Hanya orang Amnesia (gila) yang lupa dengan masa lalunya.... Labala, tanah goen. Turu remma kodr turen koi moe. Labala, Goe Hungen Baat Teti Kotek.
BLOG PILIHAN GENERASI LABALA
SELAMAT DATANG DI BLOG INI. TAAN ONEK TOU SOGA NARAN LEWOTANAH. LABALA TANAH TITEN.
Kamis, 29 Desember 2016
TUHO DEWA, SOBA GUNA...
TUHO DEWA, SOBA GUNA
1). TUHO= TUHOM= TUHAN= TUAN= TUA= TUAH
- TUHO= tetek= menetek= menyusu pada ibu/induk= sumber air susu (ASI), dll.
- TUHOM= yg mengasihi= yg pemurah= yg mengaruniakan= memberi tanpa pilih kasih, dll.
- TUAN= yg empunya= yg memiliki kekayaan= sang pemilik segala, dll
- TUA= yg dihormati= yg disegani= yg dipatuhi, dll
- TUAH= digdaya, pemilik kekuasaan= super power= yg disegani, yg empunya kekuatan magis, dll
2). DEWA= DEWE/i= DAWA
- DEWA= yg mengasuh= yg memelihara= yg melindungi= yg mengayomi, dll
- DEWE/i= selalu menyertai= mendampingi= membawa serta= seiring sejalan= berpasangan, dll
- DAWA= tali pegangan= arah pedoman= tumpuan harapan, dll
3) SOBA= SOMBA= SEMBAH= SEMBAHYANG
- SOBA= selalu diikuti= selalu dituruti= menjadi panutan= teladan yg baik, dll
- SOMBA= terhormat/kehormatan= punya harga diri= memiliki kemuliaan= =tak ternilai harganya= gengsi, dll
- SEMBAH= rasa hormat= menghargai= memuliakan= mengagungkan, dll
- SEMBAHYANG= berbakti= mengabdi= berkhidmad, dll
4) GUNA= GUNU= GENA/GENE
- GUNA= selalu peduli= selalu bermanfaat= sumber rahmat, dll
- GUNU= pusaka= warisaan= berharga= pamungkas, dll
- GENA/GENE= mewarisi= menurunkan sifat= mengamanatkan= menitipkan tanggung jawab, dll
--- ---- --- ---
TUHO DEWA, SOBA GUNA adalah ungkapan adat Orang Lamaholot Labala yg juga dikenal di daerah lamaholot lainnya. Ungkapan ini bermakna BERBAKTI KEPADA SANG KHALIK, JUGA BERBAKTI KEPADA SESAMA DAN SEMESTA DENGAN PENUH CINTA, PENUH RASA TANGGUNG JAWAB, DLL. Dalam ajaran Agama Islam di sebut HABLUM MIN ALLAH, WA HABLUM MIN ANNAS, sedangkan dalam ajaran Agama Kristen dikenal dengan simbol SALIB yaitu hubungan VERTIKAL dan HORISONTAL...
Demikian pengertian/makna/tafsir menurut saya. Kalau ada yang keliru, silahkan di lengkapi...
orang yang sudah memahami teks/kata, dia akan memahami konteks kehidupan. dia tidak akan lagi berkutat menyembah teks/kata melulu, atau memperlakukan teks/kata sebagai berhala. Karena teks/kata yg sama, bisa dipahami berbeda oleh orang lain. Begitu kura-kura eh kira-kira.SALAM LEWO, DIKEN TANAH SENAREN. Sekian dan wassalam...
~AtaLabala~
Sabtu, 26 November 2016
Usu-Asa Atadiken; Bunga Buto (Asal-Usul Manusia Menurut Adat dan Tradisi Orang Labala)
Usu-Asa Atadiken; Bunga Buto
(Lewotanah; Lera Wulan Tanah
ekan; Usu Asa Titen; Atadike...)
Usu-asa atadiken, Bunga Buto
(asal-usul kejadian/penciptaan manusia dari delapan unsur ciptaan). Delapan
unsur ini saling berpasangan diantaranya; Kowa
kelle-lewotanah (Langit angkasa-Bumi pertiwi), wulan-wai (bulan-air), Lera-Tanah
(matahari-tanah), belia/atep-ape (bintang-api).
Usu tanah tawa....
Antara air (sejuk namun juga
bergelombang) dan api (menghangatkan tapi juga menghanguskan), bila menyatu akan
menjadi uap (awan) yang kelak melahirkan hujan (rahmat)...
Antara tanah (tenang namun bisa
gempa, retak koyak) dan udara (napas hidup tapi bisa menjadi badai yang meluluh
lantakkan), bila menyatu akan menjadi debu (humus) yang kelak menjadi unsur
hara (karunia)...
Antara hujan (air-api) dan unsur
hara (tanah-udara), bila menyatu akan menjadi sari pati (nikmat). yang kelak
menumbuhkan/melahirkan bakal kehidupan sebagai pertanda (bukti/tanda/ayat
kebesaran-Nya)...
Dari air, api, tanah dan udara,
bila menyatu/bersenyawa, maka kelak akan menumbuhkan tubuh (tumbuhan),
melahirkan raga/jasad (manusia dan hewan), Sebagai ciptaan sang Pencipta,
makhluk Sang Khalik...
Asa Ekan Gere....
Agar tubuh menjadi tumbuhan, agar
jasad menjadi jasmani, maka tubuh dan jasad itu harus mendapat energi kehidupan
atau senyawa (nyawa/ruh) kehidupan...
Dari mana asal/sumber energi
kehidupan itu? Dari mana asal senyawa (nyawa/ruh) yang menjadi sumber asal
energi kehidupan itu? Adalah dari kemurahan (rahmat) sinar matahari ilahi.
Tua Lera wulan, Alap Tanah
ekan....
Dialah Sang Khalik Pencipta. Kita
menyebutnya; Tuhan, Allah, Yahwe, Sang Hyang Widhi dsb... Dialah Rabb Alamin,
yang empunya Alam semesta, Dialah
pemilik kosmos raya... kerajaan-Nya meliputi langit, bumi dan apa yang
ada di antara keduanya...
Yang dengan kehendak-Nya,
memberlakukan hukum alam proses photosintesis kehidupan, yaitu penyatuan
senyawa/energi kehidupan dengan tubuh atau jasad/raga...
Dengan apa Tuhan menyatukan
nyawa/ruh dengan Jasad? dengan Koda-kiri (Sabda Ilahiah, firman suci). Dengan,
Kun Fayakuun= Jadilah! maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya...
Maka lahirlah bukti kehendak-Nya
berupa kehidupan; tubuh menjadi tumbuhan, raga/jasad menjadi manusia dan hewan,
alam semesta, dsb...
Ata Dike ata sare; Ata budi dike, Ata akal sare, onek bura puhu lae...
Dari semua bukti kehidupan itu,
hanya Atadiken (manusia) yang menjadi bukti paling otentik akan
kemahakuasaan-Nya. kepada manusia Tua Lera Wulan-Alap Tanah Ekan (Sang Khalik) melebihkan
karunia-Nya; diberikannya manusia akal, budi dan hati yang kelak melahirkan Adat (akhlak/adab=peradaban), Budaya (budi/daya=kebudayaan), Hati (spiritualitas/iman).
Akal untuk menciptakan peradaban
spiritual, budi untuk melahirkan kebudayaan material, Dan Hati nurani akan
menciptakan dialektika yang harmonis antara akal (spiritual) dan budi
(material), yang kelak melahirkan manusia sebagai Atadike= orang baik/orang
berbudi-adat/manusia suci= Insan Kamil/manusia paripurna....
Itulah mengapa manusia dititipkan
amanah; menjadi Khalifah (pemimpin/wakil Tuhan) di muka bumi; mengemban misi
suci, menjadi Rahmatan Lil Alamin, sebagai personifikasi kasih-sayang Tuhan
kepada semesta....
