Fungsionalisme
Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala*
Oleh Hamba Moehammad
Prolog
Sebelum membahas “Fungsionalisme
Norma, Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala” ada baiknya perlu diketahui
pengertian dan tujuan dari fungsionalisme dalam menjelaskan norma, adat,
tradisi dan institusi suatu komunitas masyarakat.
Fungsionalisme adalah
sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan
dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi.
Teori fungsionalisme
adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di
abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu
August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.
Dalam arti paling
mendasar, Fungsionalisme menekankan
"upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat,
atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan
kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme” mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan
metodologis ilmu sosial,
bukan sebuah mazhab pemikiran.
Emile Durkheim
mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya
terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut
mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan
fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak
keseimbangan sistem.
Setelah mengetahui pengertian dan tujuan fungsionalisme
di atas, maka dapat dijabarkan bagaimana fungsionalisme berlaku dalam tatanan Norma,
Adat, Tradisi dan Institusi Orang Labala.
Dalam adat dan tradisi orang Labala, Norma dan institusi
sangat dipengaruhi oleh kultur keselarasan antara Tuhan, alam dan kehidupan
manusia itu sendiri. Dalam tatanan kehidupan social, orang labala sangat
mendasari nilai-nilai budaya luhur alam.
Maka tak heran dalam pemberian nama suku, gelar kesukuan, dan jabatan dalam organisasi social
dinisbatkan dengan kehidupan alam di
darat, laut dan udara dimana ketiga unsure ini mewakili sisi kehidupan manusia
yang terdiri dari unsur Ape (api)
yang diwakili oleh oleh hal-hal yang ada di darat, unsure lera-wulan (langit dan udarah) yang diwakili oleh hal-hal yang ada
di angkasa dan wai (air dan laut).
Dari ketiga unsure di atas, maka unsure Lera Wulan (udara dan langit)
merupakan unsure terpenting dalam siklus kehidupan orang labala. Orang labala
sering mengaitkan unsure Ama-Lera-wulan
dengan konsep keyakinan tentang sang pencipta (Tuhan) sedangkan dua unsure
lainnya yaitu Ape dan Wai sebagai Ina-Tanah Ekan (ibu pertiwi) tempat tuhan menyemai benih-benih
kehidupan. Maka orang Labala mengenal dua istilah sacral yang sangat dijunjung
tinggi yaitu Ama (Bapak) dan Ina (Ibu). Kedua kata ini juga merupakan
representasi hakikat dari perikehidupan manusia yaitu kehidupan ukhrawi dan
duniawi, dan menangkup makna ruhani dan jasmani, juga menjelaskan mana yang baqa
(selamanya/kekal) dan mana yang fana (sebentar/sementara).
Kedua kata ini Ama
(Bapak) dan Ina (Ibu) di kemudian
hari memiliki pengaruh tidak hanya dalam tatanan adat dan tradisi tapi juga
dalam tatanan politik pemerintahan dan agama. Dalam tatanan politik
pemerintahan, orang labala mengenal istilah “Peten Ama” dan “Peten Ina” dimana “peten
ama” merupakan konsep atau gagasan tentang sebuah system konstitusi yang
telah disepakati, dan dijalankan oleh Ama
Belen atau pejabat public terhadap aspirasi Ribu-ratu (masyarakat). Sedangkan peten ina merupakan amalan atau realisasi dari konsep yang
dijalankan oleh sebuah institusi seperti dewan atau pemerintah.
Dalam konteks agama, orang labala mengenal istilah Ama/ime belen (Imam besar) atau pemimpin di mesjid yang berfungsi sebagai
pemimpin ritual keagamaan seperti shalat, berdoa dan ritual lain yang menjadi
tugas dan kewenangan laki-laki dan ina
wae yang berfungsi sebagai makmum yang bertugas memberi dukungan dan mempersiapkan
kelengkapan untuk ibadah.
Sedangkan dalam konteks adat, orang labala mengenal
istilah Ama kaka/kaka bapa yang
bertugas sebagai juru bicara dalam forum adat ketika membicarakan
warisan/pusaka, dan weli/belis (mahar/maskawin)
dari pihak laki-laki dan perempuan yang hendak menikahkan anak-anaknya dan ama kebele/kebelen (kepaala suku/adat).
Orang Labala juga mengenal istila ina
belen/ kwae belen yang menjalankan fungsi sebagai pihak yang memberi
masukan terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus ditunaikan
dalam prosesi adat.
Dengan melihat stuktur ini, sebenarnya di labala sudah jauh hari orang sudah mengenal konsep
kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan tugas yang
menjadi tanggungjawabnya. Hanya saja orang Labala lebih memaknainya sebatas sebagai
pembagian tugas atau peran yang sudah menjadi fitrah sebagai manusia yang di
takdirkan sebagai laki-laki atau perempuan tanpa ada pretense bahwa laki-laki
lebih berkuasa dari pada perempuan atau sebaliknya. Meski tak bisa dipungkiri,
dalam semua perkara fungsionalisme adat dan budaya di labala, peran laki-laki
memang lebih dominan namun tidak sertamerta kemudian dijustifikasi bahwa
laki-laki lebih superior, tapi lagi-lagi kembali kepada tugas dan fungsi
masing-masing yang sudah menjadi fitrah.
