatnya, itu bukan pilihan terbaik. Setelah sekian lama merantau sejak usiaku
yang masih sangat belia, aku merasa kehilangan sejak kecil akan sosokmu. Dan
kini kau malah memutuskan untuk kembali pergi, merantau lagi.
“Memangnya
amak suda pertimbangkan masak-masak sebelum memutuskan pergi merantau lagi?”
Aku kembali bertanya. Tiba-tiba saja pandanganku buram. Tak terasa airmataku
menyembul.
Kembali
aku terkenang masa kanak. Masa dimana aku kehilangan sosok ayah yang seharusnya
selalu dekat, selalu ada di saat aku butuh, menjadi sosok yang kubanggakan di
antara teman-teman sepermainaku, juga tentu saja cinta dan kasih sayang yang
selalu diidam-idamkan dari setiap anak dari ayahnya. Namun semua itu tak cukup kudapatkan
ketika masa kanak-kanakku dulu. Dan kini, sosok yang kurindukan itu, yang belum
seberapa lama kutatap wajahnya sepuas hati, yang belum puas kudengar suaranya
sepenuh kerinduan, dan beroleh perhatiannya seutuh-utuhnya, malah memutuskan
untuk kembali pergi merantau. Ah bukan main sesaknya dadaku...
“Anak
tak perlu khawatir. Amak hanya pergi untuk beberapa bulan. Doakan saja, umur
panjang kita bisa jumpa lagi.” Kau berkata dengan nada suara yang nyaris
tercekat di tenggorokan. Dan air mataku semakin meluruh. Aku terus saja
menundukkan kepala di atas bale-bale itu. Satu-satu bulir air mataku jatuh ke
pangkuan. Lagi-lagi, aku merasa kehilangan untuk kesekian kalinya.
Sebagai
anakmu, aku tak tahu hendak berkata apa untuk menimpali. Pikiranku seakan buntu
saat itu. Entah mengapa, aku tak punya keberanian untuk membantah atau berusaha
sekadar membujukmu agar tak lagi pergi merantau. Mungkin berpisah denganmu
sejak kecil, membuatku tak punya cukup pengetahuan untuk mengenali lebih dekat sifatmu.
Hal inilah yang barangkali membuatku tak punya keberanian untuk membantah apa
lagi menolak pilihanmu untuk kembali merantau.
“Jadilah Kebanggaanku! Itu saja yang Amak
minta..." Itu katamu, Ama. Dan entah mengapa, saat itu aku takut
kehilangan. Ketakutan yang tiba-tiba seakan menyeruak hingga ke sum-sum tulang
dan darahku. Aku tak ingin kehilangan sosok ayah untuk yang kesekian kali.
Namun aku tak bisa berbuat dan berkata apa-apa malam itu. Dan tak kusangka, itu
pesan terakhirmu kepadaku. Pesan yang terus menerus terngiang di benakku.
Ah,
tempo itu, waktu itu, Ama. Saat-saat dimana aku masih berkesempatan menatap
wajah tuamu, mencukur rambut ubanmu. Tapi entah kenapa kebersamaan kita seakan
tiba-tiba hilang lepas, nyaris tanpa jejak. Dimamah waktu ditelan jaman.
Terkubur bersama cerita yang belum tamat kubaca, kisah yang terlalu gesa
menjadi kenangan, juga cinta yang barangkali tak akan pernah bisa impas kubalas
tuntas.
Malam
semakin melela. Dan suara jengkrik saling bersahut-sahutan...
*** ***
***
Setelah
mendengar kabar duka dari abangku, semalaman aku tak bisa tidur. Teman-teman
sekampungku di kamar kost sebelah juga belum tidur. Lamat-lamat dari kejauhan
kusimak sebuah lagu yang diputar oleh teman dari kamar kost sebelah itu. Entah
siapa penyanyinya dan apa judul lagunya;
“Ama, budi moe wai baan sare, jasa
moe uran netik dike. Go pate kewan hala, go helu di bisa kuran. Ama, tutu koda
sare, marin kirin mela. Go kete kaan pana laran, go pehen kaan gawe ewan...”
(Ayah,
kebaikanmu laksana air yang terus mengalir, kasih-sayangmu bagai rintik hujan yang
terus menyirami. Kebaikan yang tak bisa kubalas impas, kasih-sayang yang tak
sanggup kubayar lunas. Ayah, ajari aku nasehat kebenaran, beri aku petuah
kebajikan. Kebenaran yang menjadi pedoman hidupku, kebajikan yang menjadi
penuntun langkahku)
Tiba-tiba
pandanganku buram. Mataku berkaca-kaca. Ada bulir bening yang menyeruak, hangat
menyembul dikedua kelopak mataku, lalu menetes satu-satu. Dan lagu itu terus
mengalun pilu, sepilu hatiku saat ini. (***)
======----
Catatan:
1. Amak adalah panggilan untuk ayah (Ayahku)
2. Inak adalah panggilan untu ibu (Ibuku)
3. Lewo
Nubalolon adalah
bekas kampung kuno orang labala tempo
doeloe sejak dari Lepan-Batan, yang kini menjadi kawasan situs sejarah. Kawasan
ini telah ditumbuhi hutan belukar dan pohon-pohon besar. Di kawasan ini masih
terdapat bekas pendasi ruma penduduk dan pendasi rumah adat, nama (halaman
rumah adat)
4. nobe/nobo (batu-batu
tempat duduk para tetua adat jaman dulu),
5.nuba-nara
(batu altar persembahan nenek moyang orang labala tempo doeloe),
selain itu kuburan tua, dan
pecahan-pecahan keramik peninggalan nenek moyang orang labala. Kawasan kuno ini berbentuk pematang bertingkat-tingkat menyerupai bangunan pundek berundak-undak
yang di puncaknya membentuk nama lewo (lapangan umum tempat nenek moyang orang
labala menggelar pertemuan umum dan perhelatan tarian adat) dan di tengah nama
lewo terdapat Nuba-nara (altar/tugu
batu persembahan) dan nobe/nobo (batu
tempat duduk para pemimpin suku-suku di Labala jaman dulu). Kawasan lewo nuba
lolon ini oleh orang labala sekarang biasa disebut dengan lewololon (pusat kampung). Kawasan ini dianggap keramat karena dipercaya
sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur Orang Labala yang pertama kali
datang dari Lepan-Batan.
cerpen ini sudah diterbitkan di: http://fiksiana.kompasiana.com/muhammadbaran/kabar-duka-dari-rantau_58345d54cf7a610b1e0ed1cd