Gelekat lewo Gewayan tanah...
Dalam perjalanan hidupnya, misi
utama manusia adalah gelekat lewo dan gewayan tanah. Gelekat= beribadah yaitu berbakti
(kepada Sang Khalik), gewayan=melayani/mengabdi yaitu berbakti (kepada sesama
makhluk)...
Berbakti (beribadah) adalah
kewajiban manusia. Berbakti/beribadah ialah patuh dan taat atas perintah dan
larangan (mengerjakan kebajikan dan menjauhi kejahatan). Membantu dan menolong,
menciptakan keseimbangan tatanan kehidupan semesta alam itulah hakikat ibadah
yang sesungguhnya. Kepada Lewo
(alam/Langit keilahian), juga kepada tanah (dunia/bumi kemanusiaan), kepada
alam semesta (yang gaib maupun yang nyata)...
Dengan apa manusia menunjukkan
baktinya? Dengan akal spiritual, dengan budi material, juga dengan hati nurani.
Dengan peradaban yang melangit (iman), dengan kebudayaan yang membumi (akhlak),
juga kesadaran akan tanggungjawab sebagai insan paripurna...
Bagaimana cara manusia berbakti? adalah
dengan beramal bakti, mengamalkan/mengaplikasikan akal, budi dan hatinya. Orang
beragama menyebutnya, Beramal Shaleh yaitu menghasilkan, memproduksi,
menciptakan Maha Karya yang paling otentik, orisinil dan tentu saja bermanfaat
kepaa sesama dan semesta (gaib dan nyata)...
Kepada siapa manusia berbakti?
Kepada Lewotanah= Lera wulan-Tanah ekan= Berkah Keramah= Alape(n)= Rabb=Pemilik
Sejati= sang pencipta dan segala ciptaan-Nya. Kita menyebutnya dengan berbagai
nama dan sifat; yang maha pengasih-penyayang, yang maha kuasa, yang maha
perkasa, dsb. Kita menyebutnya dengan berbagai sebutan dan gelar; Tuhan, God,
Hyang Wenang, Yahwe, Eli dls. Kita memanggilnya dengan; Elohim, Allahumma, om
astyastu, Aleluya (yang maha terpuji) dll. Dan pada akhirnya semua kata dan
panggilan untuk-Nya itu kembali kepada asal, yaitu Alape (pemilik/tuan)= Allah
(Pemilik sejati)...
Wua-Malu= Waja-Dopi....
Wua-malu adalah simbol dualitas
sifat ketuhanan sekaligus kemanusiaan yaitu simbol pasangan kosmis
(khalik-makhluk). Pada manusia, wua-malu adalah simbol pasangan gender/jenis
kelamin. Wua= Pinang adalah simbol Maskulin (jantan/laki-laki). Malu simbol
feminim (perempuan). Wua adalah lambang keterbukaan pikiran laki-laki, dan malu
adalah lambang kehormatan dan harga diri perempuan.
Wua-Malu= KeLake-KeWae=
KeMamun-KeBarek= Ina Wae-Ama Lake= Naan-Bine= Laki-laki-perempuan= kakak-adik=
saudara-saudari= putra-putri... dst.
Waja= ola= gelekat= kerja=mengabdi
(sifat laki-laki). Dopi= gerian= memelihara= melayani= melengkapi (sifat
perempuan). Waja-dopi= menjadi pengabdi dan pelayan= Kewajiban manusia
(laki-laki dan perempuan) mengabdi kepada Sang Khalik dan pelayan bagi sesama
an semesta...
Ape-Padu= Hoto-Hula....
Ape-padu= api dan pelita= sumber
cahaya= pedoman. Hoto-Hula= fungsi menerangi= jalan yang diterangi= untuk
keselamatan jalan menuju tujuan, kembali pulang ke asal kejadian, mudik ke usul
penciptaan.
Dalam beramal bakti, manusia
dengan kesadaran jasmani dan ruhaninya, menyerap sifat kemanusiaan bumi; Menjadi
Tanah Ekan. Menjadi bumi yang subur, menjadi pelayan; kepada Tua/Alap (khalik),
juga kepada sesama atadiken (manusia) dan semesta (makhluk).
Dalam menunjukkan baktinya,
manusia menyerap sifat keilahian; Menjadi Lera wulan. Menjadi sinar dan cahaya
kehidupan. Sebagai Lera/rera= matahari; menjadi sinar di siang hari, menjadi
naungan di kala perjalanan siang yang panas, terik dan melelahkan. Sebagai
wulan= bulan, Blia= bintang; menjadi cahaya di malam hari, menjadi petunjuk
bila malam gelap dan dingin yang membekukan
Jika sifat-sifat unggul dan berkualitas ini diaplikasikan, maka keniki-pelatin (bencana) akan menjauh, dan geleten-gelara (musibah) akan terhindarkan. Keselamatan perjalanan akan menyertai sampai ke tujuan, keseimbangan alam tetap terjaga, hidup jauh dari mara bahaya dan aneka petaka....
Jika sifat-sifat unggul dan berkualitas ini diaplikasikan, maka keniki-pelatin (bencana) akan menjauh, dan geleten-gelara (musibah) akan terhindarkan. Keselamatan perjalanan akan menyertai sampai ke tujuan, keseimbangan alam tetap terjaga, hidup jauh dari mara bahaya dan aneka petaka....
Tuen taan lewo haka tai, balik tala tanah aen gere....
Pada akhirnya, tak ada yang abadi
memang. Semuanya akan kembali. Tak terkecuali manusia. Manusia akan kembali ke
asal mulanya, pulang ke usul sejatinya; Lewotanah (asal kejadian/asal pnciptaan)...
Tubuh/Jasad/raga akan kembali ke
asal mulanya, dan senyawa (nyawa/ruh) akan pulang ke usul sejatinya. Bukankah
ada dikatakan, karena dari-Nya asal usul kita, maka kepada-Nya kembali
kita?
Inna il Allah hi wa inna ilaih hi
raaji’uun. Yah dari lewotanah usu-asa
kita, dan kepada lewotanah pula kita akan kembali pulang. Suatu saat
nanti. Entah kapan, tapi pasti. (**)
Catatan: tulisan ini sekadar
penjabaran penulis menurut perspektif adat orang Lamaholot Labala. Mohon maaf
bila ada yang keliru/salah. Hal yang tersulit adalah mengurai istilah/bahasa
adat ke dalam istilah/bahasa indonesia yang sesuai dengan apa yang dimaksudkan.
Silahkan dilengkapi bila ada yang masih kurang/keliru. Semoga bermanfaat. salam.
~AtaLabala~
Selasa, 22 November 2016
Kabar Duka Dari Rantau...
(Sebuah
Cerpen untuk Amak)
Oleh Ata
Labala
Labala,
Lewotanah Watan Lolon...
Sunyi.
Pada sebuah persimpangan jalan. Di siang hari yang terik, entah di mana itu.
Dari kejauhan kulihat sesosok lelaki tua yang berjalan mendekat. Rambutnya
telah beruban, hampir seluruhnya. Ekspresinya dingin saja, nyaris tanpa senyum.
Aku berusaha mengenalinya. Semakin dekat, dan semakin dekat. Ah aku
mengenalinya, sangat mengenali sosok itu.
“Amak, hendak
ke mana?” aku berusaha menyapa. Tapi yang kusapa tak membalasku, dan hanya
berlalu seakan tak melihatku. Atau barangkali tak lagi mengenaliku.
“Amak...
Amak...!” Aku berusaha memanggilnya.
Setengah berteriak. Namun yang kupanggil, tak juga menoleh. Dia terus saja
berlalu. Semakin jauh dan akhirnya sosok itu hilang dari pandanganku.