Trias
Poliica vs
Likak Telo Dalam Tradisi Orang Labala
Layaknya dalam struktur pemerintahan sebuah Negara
moderen, dari zaman nenek moyang, orang labala sudah mengenal tiga lembaga/
institusi yang masing-masing memiliki peran tersendiri dalam mengatur tata
kehidupan masyarakatnya. Kalau dalam system pemerintahan sebuah Negara modern mengenal
istilah trias politica (tiga lembaga
politik) yang meliputi lembaga Eksekutif (pemerintah/kepala Negara) sebagai
pelaksana konstitusi, Judikatif (hakim/jaksa/polisi) sebagai penjaga/penegak
konstitusi, dan Legislatif (dewan/majelis) sebagai pembuat/perancang
konstitusi, maka orang labala sejak zaman dahulu kala sudah mengenal system
yang lebih dahulu canggih ini. Orang labala mengenal system ini dengan istilah Likak Telo (tiga mata tungku).
Ketiga lembaga dalam system tatanan social orang labala yang
dikenal dengan Likak Telo (tiga mata
tungku) ini terdiri dari Kapitan Pulo
Pegawe lema (Raja dan bawahannya) yang diwakli oleh keturunan raja dan
kapitan dari klan/suku Mayeli, Paa Kae (Empat
Dewan adat) yang diwakili oleh empat kepala agama dari klan/ Labala,
Lamarongan, lamasoap, Lamalewar, dan Buto kae (Pemutus Sanksi adat) diwakili
oleh dari masing-masing semua klan/suku yang ada di labala.
Dalam
konteks agama, orang labala memiliki pembagian
tugas dan kewenangan dalam hal yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Adapun
pembagian kewenangan dalam bidang agama meliputi; sebagai Imam mesjid, pembaca doa dalam ritual kemaatian, pernikahan,
khitanan maulid nabi, juga imam hari raya besar menjadi tugas Klan/suku mayeli.
Sebagai Khatib pada perayaan hari besar agama islam seperti hari jumat, hari
raya idul fitri dan idul adha menjadi tugas dari klan/suku labala dan Lamasoap.
Menjadi Bilal di mesjid dan hari raya besar merupakan tugas dari suku
Lamalewar. Ketiga fungsi keagamaan ini kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai
fundamental dalam agama islam yang menjadi keyakinan orang labala yaitu, Iman, Islam,
dan Ihsan.
Sementara dalam konteks adat dan
tradisi local, orang Labala mengenal tiga fungsi Likak Telo yang masing-masing menjalankan peran dalam tata laksana
adat yang diwakili oleh tiga suku besar yang memiliki uma-lango Koko-bale (rumah adat besar) sebagai tempat pelaksanaan
upacara dan ritual adat. Fungsi pertama dijalankan oleh komunitas Taran Wanan/Tere Wene (Tanduk Kanan)
yang di kepalai oleh kepala klan/suku Labala dan membawahi beberapa klan/suku
kecil di bawahnya dengan menjalankan fungsinya sebagai Lewo tanah alap (tuan tanah) yang mengurus duli-pali (tanah pusaka), wai
mata (sumber air), ewe nawu (ternak). Fungsi yang kedua dijalankan oleh
komunitas taran nekin / Tare heke (tanduk
kiri) yang di kepalai oleh klan/suku Mayeli dan membawahi beberapa klan/suku
kecil di bawahnya dengan menjalankan fungsi sebagai kapitan pulo pegawe lema (pemerintahan) yang mengurus maslahat ribu-ratu (Masyarakat banyak). Fungsi
yang ketiga dijalankan oleh komunitas Ata
bereket (panglima perang) yang menjalankan fungsi sebagai pengatur siasat
perang dan damai dengan musuh rae mare (di
darat) dan lau lewa (di laut).
Dari semua tatanan kehidupan orang
labala sebagai fungsionalisme social budaya yang meliputi Norma, Adat,
Tradisi dan Institusi Orang Labala, masing-masing klan/suku menjalankan
fungsinya dengan harmonis. Bila struktur ini berjalan timpang, maka orang
labala memiliki keyakinan, akan ada nalan/nale
(dosa) yang hanya bisa diampuni bila yang melakukan pelanggaran terlebih
dahilu menerima konsekuensi berupa sanksi menjalankan ritual doko nele (pertobatan) dengan melakukan
ritual-ritual seperti, tula ree atau pau oma untuk kembali menjalin hubungan
silaturahmi mistis dengan kekuatan-kekuatan yang diyakini memiliki daya magis.