Dan
tiba-tiba aku terbangun. Dikejutkan oleh suara dering telepon selulerku.
Sejenak kulihat nama si penelepon. Rupanya itu panggilan telepon dari Abangku.
Meski masih diliputi perasaan tak karuan karena mimpi yang kualami barusan,
kusambut saja panggilan telepon itu.
“Adik
suda dapat kabar?” Abangku langsung bertanya ketika kusambut teleponnya. Kabar
apa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sepertinya ada hal penting dan genting yang
hendak diberitakannya.
“Kabar
apa, Abang?” Aku malah balik bertanya. Masih dalam kebingungan. Biasanya bila
Abangku menelepon, yang pertama ditanyakannya adalah kabarku, perkembangan
kuliahku dan hal-hal lain tentangku.
“Amak
telah tiada. Amak telah meninggal dunia.” Aku semakin kebingungan. Tak tahu
hendak berkata apa setelah mendengar kabar dari Abangku ini. Selanjutnya aku
hanya diam. Abangku di seberang telepon pun hanya diam setelah memberi kabar
duka itu.
Ah kabar
duka dari rantau....
Amak,
ayahku. Lelaki yang menjadi penyebab aku terlahir ke dunia ini. Sosok yang
selama ini nyaris hilang dari kehidupan kami anak-anaknya. Lama merantau di
tanah orang. Tak banyak. Hanya sedikit saja kenanganku bersamanya.
*** ***
Kau
masih ingat, Ama? Waktu itu Hari Minggu. Sudah hampir sebulan kuhabiskan masa
libur di kampung. Lepas subuh, sebagaimana kebiasaan Orang Labala, bagi yang
punya sampan atau perahu, mereka pergi melaut. Sedangkan mereka yang tak
melaut, lebih memilih pergi ke kebun. Dan kau, Ama, sudah ke kebun sejak pagi.
"Amakmu
sudah ke kebun sejak pagi, Nak." Kata Inak ketika kutanyakan keberadaanmu
pagi itu.
Matahari
sudah tinggi. Pohon-pohon kelapa yang berjejer di sekitar rumah sampai ke
pinggir pantai yang rindang melambai diterpa angin Laut Sawu. Aku memutuskan
untuk menyusulmu ke kebun. Kebun itu terletak di pinggir pantai berpasir putih,
tepatnya di Pantai Tanjung Leworaja. Aku memilih menyusulmu dengan berjalan
kaki menelusuri tepian Pantai Teluk Labala nan elok itu.
Tanpa
membawa bekal dan peralatan sebagaimana layaknya orang kampung yang hendak
pergi berkebun. Dari pantai Wailolon yang bermata air itu, kemudian ke Pantai Wolor
yang berombak dan berakhir di Pantai Lukiono yang berpasir biru keungu-unguan
dan Tanjung Leworaja yang bersejarah dan penuh misteri itu.
Ketika
hendak memasuki daerah Tanjung Leworaja, aku berbelok mengambil jalur pintas di
sebelah kiri tepian pantai Lukiono, berjalan mengikuti jalan setapak yang
membelah pepohonan bakau dan pohon pandan liar yang rindang di pinggir pantai.
Terus menaiki jalan sempit di antara himpitan batu karang di tengah jejeran
pohon lamantoro dan lebatnya pohon-pohon asam yang rindang di Lewo Nubalolon.
Jalan
setapak itu merupakan jalan pintas untuk sampai ke jalan poros Labala yang berliku
dekat Nobe Nuba Lagadoni. Jalan poros Labala ini baru setahun lalu diaspal. Jalan
utama ini biasa dilalui oleh Orang Labala yang berkendaraan atau yang masih
punya kebiasaan jalan kaki untuk pergi ke kebun masing-masing. Jalan ini
merupakan jalur poros lintas selatan Lembata yang menjadi penghubung
kampung-kampung di pesisir mulai dari Loang-Ibukota Kecamatan Nagawutung,
Lamalera, Luki-Pantai Harapan, Mulankera, Leworaja sampai ke Kampung Kahatawa ujung
timur Kecamatan Wulandoni.
Sesampai
di jalan poros yang sedikit menurun, sampailah aku di kebun itu. Kebun yang
sejak masa kanak-kanak dulu, sering kudatangi. Menemani inak bercocok tanam
jagung dan kacang tanah bila tiba musim hujan. Letaknya di pinggiran Pantai Pasir
Putih Watotena-Tanjung Leworaja.
Ketika
masih kecil dulu, bila malas menemani inak menyiangi rumput di kebun itu, biasanya
aku lebih memilih pergi ke pantai untuk mandi di air laut yang bening, bakar
ubi kayu untuk dimakan sendiri atau sekadar tidur-tiduran di bawah pohon asam
yang rindang. Dan bila menjelang sore, inak pergi ke pantai memanggilku untuk
pulang ke rumah.
Dari
kejauhan, kulihat Bukit Pukaono, Laut Sawu yang biru, Tanjung Atadei yang
bergelorah, dan tentu saja Teluk Labala nan elok dengan pantai pasir putih Watotena
yang membentang, juga hamparan batang pohon jagung dengan daun yang menguning.
Lamat-lamat
kudengar bunyi tebasan dari kejauhan, di tengah kebun jagung yang siap panen,
di siang itu. Kutelusuri bagian tepi kebun jagung itu, mencari celah melewati
rimbunan pohon jagung yang ukuran lebih tinggi dari tinggi badanku sendiri. Ketika
memasuki kebun, aku merasa seperti berada di tengah hutan jagung. Aku kemudian berjalan mengikuti
arah suara tebasan yang terdengar tadi. Akhirnya tiba juga aku di sebuah dangau
di tengah-tengah kebun jagung.
Sejenak
kulemparkan pandangan ke sekitar kebun. Berada di tengah kebun itu, sejenak
mengingatkanku akan masa kanak dulu. Berusaha mengingat kenangan masa lalu
bersama inak di kebun itu ketika musim menanam atau musim panen tiba. Deru
ombak itu, pohon asam yang dulu juga masih tegak berdiri di sana, juga pohon
pandan liar yang tumbuh di pinggir pantai pasir putih dekat kebun. Aku merasa
seperti kembali ke masa lalu, masa kanak-kanak dulu.
Mendengar
bunyi langkah yang kian mendekat, sejenak kau berhenti. Memandang sekitar untuk
memastikan siapa yang datang. Setelah memastikan kalau akulah yang datang, kau
segerah melangkah mendekat dan menyuruhku untuk duduk saja, berteduh di dekat
dangau.
“Duduk
saja di situ, Nak. Nanti kalau sudah habis yang ini, kita makan.” Kau berkata.
Hanya itu. Kemudian kau kembali dengan pekerjaanmu, menebas batang jagung yang
sudah tua dan mematahkan tongkolnya. Dan aku hanya menuruti apa katamu.
Di
sekitar dangau, kulihat beberapa gunungan tongkol jagung yang belum
dibersihkan. Biasanya gunungan tongkol jagung yang sudah terkumpul, kemudian
dibersihkan dengan memotong-motong bagian pangkal kulit dan rambut-rambut pada
ujung tongkol buah jagung. Tongkol buah jagung yang bagus tak dikupas kulitnya
agar tahan lama bila disimpan untuk persediaan pangan dan benih untuk ditanam
kembali bila tiba musim hujan tahun berikutnya.
Aku
kemudian melangkah masuk ke dalam dangau. Sejenak melihat keliling. Kutemukan
sebuah parang kecil yang tersampir pada atap dangau bagian dalam. Dengan parang
di tangan, aku berjalan keluar menuju gunungan jagung yang belum dibersihkan.
Sebenarnya pekerjaan membersihkan tongkol jagung ini tak sukar, namun mungkin
soal kebiasaan saja. Mulanya kewalahan memotong dan membersihkan
tongkol-tongkol jagung itu, namun beberapa saat kemudian aku jadi sedikit terampil.
“Sudahlah
nak, kita istirahat dulu. Habis makan baru dilanjutkan lagi.” Kudengar suaramu
yang sedikit mengejutkanku.
“Iya
Ama. Sedikit lagi ini.” Aku membalasmu. Dan kulihat kau berjalan perlahan
menuju dangau itu. Dan aku masih kembali melanjutkan memotong dan membersihkan
tongkol jagung.
Beberapa
saat kemudian kau datang dengan bekal. Ada nasi jagung, sayur kuah santan daun
ketela, ikan tongkol yang telah dipanggang, juga sambal dari campuran ulekkan
cabe rawit dicampur garam dan perasan jeruk nipis. Menu sederhana yang
disiapkan oleh inak tadi pagi. Melihatmu telah mempersiapkan menu makan siang,
aku pun menghentikan kerja memotong dan mebersihkan tongkol jagung.
Angin
laut teluk labala berhembus sepoi-sepoi siang itu. Dari kejauhan suara burung
camar laut bersahutan. Di bawah pohon jambu mente yang rindang itu, kita
berdua, ayah dan anak menikmati menu makan siang alakadarnya. Tiba-tiba saja,
Aku merasakan ada luapan kasih sayang, kerinduan, dan cinta yang selama ini tertunda
dan tak cukup kunikmati sejak kecil. Yah kebersamaan dan kemesraan bersamamu,
Amak. Dan siang itu aku berusaha menikmatinya bersamamu di kebun jagung dekat
pantai pasir putih watotena Tanjung Leworaja itu.
*** ***
Kau
masih ingat, Ama? Sore itu, ketika matahari sudah mulai tergelincir, di Labala Luki-Pantai
harapan, kampung kita. Tepatnya di rumah yang sederhana itu. Di bawah naungan
pohon-pohon kelapa. Tapo Ono, Wai Lolon...
Rambutmu
yang beruban. Hampir semuanya. Peluh masih mengalir di dahi tuamu. Sebagaimana
kebiasaanmu, kau baru pulang dari kebun sore itu.
"Anak
baru datang?" Kau menyapaku. Suaramu pelan. Singkat saja.
"Iya,
ama." Aku menjawabmu. Juga sama. Singkat saja.
Mungkin
benar kata orang, bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sebagai anakmu, aku
mewarisi watakmu yang pendiam. Tak suka banyak cakap dan basa basi. Bahkan di
waktu bersamamu, sore itu.
Melihatku
yang duduk sendiri di teras depan rumah, peralatan kebun di pundak, Kau
letakkan begitu saja diatas bale-bale bambu di samping rumah. Segera Kau
menemuiku dan duduk di sampingku. Sebungus kretek yag sudah kuhisap sebatang
masih tergeletak di atas meja.
"Jagung
di kebun belum selesai dipetik semua, Ama?" Saya memulai lagi percakapan
dengan bertanya. Sebenarnya hanya sekadar memecah kesunyian. Lagi pula, memang
waktu itu lagi musim panen jagung di Labala, kampung kita.
"Belum.
Nanti besok baru dilanjutkan lagi." Kau menjawabku sembari mengambil
sebatang kretek.
Di dapur,
terdengar inak sedang sibuk menyiapkan minum. Minum sore kalau aku sedang
berkunjung ke rumah. Dan kini kita berdua kembali diam. Sibuk dengan pikiran
masing masing.
Beberapa
saat kemudian, inak datang membawa dua buah gelas berisi kopi dan teh panas, juga
sepiring penuh jagung titi, kemudian disajikannya di atas meja plastik. Kata
inak, Amak lebih suka minum teh dari pada kopi. Untuk yang satu ini, selera
kita berdua memang berbeda. Tapi Kau, Ama, sama sepertiku, kau adalah perokok
berat. Untuk yang satu ini, kita berdua memang sama setali tiga uang.
"Kalian
berdua ini, macam tidak saling kenal. Lama baru jumpa mestinya saling bertanya
kabar. Eh malah diam saja macam orang bisu." Kata inak memecah kesunyian.
Aku senyum-senyum saja. Dan kau ama, hanya menggaruk kepala yang tak gatal.
Untuk
beberapa saat, inak sendiri berbicara, bercerita ini itu. Tentang harga sembako
yang mahal, tentang panen jagung yang belum selesai, juga tentang ternak ayam
yang susah diurus. Dan kita hanya jadi pendengar setia. Tak banyak cakap, apa
lagi menanggap cerita inak. Kita hanya sesekali menyesap kopi dan teh panas
yang disuguhkan sembari menghisap kretek.
Tak
terasa hari semakin sore. Inak sudah kembali ke dapur. Jam di telepon genggamku,
sudah menunjukkan pukul 16.30 WITA.
"Ama,
maukah kucukur ramubutmu?" Aku bertanya. Barangkali Kau mau rambutmu kucukur.
Sebenarnya sedari tadi kulihat rambutmu. Sudah mulai lebat dan panjang. Mungkin
sudah lama belum dicukur. Makanya kutawarkan jasa.
Tak ada
jawaban. Hanya anggukan kepala tanda setuju. Dan saya bergegas masuk ke rumah mengambil
sisir dan gunting.
Tak
sepertiku yang berambut ikal keriting, rambutmu lurus, Ama. Kata orang, rambut
air. Selama mencukur rambutmu, tak ada percakapan di antara kita. Kita kembali
seperti kebiasaan, hanya diam tanpa kata. Sesekali aku hanya membetulkan
kepalamu untuk menyesuaikan posisi sisir dan gunting untuk mencukur rambutmu.
Kau
tahu, Ama? Kesempatan bersamamu adalah kesempatan yang langka. Aku hanya bisa
bertemu denganmu bila berkesempatan pulang kampung ketika libur kuliah. Selama
sekolah SMP dan SMA dulu , kemudian lanjut kuliah di Makassar hingga kini, saya
baru tiga kali pulang berlibur ke kampung. Dan untuk kedua kalinya bertemu
denganmu setelah sejak aku masih kecil, kita berpisah. Seingatku, kau pergi
merantau sejak aku masih kecil, bahkan belum sempat duduk di bangku sekolah
malah.
*** ***
Pagi
yang cerah. Ini hari rabu. Sebagaimana lazimnya, hari rabu adalah hari pasar di
pasar barter Labala Desa Leworaja. Sedari subuh aku sudah lebih awal bangun
untuk bersiap-siap ke Basar Barter Desa Leworaja. Jarak desa Leworaja dari Desa
Luki-Pantai Harapan kira-kira 8 KM dari Desa Luki Pantai Harapan. Untuk datang ke
pasar barter ini, orang labala yang tinggal di Luki-Pantai Harapan menempunnya
dengan naik ojek atau dengan naik mobil pick up yang memang khusus untuk
menjemput dan mengantar penumpang yang hendak ke Pasar Barter Labala di desa
Leworaja.
Sebagai
anak orang Labala, saya punya kenangan dengan desa bersejarah ini, yaitu Desa
Leworaja dengan pasar barternya ini. Desa Leworaja adalah bekas ibukota
Kerajaan Labala tempo doeloe. Orang Labala yang tinggal di desa luki-Pantai
Harapan dulunya adalah penduduk desa leworaja. Namun pada tahun 1979, Desa
Leworaja mengalami bencana tsunami sehingga sebahagian penduduknya pindah ke
Luki yang kini menjadi Desa Luki Pantai Harapan. Desa Luki Pantai Harapan
terletak di sebelah barat Tanjung Leworaja.