Hingga kini, fungsionalisme adat dan budaya oleh
orang labala masih dijalankan dengan itikat (niat baik) untuk menjaga
keselarasan hidup dalam prinsip likak
telo (tiga mata tungku) sehingga hubungan baik dengan Ama lera wulan (udara/langit) sebagai representasi unsure
keilahian/ketuhanan, unsure ina tanah
ekan (sesame manusia dan alam sekitar) tetap terjaga, terpelihara dan pada
gilirannya akan diwariskan kepada generasi penerus.
Meski semakin kuatnya pengaruh ajaran dan keyakinan
agama islam terhadap orang labala, namun itu tak membuat mereka serta merta
kemudian meninggalkan system Likak Telo
(tiga mata tungku) yang merupakan warisan berhargaa luhur para leluhur. Warisan
ini bagi orang labala dianggap memiliki keunggulan tersendiri dalam mengatur
tata kehidupan mereka yang tidak dimiliki oleh system apapun dan dari manapun di
luar system adat yang dimiliki oleh orang labala sendiri. Dalam konteks fungsionalisme adat dan budaya, orang labala memang
memiliki sisi fanatisme tersendiri karena system ini dianggap paling ideal sebagai
katalisator (membendung) pengaruh luar yang merusak dan menjaga persatuan dan
kebersamaan orang labala dari kemungkinan perpecahan kelompok dan golongan. Selain
itu system Likak Telo ini hingga kini
masih dianggap paling cocok dengan karakter atau tabiat orang labala yang
cenderung susah diatur karena system lain dianggap tidak cukup dan cakap untuk mewakili
aspirasi orang labala yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam klan/suku.
Sebagai tambahan informasi, di labala ada sekitar 27
ragam klan/suku yang masing-masing dibagi ke dalaam tiga komunitas besar yakni
komunitas Taran Wanan, Komunitas Taran
Nekin, dan komunitas Ata Bereket.
A) Komunitas
Taran Wanan yang memiliki rumah adat senera terdiri dari:
1.
Klan/suku Labala yang meliputi; Labala Resiona,
Labala Kreoiona, Labala Enga Duaona, Labala Enga Daiona, Labala Rumaona, Labala
Keleppa Woho.
2.
Klan /suku Lamasoak, Lamalerek, Lewokro, Duamudaj, Lebao,
Bakiona, Lewohajon, Keloboona, Kahawolor.
B)
Komunitas Taran Nekin yang memiliki rumah adat di bale adat terdiri dari:
1.
Klan/ suku Mayeli Atulolon, Mayeli Atulangun,
Lamarongan Retapukan, Lamarongan Tobipukan, Lamabelawa, Teroona, Kelepak,
Lamabain, Leragere.
C)
Komunitas Ata Bereket yang memiliki rumah adat di koko lamalewa terdiri dari:
1.
Klan/suku Lamalewar, Laweona, Lamaleak.
Dari tiga komunitas besar di atas, masing masing
klan/suku memiliki rumah adat dan kepala suku sendiri-sendiri dan akan berkumpul
di rumah adat masing-masing bila ada
musim upacara adat seperti ritual Tuno
wata rekke (Bakar jagung makan) ketika musim panen tiba. Dan bila Kebelen (kepala klan/suku) di
komunitasnya mengadakan ritual maakan jagung di rumah adat besar di Senera, atau Bale Adat, atau, di Koko
Lamalewa, maka masing-masing klan/ suku dalam komunitas itu akan bahu
membahu melakukan tradisi gelekat suku
lama (mengabdi di suku besar) untuk bersama menjalankan ritual tahunan itu.
Dalam prosesi makan jagung kepala Kebelen
(klan/suku) dalam komunitas tersebut, masing masing klan/suku dalam
komunitas tersebut menjalankan fungsionalisasi adat sesuai dengan tupoksinya
masing-masing.
Sebagaimana biasanya, untuk ritual makan jagung di
rumah adat ini dimulai dari masing-masing klan/suku kecil yang ada dalam
komunitas tersebut, setelah itu baru giliran Kebele dalam komunitas itu mengadakan ritual makan jagung yang
dihadiri semua klan/suku yang ada dalam komunitas.
Di Labala, ritual makan jagung yang paling terakhir
dilakukan setiap tahun sekaligus menjadi penutup pesta tahunan tersebut adalah Kebele dari komunitas Taran Wanan dari klan/suku Labala
sebagai Lewotanah Alap (Tuan Tanah).
Karena sebagai upacara adat puncak, maka pelaksanaannya dilakukan lebih rumit
dengan tambahan beberapa ritual sebelum acara makan jagung, yaitu ledu liwo (ritual menangkap ikan) di
pantai Tanjung Leworaja, dan Gute
tapo-muko gere wua (mengambil buah kelapa, pisang dan pinang) mata air di
Lewohajon(**)
*Tulisan di
atas penulis sajikan hanya secara garis besar (umum) dan mungkin saja terjadi
kekeliruan di sana-sini. Untuk lebih rinci mengenai fungionalisme tata
organisasi social budaya orang Labala, silahkan masing-masing yang berkepentingan
melakukan kajian/riset yang lebih mendalam secara langsung.