Di sana,
di desa Leworaja, selain pasar barternya yang terkenal itu, kita juga bisa
berziarah dan melakukan wisata budaya dengan mengunjungi beberapa situs sejarah
dan budaya seperti makam Raja-raja Labala, mesjid tua Al-muqrabin Labala yang merupakan
mesjid tertua di Nusa Tenggara Timur yang dibangun pada tahun 1918 M pada masa
kekuasaan Raja Baha Mayeli (Raja Labala ke-VII), bekas Istanah Kerajaan Labala,
rumah-rumah adat dengan berbagai benda purbakala warisan nenek moyang Orang
Labala.
Momen mengunjungi
Pasar Barter Labala tak ingin kulewati pagi itu. Selama libur di kampung,
sebisa mungkin setiap hari rabu aku selalu berkunjung ke pasar barter Leworaja.
Sejak sore kemarin, aku suda menghubungi salah seorang tukang ojek kenalan
untuk mengantarku ke pasar barter labala. Dan pagi itu, sambil menunggu
kedatangan tukang ojek lengganan untuk mengantark ke pasar barter labala, aku
tengah sarapan dengan segelas kopi dan sepiring jagung titi.
“Abang...!
Abang..!” aku mendengar suara teriakan yang memanggil-manggil. Rupanya itu
suara adik sepupuku. Dengan tergopah-gopah, Sepupuku itu menghampiriku yang
tengah sarapan di teras depan rumah.
“Ada
apa, Dik.” Aku buru-buru bangkit dari kursi dan perlahan berjalan menemui adik
sepupuku itu.
“Abang
lekas ke rumah dulu. Amak mau ketemu dan ingin bicara. Ada hal penting
katanya.” Kata sepupuku memberi keterangan dengan suara terbata-bata.
Tanpa
menunggu lama, aku mengajak sepupuku untuk pergi menemuimu, Amak. Dalam
perjalanan aku bertanya kepada sepupuku itu, ada hal penting apa yang ingin di
sampaikan. Namun yang kutanya hanya mengatakan bahwa nanti aku akan tahu
sendiri.
Sesampai
di rumah, aku mendapatimu duduk sendiri di pojok meja makan. Diam tanpa kata.
Ekspresi wajahmu kesal. Teh panas di atas meja masih mengepul. Melihatku
datang, inak segerah menemuiku dan mengatakan bahwa sedari tadi kau menungguku.
Aku kemudian duduk di sisi kiri meja makan.
Sejenak,
suasana dalam rumah lengang. Beberapa saat kemudian inak mulai bicara. Kata
inak, baru saja ada orang yang datang menemuimu di rumah tadi. Membicarakan
perihal kuasa kepemilikan kebun di pinggir pantai watotena tanjung leworaja
itu. Saat itu inak seakan menjadi juru bicara, menerangkan kepadaku duduk
persoalan yang tengah mengganggu pikiranmu.
Sesaat
aku hanya menghela napas panjang, sembari mengeluarkan sebungkus keretek dan
kutawarkan kepadamu yang hingga saat itu hanya diam. Sebenarnya persoalan itu
sudah lama kudengar, hanya saja aku menganggap itu persoalan keluarga, sehingga
untuk menyelesaikannya, harus ada urung rembuk dengan keluarga besar. Tak
kusangka persoalan menjadi rumit dan kompleks seperti itu.
Sebagai
anak, menurut adat kita Orang Labala, aku tak punya kuasa berbicara jauh
perihal kepemilikan warisan keluarga, karena yang paling berwewenang adalah
keputusan bersama dari tua-tua adat dalam suku. Entah warisan tanah, atau
warisan lain yaang menyangkut maslahat keluarga besar dalam suku. Pagi itu aku
hanya menawarkan solusi untuk kembali melakukan pendekatan keluarga untuk
membicarakan masalah yang tengah kau alami.
“Masalah
ini biarlah amak dan tua-tua yang lain menyelesaikannya dengan cara
kekeluargaan,” Aku memulai pembicaraan setelah keheningan yang panjang.
Menurutku, akan lebih bijak bila semua keluarga dilibatkan untuk menyelesaikan
persoalan ini.
“Tak
usah kau pikirkan itu nak. Kau pikirkan saja sekolahmu. Masalah ini biar nanti
amak yang bicarakan dengan keluarga yang lain.” Kau memulai pembicaraan. Dari
nada bicaramu, aku membaca bahwa sebagai orangtua, kau tak ingin melibatkanku
dalam persoalan ini. Dan aku pun berharap, semoga masalah ini bisa diselesaikan
dengan jalan musyawarah agar kerukunan dalam keluarga besar tetap terjaga.
*** ***
***
Aku
masih ingat ama, seminggu sebelum aku kembali ke Makassar, suatu malam ketika
aku berkunjung ke rumah, di wailolo tapo ono. Malam bulan purnama yang cerah. Suasana
hening. Selepas makan malam, Inak dan keluarga yang lain sudah lebih dulu
tidur. Dan kita berdua masih duduk di samping rumah, di atas balai-balai bambu
itu. Ditemani dua gelas minuman, kopi dan teh panas, juga sebungkus keretek.
“Amak
sudah putuskan sendiri. Mungkin hari jumat nanti amak mau pergi.” Kau membuka
pembicaraan. Kata-katamu seakan menggantung dan membuatku penasaran.
“Amak
mau pergi? Memangnya amak mau pergi ke mana?” Aku menimpali. Di benakku penuh
dengan tanda tanya atas kata-katamu barusan.
“Mau
pergi merantau.” Kau menjawabku. Singkat saja. Keretek di tanganmu kembali kau
hisap.
Aku
terhenyak mendengarkanmu, Ama. Berusaha memahami kata-katamu itu. Menurutku, di
usiamu yang semakin menua, merantau bukanlah pilihan yang bijak. Lebih
tepatnya, itu bukan pilihan terbaik. Setelah sekian lama merantau sejak usiaku
yang masih sangat belia, aku merasa kehilangan sejak kecil akan sosokmu. Dan
kini kau malah memutuskan untuk kembali pergi, merantau lagi.
“Memangnya
amak suda pertimbangkan masak-masak sebelum memutuskan pergi merantau lagi?”
Aku kembali bertanya. Tiba-tiba saja pandanganku buram. Tak terasa airmataku
menyembul.
Kembali
aku terkenang masa kanak. Masa dimana aku kehilangan sosok ayah yang seharusnya
selalu dekat, selalu ada di saat aku butuh, menjadi sosok yang kubanggakan di
antara teman-teman sepermainaku, juga tentu saja cinta dan kasih sayang yang
selalu diidam-idamkan dari setiap anak dari ayahnya. Namun semua itu tak cukup kudapatkan
ketika masa kanak-kanakku dulu. Dan kini, sosok yang kurindukan itu, yang belum
seberapa lama kutatap wajahnya sepuas hati, yang belum puas kudengar suaranya
sepenuh kerinduan, dan beroleh perhatiannya seutuh-utuhnya, malah memutuskan
untuk kembali pergi merantau. Ah bukan main sesaknya dadaku...
“Anak
tak perlu khawatir. Amak hanya pergi untuk beberapa bulan. Doakan saja, umur
panjang kita bisa jumpa lagi.” Kau berkata dengan nada suara yang nyaris
tercekat di tenggorokan. Dan air mataku semakin meluruh. Aku terus saja
menundukkan kepala di atas bale-bale itu. Satu-satu bulir air mataku jatuh ke
pangkuan. Lagi-lagi, aku merasa kehilangan untuk kesekian kalinya.
Sebagai
anakmu, aku tak tahu hendak berkata apa untuk menimpali. Pikiranku seakan buntu
saat itu. Entah mengapa, aku tak punya keberanian untuk membantah atau berusaha
sekadar membujukmu agar tak lagi pergi merantau. Mungkin berpisah denganmu
sejak kecil, membuatku tak punya cukup pengetahuan untuk mengenali lebih dekat sifatmu.
Hal inilah yang barangkali membuatku tak punya keberanian untuk membantah apa
lagi menolak pilihanmu untuk kembali merantau.
“Jadilah Kebanggaanku! Itu saja yang Amak
minta..." Itu katamu, Ama. Dan entah mengapa, saat itu aku takut
kehilangan. Ketakutan yang tiba-tiba seakan menyeruak hingga ke sum-sum tulang
dan darahku. Aku tak ingin kehilangan sosok ayah untuk yang kesekian kali.
Namun aku tak bisa berbuat dan berkata apa-apa malam itu. Dan tak kusangka, itu
pesan terakhirmu kepadaku. Pesan yang terus menerus terngiang di benakku.
Ah,
tempo itu, waktu itu, Ama. Saat-saat dimana aku masih berkesempatan menatap
wajah tuamu, mencukur rambut ubanmu. Tapi entah kenapa kebersamaan kita seakan
tiba-tiba hilang lepas, nyaris tanpa jejak. Dimamah waktu ditelan jaman.
Terkubur bersama cerita yang belum tamat kubaca, kisah yang terlalu gesa
menjadi kenangan, juga cinta yang barangkali tak akan pernah bisa impas kubalas
tuntas.
Malam
semakin melela. Dan suara jengkrik saling bersahut-sahutan...
*** ***
***
Setelah
mendengar kabar duka dari abangku, semalaman aku tak bisa tidur. Teman-teman
sekampungku di kamar kost sebelah juga belum tidur. Lamat-lamat dari kejauhan
kusimak sebuah lagu yang diputar oleh teman dari kamar kost sebelah itu. Entah
siapa penyanyinya dan apa judul lagunya;
“Ama, budi moe wai baan sare, jasa
moe uran netik dike. Go pate kewan hala, go helu di bisa kuran. Ama, tutu koda
sare, marin kirin mela. Go kete kaan pana laran, go pehen kaan gawe ewan...”
(Ayah,
kebaikanmu laksana air yang terus mengalir, kasih-sayangmu bagai rintik hujan yang
terus menyirami. Kebaikan yang tak bisa kubalas impas, kasih-sayang yang tak
sanggup kubayar lunas. Ayah, ajari aku nasehat kebenaran, beri aku petuah
kebajikan. Kebenaran yang menjadi pedoman hidupku, kebajikan yang menjadi
penuntun langkahku)
Tiba-tiba
pandanganku buram. Mataku berkaca-kaca. Ada bulir bening yang menyeruak, hangat
menyembul dikedua kelopak mataku, lalu menetes satu-satu. Dan lagu itu terus
mengalun pilu, sepilu hatiku saat ini. (***)
======----
Catatan:
1. Amak adalah panggilan untuk ayah (Ayahku)
2. Inak adalah panggilan untu ibu (Ibuku)
3. Lewo
Nubalolon adalah
bekas kampung kuno orang labala tempo
doeloe sejak dari Lepan-Batan, yang kini menjadi kawasan situs sejarah. Kawasan
ini telah ditumbuhi hutan belukar dan pohon-pohon besar. Di kawasan ini masih
terdapat bekas pendasi ruma penduduk dan pendasi rumah adat, nama (halaman
rumah adat)
4. nobe/nobo (batu-batu
tempat duduk para tetua adat jaman dulu),
5.nuba-nara
(batu altar persembahan nenek moyang orang labala tempo doeloe),
selain itu kuburan tua, dan
pecahan-pecahan keramik peninggalan nenek moyang orang labala. Kawasan kuno ini berbentuk pematang bertingkat-tingkat menyerupai bangunan pundek berundak-undak
yang di puncaknya membentuk nama lewo (lapangan umum tempat nenek moyang orang
labala menggelar pertemuan umum dan perhelatan tarian adat) dan di tengah nama
lewo terdapat Nuba-nara (altar/tugu
batu persembahan) dan nobe/nobo (batu
tempat duduk para pemimpin suku-suku di Labala jaman dulu). Kawasan lewo nuba
lolon ini oleh orang labala sekarang biasa disebut dengan lewololon (pusat kampung). Kawasan ini dianggap keramat karena dipercaya
sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur Orang Labala yang pertama kali
datang dari Lepan-Batan.
cerpen ini sudah diterbitkan di: http://fiksiana.kompasiana.com/muhammadbaran/kabar-duka-dari-rantau_58345d54cf7a610b1e0ed1cd
cerpen ini sudah diterbitkan di: http://fiksiana.kompasiana.com/muhammadbaran/kabar-duka-dari-rantau_58345d54cf7a610b1e0ed1cd
Minggu, 20 Maret 2016
Ular Naga; Perspektif Al-Quran & Tradisi Mistis Orang Labala
Ular
Naga Menurut Perspektif Al-Quran
Harus diketahui, menciptakan manusia dari tiada,
membentuknya dan meniupkan padanya dari ruh-Nya, dan mengokohkan alam semesta,
juga segenap keajaiban yang terkandung di dalamnya, adalah yang Maha Kuasa
juga yang menciptakan luar angkasa dan
makhluk yang ada di dalamnya.
Al-Quran juga telah menunjukkan adanya makhluk-makhluk yang tidak diketahui manusia di masa kenabian (Muhammad SAW). Demikian juga menunjukkan peran dari penemuan ilmiah, bahwa setiap berita akan ada waktu kemunculannya (pembuktiannya), sepanjang manusia berusaha tetap memanfaatkan potensi akal yang dimiliki untuk membuktikannya (mencari, menelusuri dan menemukannya).
"Dan
Dia (Allah) telah menciptakan kuda, bagal, keledai agar kamu menungganginya
(dan menjadikannya perhiasan). Dan Allah juga menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya." (QS. An-Nahl: 8)
Keyakinan kepada hal-hal yang tak terjangkau (yang
belum dipahami akal) manusia, yang dalam istilah al-quran di sebut dengan hal
yang gaib (malaikat, jin, iblis, makhluk luar angkasa, termasuk hari
pembalasan, dll) adalah salah satu sendi
keimanan (Rukun Iman) dalam Islam.
Kita sering mendengar, membaca berita/cerita tentang
penampakan hal-hal gaib atau fenomena alam yang terjadi diluar jangkauan
nalar/logika manusia. Sayangnya, hanya karena tak terjangkau atau tak terpahami
oleh logika, maka kadang dengan angkuh dan sombongnnya kita menganggap semua
berita/cerita itu hanya sekadar mitos/tahayul/legena/dongeng semata, tanpa mau
berikhtiar menelusuri jejak sejarah atau jalan cerita yang sebenarnya.
Lagi pula, sesuatu yang dianggap gaib belum tentu
tak ada. Sesuatu yang dianggap cerita mitos, tahayul, legenda, dongeng dsb,
belum tentu berarti cerita itu tak pernah terjadi. Kendalanya hanya ada pada
keterbatasan kemampuan akal manusia yang belum mampu menguaknya. Sesuatu yang
gaib adalah sesuatu yang misteri, sesuatu yang masih menjadi rahasia, sesuatu
yang masih ditabiri. Dan tabir utama
yang menjadi penghalang itu adalah keterbatasan pengetahuan kita sebagai
manusia.
Pada tulisan ini saya hanya akan sedikit membahas
tentang adanya isyarat dalam al-Quran yang menjelaskan kemungkinan adanya
kehidupan makhluk berupa hewan melata (ular, kadal dsb) yang bila ditelusuri,
sedikit banyak membantu menguak misteri akan keberadaan makhluk berupa hewan
melata yang selama ini hanya dianggap cerita mitos/tahayul/legenda/dongeng.
Makhluk berupa hewan melata yang saya maksud adalah ular naga yang hingga kini
menjadi tradisi mistis dalam adat dan budaya Orang Labala.
Berikut saya mengutip beberapa ayat dalam al-quran
yang menjadi signal/isyarat keberadaan makhluk yang diiptakan Allah SWT dari
jenis hewan melata yang kita tidak/kita belum mengetahui dan memahaminya.
Misalnya dalam al-quran diisyaratkan kemungkinan adanya kehidupan makhluk
diluar angkasa dan di bumi (entah sejenis manusia, jin atau hewan melata dll.).
"Diantara
tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan langit dan bumi, dan makhluk-makhluk yang
melata yang disebarkan pada keduanya (langit dan bumi) dan Dia Maha Kuasa
mengumpulkan semuanya apabila dikehendakiNya." (QS. Asy-syura: 29)
Kata "makhluk yang melata" yang dalam teks
asli al-quran disebut dengan
"dabbah". Oleh sebagian ulama menerjemahkannya dengan
"makhluk melata", yaitu makhluk yang berjalan atau bergerak berpindah
tempat dengan tidak menggunakan kaki atau tangan atau sayap. Dalam pengertian
umum, binatang yang punya ciri melata yaitu berjalan/berpindah dengan perut
atau otot perutnya adalah ular.
Kata "dabbah" dalam al-quran memiliki
kemiripan dengan kata "Deppa"
dalam bahasa Lamaholot Labala yang juga memiliki arti yang sama yaitu
bergerak atau berjalan dengan perut atau melatah ditanah. Dari kata
"Deppa" dalam bahasa Labala, kemudian terbentuk kata
"Geppa" yang digunakan untuk nama binatang seperti kemodo/biawak yang
bila berjalan terlihat seperti melata dengan menyeret perut di tanah. Selain
itu, dalam banyak anggapan, komodo/biawak biasa disebut juga dengan naga darat.
Kata lain yang bersinonim dengan kata
"Deppa" dalam bahasa labala adalah "doro" yang berarti
melatah dipohon. Tapi kata deppa dan doro umumnya digunakan untuk aktifitas
berpindah tempat atau bertumbuh pada binatang dan tumbuhan yang melata di tanah
atau di pohon seperti ular atau seperti hura jawa (ketela rambat) dimu
(semangka/mentimun) dll
Dalam al-quran juga ditegaskan bahwa, makhluk melata
yang disebut dengan "dabbah' (ular) ini tak hanya berada dan hidup di
bumi, tapi juga berada dan hidup di pelanet/galaksi/alam lain di langit.
"Dan
kepada Allah sajalah bersujud segala makhluk melata yang berada di langit dan semua makhluk melata
yang ada di bumi dan juga para malaikat. Sedangkan mereka (malaikat) tidak
menyombongkan diri." (QS. An-Nahl: 49)
Dengan isyarat ayat seperti di atas, maka sebagian
ulama mengatakan bahwa tak ada salahnya penjelasan ayat al-quran di atas
menjadi isyarat bahwa ada wujud kehidupan alam lain yang memiliki makhluk yang
barangkali juga memiliki kemiripan dengan kehidupan di bumi tempat kita hidup.
Tak bisa dipungkiri, kitab suci tiada lain hanyalah
kitab pedoman yang menuntun manusia untuk memahami dan memaknai kebesaran dan
kekuasaan Sang Pencipta. Kitab suci bukanlah seperti buku ilmiah yang
menjelaskan secara terperinci fenomena dan nomena semesta, namun kitab suci
juga mengandung signal/isyarat ilmiah yang
bisa dijadikan dasar mencari dan menemukan kebebenaran yang masih
ditutup kabut misteri.
Ular
Naga Dalam Tradisi Mistis Orang Labala
(Ular Naga Adalah Simbol Air dan Siklus Kehidupan)
(Ular Naga Adalah Simbol Air dan Siklus Kehidupan)
Sebagai Orang Labala, saya tak asing dengan cerita ular
naga. Tak hanya berupa cerita yang banyak orang menganggapnya sekadar mitos,
namun juga ular naga dalam cerita sejarah, adalah penyebab utama pelarian Orang
Labala dari Lepan-Batan. Selain itu, ritual adat yang berhubungan dengan ular
naga yang dilakukan oleh Orang Labala, menjadi alasan mengapa mitos tentang
ular naga ini tak asing bagi saya.
Bila ditelusuri dari
jalan ceritanya dan diamati dari upacara adat berupa ritual Pao Oma (pao=
memberi/membujuk/memberi makan, Oma/ume= jatah/bagian) yang di lakukan Orang
Labala, Ular Naga tak lain adalah simbol yang merupakan unsur penting kehidupan
yang sangat lekat dengan kehidupan manusia. Simbol yang saya maksudkan adalah
Air. Air adalah salah satu unsur terpenting yang juga menjadi salah satu
kebutuhan pokok manusia. Bahkan menurut kajian ilmu pengetahuan, air disinyalir
sebagai asal mula kehidupan semua makhluk.
Di Labala, hampir semua
seremonial adat berhubungan dengan air; air sungai, air laut dan air hujan. Di
sungai misalnya, sepanjang aliran sungai, mulai dari wai mata (sumber mata air)
sampai wai lei (muara sungai). Begitupun di laut, Orang Labala memiliki
seremoni adat tula re (berdamai dengan laut). Bahkan di Labala pun Orang Labala
memiliki seremoni adat teppa bala (memanggil hujan) bila terjadi kemarau
berkepanjangan sehingga terancam gaga panen.
Dilihat dari berbagai
seremonial adat yang dilakukan Orang Labala, bila dikaitkan dengan ilmu
pengetahuan, upacara seremonial adat ini menggambarkan siklus perjalanan air
sebagai sumber kehidupan. Dalam ilmu pengetahuan kita mengenal istilah siklus
air, dimana air laut (hari lewa/tula ree) sebagai sumber air utama menguap
karena panas matahari (sumber energi keilahian/ketuhanan) kemudian menjadi uap/awan.
Selanjutnya, awan mendung yang mengandung titik-titik air kemudian jatuh
sebagai hujan (teppa bala), lalu hujan yang turun kebumi membentuk mata air
(wai mata), kemudian mata air mengalir menjadi sungai menuju muara (wai lei/pao
oma) dan kembali lagi ke laut (hari lewa/tula ree).
Dari sedikit
penggambaran di atas, maka dapat kita pahami, bahwa kepercayaan akan ular naga
sebagai simbol air, merupakan sebua upaya manusia menjalin keselarasan hidup dengan
alam yang memberinya kehidupan. Bukankah terjadinya aneka mala dan bencana
akibat dari ulah manusia yang seenaknya saja memperlakukan alam?
Sebagaimana yang
disinyalir dalam Kitab Suci al-Quran:
“Telah
nampak kerusakan (bencana) di darat dan di laut akibat ulah tangn-tangan
manusia, agar Allah merasakan kepada mereka akibat dari perbuatannya itu dan agar
mereka mau kembali (sadar)”
Naga
Bumi-Naga Langit; Simbol Keseimbangan Kosmis
(Naga Langit; Simbol Alam
Ilahiah/Alam Malakut/Alam Gaib. Naga Bumi; Simbol Alam Semesta/Alam
Makhluk/Alam Nyata)
Sebagaimana hukum alam
(sunnatullah), segala sesuatu diciptakan Tuhan selalu berpasangan. Langit dan
bumi adalah pasangan telur kosmis, sumber keyakinan Orang Lamaholot terkhusus Orang
Labala, yang meyakini kuasa Lera-wulan Tanah Ekan (Tuhan Sang Pemilik Langit
dan Bumi). Dari pasangan kosmis keilahian (Langit dan Bumi), selanjutnya
terbentuklah pasangan kosmis kemanusiaan (makhluk) yaitu keblake-keberwae
(laki-laki dan perempuan) atau manusia yang oleh Tuhan diberi amanah menjadi
khalifah (penghubung kosmis keilahian dengan kosmis alam semesta) beserta
segala hal lain di alam raya yang juga tercipta berpasang-pasangan.
Pasangan adalah
gambaran kesetimbangan/keseimbangan. Pasangan juga adalah simbol eksistensi/keberlangsungan
hidup.Tak akan ada keteraturan/keseimbangan bila segala sesuatu tak tercipta
berpasangan. Kelestarian manusia akan tetap terjaga bila manusia tercipta dari
pasangan lelaki dan perempuan. Lampu bahlon tak akan menyala bila tak ada aliran
energi positif dan negatif dan masih banyak contoh keseimbangan kosmis lainnya.
Kita menyebut
keseimbangan/ keselarasan dengan keadilan. Itulah mengapa Tuhan dikatakan Maha
Seimbang (al-Adil) tak memihak karena Tuhan tak punya kepentingan-apa-apa dari
makhluknya. Tuhan juga disebut Maha Bijaksana (al-Hakim) selalu memberi jalan
keluar untuk mengoreksi dan memperbaiki kesalahan/dosa hamba-Nya.
Adil adalah gambaran
ketegasan hukum, sedangkan bijaksana adalah gambaran pengampunan/pemaafan/kasih
sayang. Keadilan dan kebijaksanaan ini, dalam khasanah tradisi dan budaya,
Orang Lamaholot menyebutnya dengan Keniki-Pelatin dan geleten-gelaran.
Ungkapan Keniki-Pelatin
dan Geleten-Gelaran adalah gambaran keseimbangan kosmis kehidupan.
Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran juga adalah perwakilan dari sifat kosmis
keilahian/ketuhanan dan sifat kosmis alam/makhluk. Secara bahasa, keniki-pelatin
artinya panas atau pedis sebagai simbol ketegasan/keadilan. Sedangkan
Geleten-Geelaran artinya dingin atau sejuk sebagai simbol pengampunan/pemaafan/kasih
sayang.
Bila ditelusuri lebih
mendalam, ungkapan keniki-pelatin dan geleten-gelaran berakar dari keyakinan
Orang Lamaholot akan Koda-Kiri. Koda sebagai sabda (kebenaran), kiri sebagai
firman (kesucian). Koda-Kiri adalah
Kalam/Kata-kata/Sabda/Firman dari Lera-wulan Tanah-Ekan (Tuhan/Allah SWT).
Koda-kiri diyakini sebagai asal muasal dari asbab penciptaan alam semesta
(langit dan bumi beserta isinya, termasuk manusia). Yang dalam istilah agama
islam dikenal dengan, Kun, Fayakuun (Jadilah!
Maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya)
Koda-kiri adalah
keseimbangan yang pantang/tabu untuk dilanggar apalagi diabaikan. Bila dijalani
dengan benar menurut tujuan penciptaan, maka akan tercipta
keseimbangan/keselarasan (kedamaian) kosmis. Namun bila dilanggar atau
diabaikan, maka yang terjadi adalah ketidaseimbangan/kekacauan (bencana)
kosmis.
Dari keyakinan akan
koda-kiri ini kemudian melahirkan filosofi (kearifan) Koda keniki-pelatin
sili-lia mean, Kiri geleten-gelaran keru-baki buran. Bahwa kebenaran koda-kiri
(kata/kalam/firman) adalah sesuatu yang sakral. Pelanggaran terhadap kebenaran
koda-kiri akan menyebabkan nalan (dosa), nedin (bencana), elan/elen
(kesalahan), milan (tercemar/kekotoran), dan haban (tersesat). Oleh karena itu,
nalan/nedin/elen/milan/haban hanya bisa terampuni/termaafkan/tersucikan apabila
manusia mau menyadari kesalahannya dan melakukan pertaubantan/penyucian/permaafan
yang dalam istilah adat Orang Lamaholot disebut huku/hoko mehi (pemulihan darah)
untuk kembali berdamai dengan Lera wulan-Tanah Ekan (Tuhan Sang Pencipta)
Filosofi Koda
keniki-pelatin sili lia mean dan Kiri geleten-gelaran keru baki buran ini
kemudian menjadi pedoman/pegangan dalam setiap aktifitas kehidupan sehari-hari
Orang Lamaholot, termasuk di Labala yang diwujudkan dengan ritual adat Pao Oma dan Tula Ree yang disimbolkan
dengan ular naga langit dan ular naga bumi. Ular naga langit sebagai perwakilan
kosmos keilahian/alam malakut/alam gaib, sedangkan ular naga bumi sebagai
perwakilan kosmos alam semesta/alam makhluk/alam nyata. Lebih dari pada itu,
ritual pao oma dan tula
ree merupakan ikhtiar manusia untuk berdamai dengan alam agar tercipta
keseimbangan.
Manusia, dengan potensi
lahir dan batin, akal dan nurani yang dikaruniakan Tuhan, dipilih oleh-Nya
untuk mengemban amanat suci sebagai Khalifah (wakil Tuhan di bumi) untuk
menjadi pemimpin, menjadi pengayom dan penjaga keseimbangan kosmos, menjadi
penghubung langit dan bumi, yang diaplikasikan dengan menjalin hubungan baik
dengan Tuhan dan menjalin hubungan baik dengan sesama dan alam semesta. Dengan
demikian, maka akan tercipta tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin yaitu kehidupan seimbang yang menjadi penyebab
rahmamat/kasih sayang Tuhan selalu menyertai.
Keyakinan akan
keseimbangan kosmos yang disimbolkan dengan ular naga sebagai air kehidupan dan
sebagai keseimbangan kosmis antara kosmis keilahian (ketuhanan/gaib) dengan
kosmis kemakhlukkan sebagai ciptaan, senantiasa menjadi kearifan dan nilai
luhur yang unik bagi orang lamaholot, terkhusus Orang Labala yang tetap
mempertahankan tradisi mistis religius ini. Mengabaikan kearifan leluhur tanpa
didahului dengan perenungan dan kajian mendalam akan makna dibalik
ritual-ritual mistis ini, adalah sebentuk kesombongan iman bagi mereka yang
mengaku beragama dan kecongkakan intektual bagi mereka yang mengaku sebagai
cendekiawan.
Akhirnya, tak semua
adat leluhur dan tradisi nenek-moyang dengan aneka ritual mistisnya harus dicap
sebagai musyrik oleh mereka yang mengaku beragama, atau dianggap mitos oleh
mereka yang mengaku akademisi. Toh segala sesuatu yang dianggap musyrik dan
mitos tak serta merta dicap sebagai kuno, kafir dsb sebelum bisa dibuktikan dengan
hujja (dalil) yang sahih. Menyalahkan tanpa pernah membuktikan kesalahan itu
sendiri adalah sebentuk kemunafikan orang-orang yang mengaku beragama dan
kebodohan intelektual bagi mereka yang mengaku cerdik cendekia. (**)
~AtaLabala~
Catatan: Tulisan ini hanyalah menurut persepsi penulis yang berusaha memaknai adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Apa yang penulis sajikan ini bukanlah kebenaran mutlak yang harus juga diyakini oleh pembaca, karena kebenaran mutlah hanyalah milik Tuhan. Jika bermanfaat, silahkan diambil. Bila tak bermanfaat, silahkan diabaikan saja. Wassalam...
Catatan: Tulisan ini hanyalah menurut persepsi penulis yang berusaha memaknai adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Apa yang penulis sajikan ini bukanlah kebenaran mutlak yang harus juga diyakini oleh pembaca, karena kebenaran mutlah hanyalah milik Tuhan. Jika bermanfaat, silahkan diambil. Bila tak bermanfaat, silahkan diabaikan saja. Wassalam...
Tulisan ini pernah dimuat di http://www.kompasiana.com/muhammadbaran/ular-naga-perspektif-al-quran-tradisi-mistis-orang-labala_56eec7f3c2afbd6113a6941a
Langganan:
Postingan (Atom)